Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Komisi Delapan DPR Picu Penyebaran Virus Citizen Journalism ke Penjuru Dunia

9 Mei 2011   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 319 5
Didi Rul, warga Indonesia yang sedang bekerja di Melbourne, Australia, mendadak tenar. Tulisan pertamanya di Kompasiana menyebar ke pelosok digital dan jadi perbincangan warga dunia-maya (baca: netizen). Hampir semua media mainstream, mulai dari situs berita online, harian cetak hingga tabloid hingga televisi, menayangkan ulang dan mengutip tulisan tersebut. Meskipun itu bukan murni karya tulisnya, Didi, seperti dituturkan kepada saya lewat email Kompasiana, ikut hadir di acara pertemuan yang digelar untuk mengakomodir keinginan mahasiswa Indonesia si Australia berdialog langsung dengan Wakil Rakyat--sehingga dia bisa mengeditnya atas izin Tegus Iskanto si penulis.

Hingga tulisan ini saya buat, berita warga tertanggal 3 Mei 2011 tersebut dibaca oleh lebih dari 135.418 orang. Dalam rentang waktu 24 jam pertama saja, tulisan ini sudah dibaca oleh sedikitnya 40 ribu orang yang sebagian besar mendapat tautannya dari Twitter dan Facebook.

Harap diketahui, Kompasiana menerapkan sistem yang ketat dalam pencatatan jumlah pembaca sehingga sangat kecil kemungkinan adanya manipulasi data. Tulisan ini juga tercatat sudah dibagi ke Twitter sebanyak 2.822 kali. Waktu itu video singkat tentang komisi8@yahoo.com yang diunggah PPI Australia dan tautannya disertakan di tulisan Didi baru dibaca ribuan orang.

Sehari kemudian, berita yang sama ditayangkan-ulang KOMPAS.com dan dibaca oleh lebih banyak orang. Sedikitnya 431.644 pembaca KOMPAS.com 'menikmati' berita dari warga Melbourne tersebut! Berita ini mendulang 1.690 komentar dan, seperti tulisan aslinya di Kompasiana, juga menyebar luas di Facebook, setidaknya di 26.636 akun pengguna Facebook yang menekan tombol "Suka"!

Kalau ditotal, dalam kurun waktu kurang dari seminggu, tulisan yang ditayangkan Didi Rul itu sudah dibaca oleh lebih dari setengah juta pengguna Internet, atau tepatnya 567.062 hit. Ini belum termasuk tulisan yang menyebar di forum-forum, situs berita online, blog dan media cetak (misalnya di harian KOMPAS yang membuat tulisan khusus seputar fenomena komisi8@yahoo.com di halaman 2 edisi 6 Mei 2011).

Setelah tulisan itu menyebar, giliran media mainstream memainkan peran. Mereka mengolah kehebohan di Kompasiana (meskipun ada yang enggan menyebut Kompasiana sebagai sumber berita) dan menjadikannya salah satu developing news yang ditonjolkan. Para jurnalis profesional memburu sumber-sumber terkait, termasuk ketua rombongan Abdul Kadir Karding. Klarifikasi dan bantahan pun menyebar, seiring dengan dukungan dari masyarakat, tokoh dan LSM atas apa yang sudah dilaporkan warga.

Lalu, seakan mendapat inspirasi dari Melbourne, seorang warga Indonesia di Spanyol mengirimkan foto-foto "kunjungan" anggota Komisi Sepuluh DPR ke Stadion Santiago Bernabeu yang tak lain tak bukan markas klub elite Real Madrid ke redaksi KOMPAS.com. Foto yang dikirim oleh sumber yang minta identitasnya dirahasiakan itu berbicara banyak dan menjadi pengembangan berita Kunjungan Kerja DPR ke Luar Negeri. Pasalnya, para anggota dewan yang terhormat terlihat antusias memotret gedung stadion--bahkan ada yang rela jongkok ria demi mendapat 'sudut gambar terbaik'.

Faktanya, berita warga dari Melbourne tidak hanya membuat kehebohan di tanah air, tapi juga menginspirasi mahasiswa Indonesia di belahan bumi lain untuk menjadi mata dan telinga masyarakat dan menyoroti polah-tingkah wakil mereka yang sedang 'dinas luar negeri'.

Setelah foto Komisi Sepuluh di Madrid menyebar luas, sebuah berita baru terkait kunjungan kerja anggota Dewan ke luar negeri ditayangkan Kompasianer Christa Sabathaly, langsung dari Inggris. Mahasiswi  S2 di Newcastle ini merilis berita berjudul "Laporan Lengkap Pengamatan PPI UK Atas Kunker BURT DPR RI ke Inggris 1-6 Mei 2011" pada tanggal 8 Mei 2011. Kali ini yang menjadi 'bintangnya' adalah anggota Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI.

