Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Kethoprak dan Nilai Kejawaan Multikultural

5 April 2013   18:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:40 348 1




Kethoprak, merupakan salah satu dari produk seni tradisional Jawa. Pertemuan para seniman krthoprak se-DIY tahun 1974 menghasilkan suatu rumusan tentang kethoprak. Kesenian rakyat yang saat itu tumbuh subur di wilayah budaya Jawa, dikonsepsikan sebagai drama rakyat Jawa Tengah Dan Yogyakarta. Kesenian ini memiliki sejarah kehidupan yang relatif panjang, dan hingga saat ini masih eksis, baik sebagai seni tanggapan masyarakat di atas panggung, maupun menjadi acara andalan TVRI dan TV swasta. Dengan kata lain kethoprak dianggap layak untuk ditawarkan sebagai komoditas nasional, bahkan internasional. Dengan demikian setidak-tidaknya kesempatan kethoprak terbuka lebar untuk memasuki wilayah multikultural .Sebagai cabang kesenian, seni pertunjukan kethoprak telah melalui beberapa tahap perkembangan. Hasil Lokakarya Kethoprak tanggal 7-9 April 1974, membagi sejarah perkembangan kethoprak menjadi tiga periode:1) Periode kethoprak lesung, dari tahun 1887- 1925;2) Periode kethoprak peralihan, dari tahun 1925- 1927 ; dan 3) Periode kethoprak gamelan, tahun 1927 sampai sekarang (saat loka karya itu disimpulkan).







Namun demikian juga disebutkan bahwa periodisasi tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman. Dari tahun ke tahun telah terjadi berbagai inovasi. Hal ini tampak seperti yang pernah dikemukakan oleh Handung Kus Sudyarsana ketika menguraikan tentang periodisasi kethoprak seperti tersebut di atas. Dinyatakan bahwa periode kethoprak peralihan, maksudnya beralih dari tetabuhan (musik) lesung ke musik campuran, yakni musik lesung ditambah instrumen musik rebana dan biola. Ketika itu lagu-lagu pengiringnya bertambah juga, tidak hanya lagu-lagu gejog (lagu-lagu untuk instrumen lesung), tapi ditambah lagu-lagu pucung, mijil dan sebagainya. Bahasanya juga semakin berfariasi, dengan berbagai ragam dan tingkatan. Ceritanya juga mulai beragam, dari cerita-cerita rakyat DIY, Jateng dan Jatim, bahkan cerita dari cerita 1001 Malam-pun mulai disajikan. Pakaiannya, di samping menggunakan pakaian Jawa, mulai dipergunakan pakaian Stambulan dan Mesiran. Penataan rias juga mulai dilakukan.




Pada periode kethoprak gamelan, ceritanya tidak hanya dari cerita-cerita rakyat dan dari 1001 Malam saja, tetapi telah ditambah dari babad, sejarah, panji, dan cerita-cerita dari luar negri seperti dari Turki, India, Kamboja, Cina, bahkan cerita-cerita dari Eropa. Demikian juga cerita-cerita dari Sumatra, Kalimantan, Bali, dan cerita-cerita dari wayang kulit purwa. Dengan demikian cerita-cerita fiktif telah masuk, baik yang menggunakan latar belakang babad dan sejarah ataupun tidak. Dari segi bahasanya kadang-kadang terselip juga bahasa Jawa kuna, bahasa Indonesia, Arab, belanda, dan Inggris. Sedang busananya disesuaikan dengan cerita yang dipergelarkan, sehingga bertambah busana gedog dan basahan. Gending- gendingnya mulai ditambah dari gending-gending tari, wayang orang dan wayang kulit purwa.




Bila ditinjau dari media pementasannya, kethoprak juga telah melalui beberapa media. Kethoprak pada mulanya dipentaskan di halaman-halaman rumah, yakni pada masa kethoprak ongkek. Ketika kethoprak mulai digemari oleh masyarakat luas hingga para bangsawan, maka kethoprak mulai tampil di pendapa- pendapa para bangsawan. Bersamaan dengan itu kethoprak juga menjadi tanggapan hajatan masyarakat, sehingga tampil di panggung-panggung atau pendapa masyarakat awam. Ketika itu masyarakat menyebutnya sebagai kethoprak pendapan atau kethoprak tanggapan. Perkembangan selanjutnya, seperti pernah dituturkan oleh seorang pemaian kawakan yaitu Bapak Widayat yakni setelah kethoprak mulai digarap secara profesional, dengan menggunakan panggung lengkap dengan dekorasi dan tata lampu. Ketika itu dikenal dengan istilah kethoprak kelilingan, karena grup-grup kethoprak ini mengadakan pertunjukan berkeliling dari kota ke kota. Kethoprak ini juga dikenal dengan nama kethoprak tobong, karena tempat pertunjukannya sengaja dibuat berupa tobong, yakni bangunan sementara yang mudah dibongkar- pasang. Selanjutnya mulai tahun 1935 grup kethoprak Kridho Raharjo mulai tampil di media radio. Perkembangan terakhir, kethoprak dapat berkiprah di media pandang dengar di TVRI, yakni sejak tahun 1972 yang dipelopori oleh TVRI Yogyakarta. Sejak hadirnya kethoprak di media audiovisual (TV) gamelan tidak lagi dianggap cukup mewadahi ekspresi kreatif seniman kethoprak. Oleh karena itu pada Loka Karya Kethoprak tahun 1997 di Yogayakarta, disepakati adanya semacam periode kethoprak garapan (Nusantara, 1997:54). Yang menarik bukanlah semata-mata periodisasinya, melainkan penamaan kethoprak garapan itu. Dalam hal ini kethoprak garapan bermakna sebagai kethoprak yang digarap dengan mengadaptasikan dengan teknik media televisi, digarap dengan memadukan idiom-idiom kesenian lain, seperti film, wayang kulit, ludruk, tari, dan lain-lain. Artinya ragam kethoprak garapan sangat terbuka terhadap berbagai unsur dari luar seni kethoprak. Aspek bahasa, musik pengiring, setting, lakon (dan struktur lakonnya), serta berbagai tradisi atau kebiasaan yang lazim dilakukan oleh pertunjukan kethopak terpengaruh oleh idiom kesenian lain (Nusantara, 1997: 54- 55).




Pada perkembangan terakhir, kethoprak yang berlabel ìpembaharuanî tersebut ternyata tidak sesemarak tahun 90-an. Saat ini kethoprak di TV-lah yang banyak mendapat sorotan. Hal ini wajar karena media TV dapat diterima oleh masyarakat secara murah meriah atau murah dan merata.

Setidak-tidaknya ada dua bentuk kethoprak di TV. Di TV swasta kethoprak sering tampil dalam bentuk humor dan berbahasa Indonesia (Pimpinan Timbul Suhadi). Sedang di TVRI Yogyakarta, kethoprak sering tampil dalam bentuk kethoprak sayembara. Pada kethoprak humor berbahasa Indonesia, seperti namanya, menekankan bentuk humor dan tentu saja ingin melebarkan sayap untuk dapat diterima oleh publik nasional. Sedang kethoprak sayembara tampak lebih ìnggondeli kejawenî-nya, dan tentu saja terutama ditawarkan untuk penonton Jawa. Yang menarik, dari semua bentuk kethoprak di atas, (mungkin karena seniman- seniman seniornya memang mantan pemain kethoprak konvensional), tampak masih membawakan nilai-nilai kejawaan, walaupun masing-masing bentuk intensitasnya berbeda. Misalnya, pada semua bentuk kethoprak tersebut, termasuk kethoprak humor berbahasa Indonesia, masih menawarkan berbagai perangkat atau instrumen yang berasal dari budaya Jawa, seperti gamelan, busana, berbagai asesorisnya, dan tentu saja nilai-nilai filsafatinya. Dengan demikian, misalnya dari segi etikanya, setidak-tidaknya sebagian etika Jawa juga akan terbawa, baik disadari ataupun tidak. Hal semacam inilah yang semestinya harus disadari oleh pelaku budaya, khususnya kethoprak, yakni menawarkan nilai-nilai budaya Jawa dalam pergaulan multikultural.

Referensi




Nusantara, Bondan, 1997, Format Garapan dan Problematika Ketoprakî, dalam Lephen Purwa Raharja, ed., Ketoprak Orde Baru (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya)



















KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun