Penulis sendiri tidak paham seperti apa asal usul sehingga disebut atau ada ungkapan kambing hitam. Kenapa bukan kambing putih, misalnya. Yang penulis cuma tahu maksud dari ungkapan kambing hitam : ketika terjadi sesuatu hal, maka di carikan kesalahan kepada pihak lain, bukan evaluasi atau introspeksi terhadap diri sendiri.. Begitu pengertian yang penulis pahami.
Sejak tahun 1980-an Indonesia sudah di soroti dan di kritik habis-habisan oleh dunia luar terkait kerusakan hutan yang akan berdampak secara global terhadap keselamatan umat manusia di planet bumi, maka dicarilah kambing hitamnya . Dikatakan pula masyarakat adat dengan system ladang berpindah-pindah sebagai biang kerok kerusakan hutan. Tidak tanggung-tanggung,diadakan razia besar-besaran taerhadap masyarakat sekitar hutan utamanya komunitas masyatakat adat. Mereka di buru dengan pentungan dan bedil bagaikan penjahat Negara, padahal sejak zaman nenek moyangnya, mereka sudah terbiasa berladang dengan berpindah-pindah tanpa terlalu memusingkan dengan hak kepemilikan. Ada rotasi pengelolaan. Bahkan masyarakat adat sangat paham menjaga lingkungan dengan system ladang berpindah-pindah. Dan setelah diteliti oleh para pakar, justru masyarakat adat sangat diakui sebagai komunitas yang paling paham dalam hal menjaga kelestarian lingkungan yang sudah menjadi ilmunya turun temurun sejak ribuan tahun . Pemangku kebijakan tidak mau menyadari dengan kebijakan pemberian konsesi hutan secara besar-besaran kepada pejabat sipil dan militer di awal orde baru yang mengawali kerusakan hutan di Indonesia. Pejabat yang hanya bermodalkan secarik kertas (izin pengelolaan hutan) , kemudian di jual kepada investor asing. Investor asing membawa dolar dengan peralatan berat. Sementara si pejabat hanya ongkang-ongkang kaki menerima komisi sekian prosen tanpa harus memeras otak dan tenaga. Meraup kekayaan melimpah ruah hanya dengan menjual secarik kertas (lisensi). Yang dijual adalah kekayaan sumber alam milik rakyat. Itu yang menjadi biang kerok kerusakan hutan. Berapa juta hektar konsesi hutan yang di berikan kepada Prayogo Pengestu, Bob Hasan dan konglomerat lainnya. Berapa HPH milik Barito Pasifik dan Jayanti Jaya beserta group buisnesnya. Kenapa pula masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat yang dijadikan kambing hitam atas kerusakan hutan
Ketika terjadi kemiskinan di pedesaan yang sangat menusuk nurani sebagai bangsa, dikatakan pula bahwa kita harus menggalakan argo industri dan pabrik-pabrik harus masuk sampai kecamatan. Padahal akar masalahnya bahwa penguasaan tanah yang tidak adil. Mana mungkin rakyat mau makmur kalau belasan juta petani hanya memiliki tanah dibawah 0,5 ha dan jutaan lainnya tidak memiliki tanah alias buruh tani. Tapi ketika ada yang bicara reformasi agraria, maka dikatakan pula bahwa itu issue komunis. Padahal UUP Agraria adalah produk parlemen yang disiapkan selama 12 tahun dan diputuskan oleh anggotanya yang terdiri dari NU, Masymi dan PNI beserta partai kecil lainnya. Partai Komunis Indonesia (PKI) tercatat hanya meraih 37 kursi di parlemen sebagai hasil pemiliu 1955, sementara PNI, NU, Masyumi beserta partai kecil lainnya setelah diakumulasi memiliki ratusan kursi atau dengan kata lain PKI hanyalah unsur kecil di parlemen kala itu.
Bukankah Jepang yang bukan komunis telah melakukan dua kali reforma agraria.
Ketika berbagai ketidakberesan penyelenggaran yang berujung pada kerusuhan pada setiap di gelar pilpres, pilkada – ramai pula para pengamat mencari sebab musababnya. Ada yang bilang bahwa masyarakat masih perlu belajar demokrasi, belum ada kesadaran ditingkat akar rumput. Amerika saja nanti matang demokrasi ketika negaranya sudah berusia 200 tahun. Padahal mereka juga lupa bahwa Malaysia bukan Negara yang sudah merdeka ratusan tahun. Demikian juga dengan Negara tetangga lainnya. Atau Jepang yang nanti bangkit setelah perang dunia ke II dimana negaranya hancur lebur dengan bom atom sekutu. Tapi nyatanya mereka jauh lebih baik dari berbagai sisi dari kita. Ada apa?
Selalu saja masyarakat yang disalahkan belum paham demokrasi, padahal elite itu yang tidak mau tau atau lupa belajar sejarah, bahwa yang namanya pemilihan secara demokratis sudah biasa dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Masih zaman kolonial di desa-desa sudah dilakukan pemilihan secara demokratis memilih kepala desa. Itu sudah ratusan tahun lalu. Sedangkan pemilihan langsung dalam pilkada dan pilpres baru diselenggarakan diatas tahun 2000 setelah dilakukan amandemen UUD 45 dan peraturan dibawahnya. Bukan rakyat yang belum ada kesadaran dan mengerti demokrasi, tapi elite bangsa ini yang memiliki watak bebal dan congkak yang selalu mau memperalat rakyat demi ambisi kekuasaan dan kecintaannya terhadap harta dunia. Semua di bikin atas nama rakyat, padahal rakyat hanya di peralat dan dikorbankan.
Ketika warga kita berkunjung ke luar negeri, ada yang mengeluh : “ timbul perasaan malu dan terusik rasa kehormatan diri kita pada saat mendengar orang menyebut kita sebagai Negara terkorup, memiliki rantai birokrasi panjang dan rumit, pelayanan publik buruk, hukum mudah di beli, kemiskinan rakyat merajalela sementara paling banyak uang orang kaya Indonesia di parkir di luar negeri . Ah, terlalu banyak julukan negatif buat negeriku. Kalau di tambah lagi dengan “ gemar mencari kambing hitam “ Lengkap sudah.***