Rincian dan gaya tuturnya kurang lebih sama dengan laporan Melbourne, yaitu paparan pertemuan dari awal hingga akhir, lengkap dengan dialog dan sesi tanya-jawab 16 orang anggota DPR RI dengan mahasiswa Indonesia di KBRI London, 3 Mei 2011. Membaca tulisan panjang ini, saya seakan ikut hadir di acara tersebut. Banyak sekali informasi tersaji karena Christa yang menjabat sebagai Sekjen PPI UK 2011 mengutip hampir setiap ucapan anggota Dewan. Dialog didominasi dengan pembahasan gedung baru DPR dan tak luput menyinggung heboh alamat email anggota Dewan.

Beberapa kutipan yang menurut saya menarik, misalnya: "Kita di DPR, amburadul humasnya. Antara anggota DPR dan masyarakat yg berkunjung tidak bisa dibedakan! Seperti pasar kaki lima". Atau "Jarang Duta Besar itu baik. Orang Deplu paling kerjaannya main catur. Tapi, bayarannya Dollar. Padahal ekonomi apa yang dibuat?" (silakan baca sendiri kutipan lengkapnya di sini).

Virus Citizen Journalism

Apa yang dilakukan para mahasiswa Indonesia di luar negeri ini menghadirkan sebuah potret lahirnya gairah Citizen Journalism atau Jurnalisme Warga yang dalam waktu dekat akan menjadi arah baru perkembangan industri media. Dalam laporan seminar "We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information", Shayne Bowman dan Chris Willis mendefinisikan Jurnalisme Warga sebagai sebuah konsep keterlibatan warga dalam proses mengumpulkan, melaporkan, menganalisa dan menyebarkan berita atau informasi.

Berkat adanya kecanggihan teknologi dan perkembangan pesat web 2.0, warga memiliki alasan lebih untuk melaporkan langsung apa pun yang mereka alami dan berperan layaknya wartawan (yang memiliki tugas utama meliput dan melaporkan). Mereka menetapkan Media Sosial--mulai dari blog, jejaring sosial, situs pertemanan, sampai media warga Kompasiana yang aktif mewadahi kegiatan Jurnalisme Warga di Indonesia-- sebagai tempat berbagi informasi paling efektif karena sifatnya yang langsung tayang, cepat menyebar dan tampil apa adanya.

Dengan adanya media sosial, warga internet seolah tidak lagi membutuhkan media massa sebagai penyalur aspirasi karena alasan praktis dan pragmatis. Bagaimana tidak. Media massa memiliki standar baku dan kode etik jurnalistik yang menyebabkan sebuah informasi tersebar lewat seleksi ketat insan pers yang bekerja di lapangan dan di belakang meja. Sebuah mekanisme yang tidak ada dalam kamus media sosial.

Inilah yang menyebabkan virus CJ begitu cepat menular. Ketika sebuah berita khas warga menyebar luas dan menjadi perbincangan masyarakat, bahkan kemudian menjadi rujukan media arus utama hingga akhirnya mampu mengubah kebijakan penguasa, masyarakat lain dengan mudah terinspirasi melakukan hal serupa.

Media sosial juga dengan cepat mengubah persepsi masyarakat terhadap sebuah informasi. Mereka menjadi lebih peka dan bergegas membagikannya ke banyak orang. Padahal sebelumnya mereka cenderung tidak acuh dengan lingkungan sekitar atau menganggap kejadian di sekitarnya tidak penting untuk diketahui banyak orang.

Penyebaran virus CJ yang ditandai dengan banyak pewarta warga ini, seperti dipaparkan Bowman dan Willis, diyakini mampu menghadirkan informasi yang lebih luas, bebas-kepentingan, lebih dipercaya, akurat dan relevan. Kegiatan CJ yang intens juga akan mengubah struktur informasi yang semula bersifat Broadcast (arus berita dari atas ke bawah) menjadi Intercast atau penyebaran berita dari bawah ke atas.

Dan Gillmor dari San Jose Mercury News menuturkan, dalam alur informasi broadcast, berita dikendalikan oleh industri media dan diterima masyarakat lewat media yang mereka miliki (online, koran, majalah, TV, radio). Masyarakat 'dipaksa' mengonsumsi apapun yang disampaikan pekerja media yang terdiri dari wartawan, editor hingga pemimpin redaksi. Sedangkan dalam alur intercast, informasi beredar dari satu komunitas masyarakat ke komunitas masyarakat lain dalam beragam bentuk. Dan masyarakat (dalam hal ini pengguna Internet) bisa berperan sebagai pembaca, pembuat berita, editor bahkan pengiklan secara bersamaan.

Untuk alasan itulah, saya yakin anggota Dewan akan lebih berhati-hati dalam melakukan kunjungan kerja ke luar negeri karena mereka sadar, ada banyak pewarta warga yang siap melaporkan kegiatan mereka dan menyebarkannya langsung melalui Media Sosial. Atau setidaknya, mereka akan berfikir-ulang saat ingin memenuhi undangan dialog dengan masyarakat Indonesia setempat!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun