[caption id="attachment_42692" align="aligncenter" width="500" caption="berpose di pesawat Malaysia Airlines (seorang pramugari, gak tau namanya)"][/caption] Setelah lama terbuai dalam rutinitas kerja yang tidak ada habisnya, terlebih sejak saya terlibat aktif dalam proses lahirnya Kompasiana baru dengan format dan tampilan yang sama sekali beda dari versi sebelumnya, tiba-tiba, di penghujung tahun ini, saya teringat satu janji yang belum dipenuhi: bercerita panjang lebar seputar pengalaman saya jalan-jalan ke Jepang bulan Agustus lalu. Sebuah perjalanan nekat yang tidak mungkin terwujud tanpa Kompasiana, tanpa bantuan
Bu Nining, salah seorang Kompasianer yang selama dua tahun terakhir bekerja dan tinggal di Tokyo bersama keluarganya. Meski sudah berpuluh-puluh hari terlewati, saya masih ingat sensasi Tokyo selama sepuluh hari (15-22 Agustus 2009) ‘mengembara' di sana. Ya, selama di sana petualangan saya memang tidak jauh-jauh dari Tokyo. Atau bisa dibilang sebagai
city tourism, berkeliling menyusuri sudut kota yang nyaman dan asri. Saya mampir ke pasar Shibuya, nongkrong di Harajuku, lalu menyaksikan kesibukan stasiun Tokyo yang besar dan ramai sesak. Esoknya saya naik ke Menara Tokyo, mejeng di depan patung Liberty, terpesona dengan jalan raya di bawah laut, kemudian jalan-jalan di taman Ueno yang luas dan dipenuhi seabrek tempat kunjungan wisata. Paling jauh saya keluar jalan-jalan di taman kota Yokohama, kota pelabuhan yang jauh dari kesan kumuh apalagi gersang seperti suasana Tanjung Priok, Pluit dan daerah pesisir Jakarta lainnya. Atau ke kota Kawasaki, itupun dalam rangka
nyasar (untuk pertama dan terakhir kalinya) di rangkaian Kereta Api Terpadu Tokyo yang mengagumkan. Setiap hari selama di Tokyo, saya bangun pagi-pagi untuk sebuah petualangan baru hingga matahari hilang dari peredaran mengiringi kaki ini melangkah pulang. Setiba di flat Bu Nining (yup, saya mendapat pelayanan yang luar biasa mengesankan selama seminggu lebih tinggal, tidur, mandi, makan dan bercengkerama dengan keluarga Bu Nining), telapak kaki sudah memerah dan betis terasa lebih besar dari biasanya. Menjelang tidur, saya gosokkan kedua batang kaki dengan balsam untuk meredam rasa pegal, sambil berharap besok pagi bangun dengan kondisi badan ini fit kembali untuk melanjutkan petualangan berikutnya. Dan begitu seterusnya, hingga tak terasa delapan hari musim panas di Tokyo saya lalui dengan penuh kesan tak terlupakan.... Tapi sebelum hari ke delapan itu tiba, saya akan mulai cerita di Tokyo di hari pertama kehadiran saya. Di pagi hari yang cerah, ketika pesawat Malaysia Airlines yang saya tumpangi mendarat di bandara internasional Narita, Jepang.
KEMBALI KE ARTIKEL