Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Irshad Manji, Ditangkal dari Jakarta Sampai Yogyakarta

10 Mei 2012   16:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28 177 0
Irshad Manji kembali datang ke Indonesia. Ia seorang muslimah feminis kelahiran Uganda. Ayah India Ibu Mesir. Sejak usia empat tahun ia tinggal di Kanada. Karena agresi militer di negeri kelahirannya, ia migrasi ke Kanada. Secara terbuka ia menyatakan sebagai lesbian.

Kedatangannya, kali ini, adalah kedatangannya yang kali kedua. Kedatangannya adalah untuk mendiskusikan bukunya "Allah, Liberty, and Love" (terj. Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan). Diagendakan akan digelar kuliah umum (diskusi) dibeberapa kota, diantaranya Jakarta, Solo, dan Yogyakarta.

Jumat (4/5) pukul 19.00 wib di salihara, jakarta, acaranya dibubarkan oleh polisi atas tuntutan organisasi massa berbasis keagamaan, FPI. Mereka menuntut agar acara tersebut dibubarkan. Pagi harinya, kuliah umum bersama Irshad Manji yang diselenggarakan di UIN Syarif Hidayatullah berlangsung aman.

Keesokan harinya, Sabtu (5/5) AJI Jakarta menyelenggarakan acara serupa. Acara ini berlangsung aman. Tak ada pembubaran ataupun tuntutan pembubaran. Di luar, terdapat puluhan Banser berjaga-jaga. Setelah acara bubar segerombolan massa mendatangi AJI Jakarta. Perburuan mereka gagal. Atau mereka sengaja datang setelah acara bubar. Karena acara itu dijaga oleh Banser. Kontan, peristiwa ini menjadi heboh di twitter. @zuhairimiswawi: FPI tdk berani datang ke AJI karena tahu dijaga Banser. @assyaukanie: Lain kali kalau terancam preman berjubah, jangan minta tolong polisi, minta tolong Banser aja.

Di UGM, yang rencananya akar digelar kuliah umum bersama Irshad Manji, Rabu (9/5), oleh rektornya dibatalkan. Pasalnya pembatalan ini demi kemaslahatan bersama. Sehari sebelumnya, di kampus itu terjadi demonstrasi penolakan digelarnya acara tersebut oleh beberapa organisasi berbasis keagamaan. Tidak hanya di UGM, di UIN Sunan Kalijaga acara serupa juga dibatalkan. Ironis, pembatalan aktifitas akademis justru dibatalkan/ditolak di lingkungan akademis.

Di hari yang sama, sore harinya, pukul 19.00 wib, digelar acara diskusi bersama Irshad Manji di LKiS. Tidak lama berlangsung, acara ini diserang dan dibubarkan oleh MMI. Dalam penyerangan itu 6 orang terluka.

Terlepas dari kontroversi penolakan Irshad Manji. Tentu, penyerangan dan pembubaran terhadap acara diskusi tersebut tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan alasan yang tidak berdasar. Bagaimanakah pemikiran Irshad Manji, hingga ia diburu dari Jakarta sampai Yogyakarta?

Sebagai seorang feminis, pemikirannya adalah mengagendakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Seperti feminis lainnya, salah satu agenda kesetaraan itu, sebagaimana ia tulis dalam bukunya: Beriman tanpa rasa takut (terj.), ia menawarkan kemandirian ekonomi bagi perempuan.

Dalam buku tersebut ia menceritakan pergulatan pemikirannya sebagai muslimah feminis atas realita yang ia jumpai dan persinggungannya dengan agama yang ia yakini: Islam. Disana, ia memaparkan bagaimana kaum perempuan sebagai kelas inferior, kaum yang tidak diuntungkan, kaum yang kepadanya segala kesalahan dilimpahkan, kaum yang ditindas. Sementara di posisi demikian perempuan tidak punya keberanian untuk menyuarakan ketertindasannya. Karena hal itu justru mendapatkan afirmasinya dalam agama (Islam). Memang, sebagai feminis ia menceritakannya agak sentimentil. Ia mengawali tulisannya dengan menceritakan mengapa ia menjadi muslim 'refusenik'. [ia mengambil istilah ini dari kaum Yahudi Soviet yang memperjuangkan kebebasan beragama dan kebebasan pribadi].

Di bab yang lain, Kapan Islam Berhenti Berpikir? ia memaparkan kemunduran Islam saat ini justru disebabkan oleh umat Islam sendiri, bukan oleh kolonialisme Barat. Umat Islam terlena dengan masa keemasannya di abad ketujuh. Umat Islam dirundung romantisme berkepanjangan. Di masa keemasannya, ia menceritakan, umat Islam malah hidup bertoleransi dengan kaum Yahudi dan Kristen. Tidak ada sentimen keagamaan ataupun rasial.

Ia begitu mengagungkan peradaban Barat dengan liberalismenya. Di Barat, ia dapat menentukan pilihan hidupnya sebagai muslimah feminis sekaligus lesbian yang tidak mungkin ia peroleh bila ia hidup di negara Islam. Di Barat, ceritanya, orang bisa hidup dalam toleransi tanpa sentimen keagamaan ataupun rasial. Dalam ceritanya ia menghadirkan cuplikan-cuplikan pengalamannya, juga korespondensinya dengan orang-orang muslim dan non-muslim. Baik yang bersifat positif ataupun negatif.

Bila membaca buku tersebut, tampaknya, stereotip dan prasangka yang dilekatkan pada Irshad bahwa ia penyebar paham lesbianisme hanyalah ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar. Atau jangan-jangan iman kita terlalu lemah sehingga harus diprotek sedemikian kaku.

Bila tidak, kenapa kemungkinan untuk berdialog dengan pemikirannya ditutup. Apakah bangsa ini sudah benar benar berhenti berpikir?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun