Pesan 1. Ubah Cara pandang.
Pak Presiden, ada tiga penamaan umum dipakai untuk menyebut warga dengan disabilitas di Indonesia: Penyandang cacat, penyandang disabilitas, dan difabel. Selain itu, ada banyak nama untuk menyebutkan warga dengan disabilitas ini, mulai dari yang paling kasar sampai yang paling sopan. Kenthir, pengkor, cah panti, buntung, cebol adalah beberapa yang kasar. Sedangkan, spesial, berkebutuhan khusus, adalah contoh sapaan sopan. Di balik penamaan itu ada sistem berpikir yang dianut oleh masyarakat dan menuntun mereka dalam memperlakukan warga dengan disabilitas. Sebagian memandang keberadaan warga dengan disabilitas sebagai urusan individu dan sebagian lainnya menganggapnya sebagai urusan sosial. Coba Pak Presiden pikirkan, apakah ada cara pandang lain yang bisa Anda usulkan dan pakai untuk mengatur warga dengan disabilitas di Indonesia?
Pesan 2. Benahi Data Disabilitas Indonesia
Ada beragam data soal penduduk dengan disabilitas Di Indonesia. Berdasarkan TNP2K, jumlah warga dengan disabilitas cukup besar: 10% dari total populasi (TNP2K 2012). Versi lain adalah dari WHO yang menyebutkan ada lebih 15% di setiap negara berkembang seperti Indonesia (‘World Report on Disability [WHO 2012]). Sayangnya, gambaran data mengenai Disabilitas di Indonesia tidaklah seragam di tiap kementerian. Dengan konsep dan terminologi yang berbeda-beda: BPS, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Sosial masing-masing menunjukkan data yang tidak seragam. Akibat keragaman data ini adalah munculnya kesulitan mencari acuan bagi formulasi atau penyusunan kebijakan sosial yang tepat sasaran. Menurut Pak Presiden, apakah ada sistem pendataan penduduk dengan disabilitas yang lebih baik yang sudah Anda persiapkan?
Pesan 3. Perbaiki Kondisi Sosial Warga dengan Disabilitas
Data lain menunjukkan, ada sekitar 60% Difabel di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (PPLS, 2011). Tingginya angka kemiskinan ini bisa disebabkan [oleh] dan berdampak [pada] beberapa hal. Dalam kajian disabilitas, ada pemikiran menyebutkan “keadaan disabilitas seseorang dapat membuatnya miskin, dan kemiskinan seseorang dapat membawanya kepada kondisi disabilitas”. Beberapa isu mendasar, seperti kurangnya ‘ketersediaan lapangan kerja’, masih adanya ‘cap miring’, dan praktik ‘pembedaan’ secara struktural dan budaya masih menjadi hambatan atas akses lapangan kerja bagi Difabel.
Di dunia pendidikan, ada soal pendidikan inklusi yang masih jauh dari harapan. Sistem ‘pendidikan ‘inklusi belum sepenuhnya diberlakukan di sekolah-sekolah serta pendidikan tinggi secara menyeluruh. Akibatnya adalah baru sekitar 10% anak-anak Difabel usia pendidikan tertampung di sekolah. Di tambah lagi, masih belum tegasnya ‘payung hukum pendidikan’ yang menyebabkan mudahnya terjadi penolakan atas difabel. Pada 2013, SIGAB Yogyakarta memeroleh pengaduan dari 12 keluarga yang anaknya ditolak mendaftar ke sekolah umum karena disabilitasnya.
Pun demikian di bidang kesehatan masih menyisakan sejumlah soal. Kaitan erat antara seseorang dengan kondisi tubuh tertentu dengan ‘kebutuhan medis’nya ternyata belum terjawab lewat ‘layanan serta jaminan kesehatan’ yang memadai. Sejumlah data menunjukkan, bahwa mayoritas warga dengan disabilitas yang memiliki pendapatan ekonomi di atas ketentuan ‘garis kemiskinan’ tidak berhak memeroleh bantuan iuran ‘Jaminan Kesehatan Nasional’. Padahal, di sisi lain, sebagai warga dengan disabilitas walaupun ia berpendapatan di atas rata-rata pendapatan orang miskin, ia memiliki ‘kerentanan’ sosial dan ekonomi. Untuk itu, mereka seharusnya tetap berhak mendapatkan bantuan sosial. Dalam hal ini, dapatkah Pak Presiden mengubah indikator jaminan sosial agar tak sekadar soal Miskin, namun juga soal Rentan?
Agenda Kerja Presiden
Melalui 3 pesan di atas, maka kami berharap agar Pak Presiden dapat meluangkan waktu untuk juga memikirkan soal Disabilitas Indonesia. Hal ini bukan sekadar karena Anda adalah seorang Presiden, namun juga karena kewajiban ini sudah termaktub dalam ‘konstitusi negara’, tindakan ini benar secara politik, dan tentu saja warga dengan disabilitas mestilah dipandang sebagai ‘aset negara’ ketimbang beban. Jika 3 pesan untuk Pak Presiden di atas bisa Anda jalankan, maka berikut sejumlah agenda kerja yang sebagian dari kami menitipkan kepada Pak Presiden.
Pertama, sahkan dan terapkanlah ‘kebijakan payung’ (RUU Disabilitas) yang sedang dibahas di gedung parlemen saat ini. Kedua, Masukkan ‘Prinsip Inklusi’ serta ‘Pengarusutamaan Disabilitas’ ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019). Ketiga, Dengan mempertimbangkan faktor kerentanan bagi warga dengan disabilitas maka upayakanlah Afirmasi pemberian Jaminan Sosial bagi warga dengan disabilitas. Keempat, mengingat keberadaan Perempuan dan anak-anak dengan disabilitas merupakan kelompok yang paling rentan baik secara ekonomi, sosial maupun sebagai korban kekerasan dan ketidakadilan, maka jaminlah kepastian hukum dan keadilan bagi perempuan dan anak-anak dengan disabilitas. Kelima, bentuk dan percayakanlah suatu badan negara di bawah kendali Presiden yang mempunyai mandat dan wewenang koordinatif lintas kementerian untuk memastikan terlaksananya inklusifitas dan pengarusutamaan Disabilitas dalam berbagai program pemerintah. Keenam, Wujudkan Aksesibilitas dalam infrastruktur untuk mewakili keberagaman dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial.
Demikianlah, Pesan kami, Pak Presiden. Selamat Bekerja!
[catatan, mayoritas pandangan dalam tulisan ini adalah hasil perasan pikiran dari diskusi sejumlah aktifis difabel di berbagai daerah di Indonesia, di mana SIGAB, tempat saya bekerja sekarang ini menjadi salah satu inisiatornya]