[caption id="attachment_53070" align="aligncenter" width="500" caption="Selama masa Pemilu 2009 lalu, Partai Demokrat menyewa sebuah pesawat untuk keperluan kampanye di daerah. Pesawat ini diberi nama: Demokrat Air Force One (2009.wisnunugroho)"][/caption] Saya masih ingat ungkapan teman kuliah yang berulang kali meyakinkan saya bahwa dalam konteks berbangsa dan bernegara, politik adalah segalanya. Semua bersumber dan tunduk pada politik. Sebutkan satu saja instrumen atau perangkat negara yang lahir tanpa campur tangan politik. Dijamin tidak ada. Presiden dipilih lewat proses politik. Menteri menjabat karena kekuatan politik. Setiap program dan kebijakan pemerintah lahir lewat kebijakan politik. Kerjasama lintas-negara didasari pada kepentingan politik. Hukum pun dibuat dan ditetapkan detil aturannya oleh kekuatan politik yang menguasai eksekutif dan legislatif. Aparat hukum sekalipun (misalnya kepala polisi, jaksa, pimpinan KPK), diangkat dan diberhentikan oleh politisi di Istana dan Senayan. Bahkan pengusaha, tak ketinggalan melebarkan gurita bisnisnya dengan memanfaatkan kedekatan atau sengaja masuk ke dalam lingkaran politik. Kesimpulannya, tidak ada yang bisa hidup lepas dari cengkraman politik. Orang yang berikrar anti-politik pun, mau tidak mau, suka tidak suka, harus hidup di sebuah negara yang dipimpin oleh pemenang utama pertempuran politik. Karena begitu besarnya peran politik, banyak orang rela membayar mahal demi memenangkan sebuah kepentingan. Jadi tak aneh kalau setiap kali pemilu digelar, uang-beredar mendadak jauh lebih banyak dibanding hari-hari biasa. Mulai dari pemilu tingkat presiden sampai pemilu tingkat bupati dan kepala desa di pelosok nusantara. Berapa biayanya? Saya belum punya angka pasti. Tapi saya yakin itu mahal sekali. Tolak ukurnya juga banyak sekali: Koalisi yang dibangun, kepentingan yang harus diakomodir,
deal-deal politik yang dihasilkan, atribut kampanye yang diproduksi jutaan, uang saku-makan-transpor yang dianggarkan, biaya iklan yang angkanya milyaran-trilyunan. Lalu dari situ, kita bisa lihat betapa banyak pengusaha dan konglomerat yang dilibatkan atau melibatkan diri untuk jadi pemodal utama-dengan janji balik modal dan untung besar saat calonnya menang nanti. Mengapa harus ada pengusaha? Karena kalau bicara harga dan biaya, hanya mereka yang punya uang tak terkira. Pemicu lainnya: Karena politik itu bisnis. Dan bagi sebagian pebisnis kelas kakap, politik adalah investasi paling riil dan menjanjikan yang haram untuk dilewatkan. Bagi mereka, tak mengapa keluar uang triliunan tanpa kuitansi, yang penting proyek ngumpul di tangan setelah calonnya jadi. Teori dan rumusan ini berlaku untuk semua, sekali lagi, semua politisi. Baik politisi kalem maupun politisi agresif. Baik politisi dari kalangan orang kaya maupun dari kalangan petani dan orang biasa. Baik politisi ingusan maupun politisi kawakan. Lantas kalau ada yang bertanya berapa ongkos politik yang dikeluarkan oleh presiden saat ini dalam memenangkan kembali kursi RI-1? Jawaban saya sama: tidak tahu pasti! Tapi kalau dihitung-hitung, ongkos politik SBY selama masa pemilu tahun kemarin pasti jauh lebih besar dari biaya pembangunan satu atau dua Istana Negara. Meskipun bukan yang terbesar, tapi angkanya pasti besar. Itu wajar saja. Karena kalau membangun sebuah istana, betapapun megahnya, pasti punya budget tetap dan pengeluaran terukur. Beda dengan politik. Alokasi dananya harus tak terbatas, pengeluarannya pun bisa tak terhingga. Nah, bicara soal SBY, politik dan istananya, gejala yang sama muncul di dua seri pertama buku Tetralogi SBY yang merupakan kumpulan tulisan Mas Inu di blog Kompasiana. Fakta menyebutkan, harga buku "Pak Beye dan Politiknya" lebih mahal dari buku seri pertama, Pak Beye dan Istananya". Pemicunya jelas bukan tingkat ketegangan dan kenakalan yang disuguhkan di buku yang baru akan diresmikan Selasa besok. Tapi semata-mata karena jumlah kertas yang terhimpun di dalamnya. Ya, buku "Pak Beye dan Politiknya" lebih tebal 175 halaman dibandingkan buku "Pak Beye dan Istananya" yang tebalnya hanya 256 halaman. Jadi wajar kan kalau Penerbit Buku Kompas (PBK) menjualnya Rp 20 ribu lebih mahal. Saya belum mau menyebutkan kelebihan-kelebihan buku kedua ini dibandingkan buku pertama, karena hal itu pasti akan disampaikan panjang-lebar saat peluncuran dan bedah bukunya bersama Effendi Gazali dan Sukardi Rinakit. Di sini saya hanya ingin mengingatkan teman-teman agar menyiapkan uang lebih banyak kalau ingin mengoleksi buku kedua mas Inu. Dengan merogoh kantong lebih dalam, teman-teman mungkin akan mendalami dan memaklumi fakta yang dirasakan oleh para politisi kita, bahwa biaya politik ternyata jauh lebih mahal dari biaya apapun juga. Selamat merogoh. [caption id="attachment_262977" align="aligncenter" width="500" caption="Buku "Pak Beye dan Politiknya" yang sampulnya berkuping itu dijual lebih mahal dari buku seri pertama, "Pak Beye dan Istananya" (iskandarjet)"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL