Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perjanjian Internasional yang Melanggar Undang-Undang

25 Mei 2013   16:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:02 1159 0




Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga melaksanakan hubungan internasional dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya. Agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan nasional, memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat bagi rakyat, maka perlu diatur dalam suatu undang-undang (UU). Sampai saat ini UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional adalah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000.

Pada saat dibentuknya UU No. 24 Tahun 2000, UUD Tahun 1945 baru mengalami dua kali perubahan. Dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 yang menjadi landasan yuridis pembentukan UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengalami perubahan. Rumusan Pasal 11 tetap seperti semula, yang berbunyi ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sedangkan dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002), Pasal 11 mengalami perubahan yaitu terdiri dari 3 ayat.

Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Partiana, ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan dari Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat tersebut, diantaranya adanya kriteria perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.1 Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat seharusnya juga menjadi landasan yuridis dalam pembentukan UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Permasalahan lain dari perjanjian internasional adalah tidak semua perjanjian internasional memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Ada beberapa perjanjian internasional yang dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat dapat menyengsarakan rakyat. Misal, berbagai perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Pemerintah baik secara bilateral maupun multilateral seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-Japan Partnership.




Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut menyebabkan rakyat dihadapkan kepada perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akibatnya, perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden (Kepres).

Dalam praktiknya, selama ini juga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2000. Pagu pinjaman luar negeri yang disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak sesuai dengan maksud UU No. 24 Tahun 2000. Persetujuan DPR terhadap UU APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional oleh DPR. UU APBN bukanlah UU mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional, melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Sedangkan pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah sesuai dengan hukum perjanjian internasional.

Beberapa permasalahan tersebut menandakan adanya kelemahan atau kekurangan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2000 dalam mengatur mekanisme pembuatan atau pun pengesahan perjanjian internasional. Hal ini dikhawatirkan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional kurang memberikan manfaat yang maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.




Defenisi perjanjian internasional publik harus dibedakan dengan perjanjian internasional yang bersifat privat atau dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas negara/transnasional. Sebagai contoh, MOU Helsinki antara Pemerintah RI-GAM 2005 akan dimengerti sebagai Perjanjian Internasional, MOU RI-Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RI- Microsoft 2007 juga dipahami sebagai suatu perjanjian internasional. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional” sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian internasional.

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi memberikan penegasan dan batasan dan perbedaan yang jelas dalam pembedaan tersebut. Dalam kasus ini yang menjadi permasalahan adalah Pasal 11 ayat (2) yang berketentuan : “setiap kontrak kerjasama yang sudah ditandatangani harus segera diberitahukan secara tertulis kepada DPR RI” dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR." Di dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan , “Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut perjanjian internasional lainnya perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akbiat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”. Kami dapat menyetujui pendapat pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasionaln yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum perjanjian (Law of treaties) dan Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang perjanjian Internasional. Oleh karenanya Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang migas tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945.




Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktik Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”Treaty Room” Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “Governed by International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti “loan agreements”.




Dilihat dari kewenangannya, negara sebagai institusi publik, dapat menjalankan kewenangannya sebagai institusi perdata dengan melakukan suatu perdagangan internasional dengan negara lain. Perjanjian suatu negara dengan subyek hukum lain dikategorikan sebagai hukum perdata internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada hukum nasional salah satu pihak dalam perjanjian. Sebagai contoh, perjanjian pembelian tanah atau pembangunan gedung atau transaksi lainnya yang dibuat mengacu pada hukum setempat walaupun dilakukan oleh negara-negara dan organisasi- organisasi internasional bukan merupakan Perjanjian Internasional.Pembedaan secara tegas ini sangat penting dan diperlukan apabila perjanjian yang bersifat ekonomi dan perdagangan dimasukkan ke dalam kategori perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan/ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.













KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun