Identitas adalah satu diantara sekian banyak fundamen kemanusiaan yang acapkali menimbulkan konflik. Identitas menjadi isu sentral tiap kali muncul konflik atas dasar ras dan etnis. Para pakar mengatakan bahwa “konflik secara mendasar berbeda dengan konflik kepentingan, karena suatu kepentingan sekalipun dapat didiskusikan, sementara kebutuhan identitas tidak demikian.” Konflik berdasarkan identitas makin mengemuka sejak abad ke-19. Lahirnya kesadaran hak asasi dan glibalisasi memperluas perhatian terhadap konflik.
Akan tetapi sisi yang paling penting adalah konflik yang muncul dalam situasi pasca colonial ketika tiada suatu kekuasaan berwibawa yang mampu menciptakan keamanan dan ketertiban. Ketika suatu masyarakat menggapai kemerdekaan, munculnya keterbelahan mengenai apa yang mesti dirumuskan sebagai aturan dasar suatu negara. Kebanyakan konflik yang lahir di negara semacam ini berdasarkan etnisitas dan agama dibandingkan karena pertentangan kelas. Konflik-konflik seperti ini muncul dalam masyarakat yang terbelah sebagaimana terjadi di Sri Lanka, Bosnia, dan Rwanda.
Akan tetapi tidak ada satu negarapun yang menghadapi konflik identitas menyangkut agama dan etnisitas berdarah-berdarah dan dalam waktu lama seperti yang terjadi di Sri Lanka. Negara ini dulu merupakan bekas koloni Inggris dan memperoleh kemerdekaan tahun 1948. Hampir 74% penduduk menganut agama Hindu. Sejak kemerdekaan, negara ini menghadapi konflik etnis internal yang terjadi antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil (Zwier, 1998: 13-14).
Dalam situasi pasca kemerdekaan, Tamil tergeser oleh dominasi mayoritas Sinhala. Kebijakan etnosentris oleh pemerintah yang dikendalikan oleh Sinhala mendorong keinginan memisahkan diri oleh kelompok Tamil. Konflik ini melahirkan kelompok perlawanan dari kalangan Tamil yang dikenal sebagai LTTE (Liberation of Tigers Tamil Elam) tahun 1972.
LTTE berkembang menjadi kelompok militer yang kuat dan memperburuk konflik. Konflik etnis dan politik ini telah menewarkan puluhan ribu penduduk Sri Lanka, mekasa hampir setengah juta diantaranya mengungsi, merusak bisnis, merusak kekayaan dalam skala masif, dan menghabiskan banyak anggaran (Zwier, 1998: 10). Situasi berlangsung hampir sepanjang 30 tahun hingga LTTE bersedia menyerah akibat keputusan mengakhiri operasi militer oleh Presiden Rajapakse. Akan tetapi masa depan perdamaian Sri Lanka belum pasti.
Faktor Penyebab
Ada 3 faktor penyebab konflik identitas. Ketiga faktor itu dapat dikategorikan sebagai faktor internal, faktor eksternal, dan faktor katalis.
Faktor Internal
Faktor ini berhubungan dengan negara. Faktor internal yang menjadi dasar konflik identitas di Sri Lanka adalah:
- Faktor Agama dan Etnik