Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Parentivasi: Revolusi Pendidikan (jilid 1)

4 Januari 2011   22:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 258 0
Isa Alamsyah Entah kenapa saya merasa harus mengungkapkan kejengkelan saya terhadap materi pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia, karena kita jadi terpaksa ikut menyesuaikannya. Pendidikan nampaknya harus direvolusi. Betapa anak-anak menderita stres dengan pelajaran yang di masa depan mungkin tidak bermanfaat sama sekali. Mereka kadang diangggap bodoh, kurang berpendidikan hanya karena gagal di sekolah. Semua terjadi karena sekolah menjadi indikator pendidikan, padahal di sekolah banyak pelajaran yang tidak penting yang dipaksakan untuk dipelajari. Seharusnya pendidikan tidak selalu identik dengan sekolah, dan idealnya sekolah bukan satu-satunya yang berhak menilai kadar terdidik atau tidaknya seseorang. Ilmu dibagi menjadi dua, ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni berarti ilmu untuk ilmu itu sendiri, jadi manfaatnya nanti dulu, sedangkan ilmu terapan berarti mencakup manfaat ilmu untuk kehidupan. Karena ada dua sifat tersebut maka dalam pendidikan juga harus dibagi menjadi dua, ilmu murni karena tidak langsung bermanfaat maka sifatnya bagi siswa HANYA SEKEDAR TAHU. Jadi tugasnya hanya untuk MEMANCING MINAT untuk ke tingkat yang lebih tinggi. Karena itu ilmu ini tidak boleh dibebankan ke dalam test. Kalau ada yang berminat baru ikut penjurusan. Sedangkan ilmu terapan harus difahami dipraktekkan dan menjadi bekal kehidupan. Contohnya sederhana. Ada anak Indonesia, yang berbicara dengan bahasa Indonesia, bermain dengan bahasa Indonesia, tetapi tidak lulus pelajaran Bahasa Indonesia. Itu aneh, karena esensi bahasa adalah komunikasi. Bagaimana mungkin kita tidak lulus bahasa Indonesia cuma karena tidak mengerti konsep SPOK, SP, kalimat majemuk, KV, KVK, KKVK, dll, padahal sehari-hari kita berbicara bahasa Indonesia. Yang bodoh siapa? Si anak yang lancar berbahasa bahasa Indonesia tapi tidak tahu konsep anak kalimat, kalimat majemuk, dll, tapi tahu cara memakainya dengan benar, atau penilai yang mementingkan teori anak kalimat, kalimat majemuk bertingkat dsb, yang bahkan tidak peduli anak-anak tersebut hidup dengan bahasa tersebut dan berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Ini sama saja dengan tidak memberi sertifikat renang pada ikan hiu karena ikan hiu tersebut gagal menjelaskan gaya renang apa yang dipakainya. Menurut saya, pengetahuan  SPOK, kalimat majemuk, dan teori bahasa hanya ditempatkan sebagai ilmu yang perlu diketahui tapi tidak boleh masuk dalam test. Kalau siswa tidak suka ya sudah jangan dipaksakan, toh tidak terlalu bermanfaat dalam kehidupan. Lucunya ada anak yang bunuh diri akibat UAN bahasa Indonesianya hancur. Padahal ia menulis surat bunuh diri dalam bahasa Indonesia. Tragis. Apa yang penting dalam bahasa? Anak perlu diajar kemampuan menulis. Kemampuan menyampaikan ide secara tulisan. Itu yang penting, dan banyak penulis handal yang tidak ngerti SPOK tapi jadi penulis sukses. Parahnya di daerah anak-anak dibebankan lagi bahasa daerah, please deh. Cukup bahasa persatuan dan bahasa Internasional. Coba lihat pelajaran biologi. Ada SD diajar tentang organ kodok, jenis jaringan tumbuhan, dsb. Tapi lulus SD mereka tidak mengerti banyak hal yang bermanfaat untuk kehidupan misalnya, survivor (tahu mana pohon yang beracun mana yang tidak kalau terdampar), tahu bagaimana mengatasi gas beracun, P3K. Mereka tidak tahu betapa bahayanya rokok, bagaimana menghindari narkoba, apa ciri-ciri narkoba, bagaimana mengatasi demam berdarah, bagaimana penanggulangan dini kalau ada korban luka bakar. Ini justru penting bagi kehidupan. Mereka tidak mengerti bagaimana memasak beras agar tidak terbuang vitamin B nya Mereka tidak tahu kalau susu jangan dicampur air panas karena kalsiumnya rusak, dll. Yang justru penting untuk kehidupan tapi tidak diajarkan. Kalau masalah kodok, tikus dan sebagainya hanya untuk memancing minat yang proporsinya hanya sekedar memancing minat saja bukan membebani. Sedangkan yang bermanfaat untuk kehidupan harus dikuasai. Anak anak juga diajar tentang planet. Mereka tahu jumlah planet, nama planet dan ukuran planet. Tapi mereka tidak diberi pelajaran tentang global warming, cinta lingkungan, dll yang justru berkaitan dengan kehidupan. Mereka juga tidak ada pelajaran persiapan bencana tsunami dan gempa dalam kurikulum. Justru ilmu yang penting ini diberikan oleh pengajar tamu dari PBB (United Nation) dan NGO internasional yang tentu saja tidak menyentuh semua siswa dan bersifat berkala saja. Tapi urusan planet di tata surya yang kita tidak tahun tahun berapa akan bermanfaat, semua siswa wajib menghapal. Kalau sekedar minat, ya ajak nonton bareng film tata surya, mereka yang berminat akan memutuskan ke jenjang antariksa. Kita mungkin butuh beberapa ratus ahli antariksawan, mungkin beberapa ribu, tapi tidak perlu puluhan juta anak harus menguasainya bukan? Kalaupun ada yang perlu diketahui dari antariksa adalah justru kemampuan menentukan arah kompas, ini malah tidak diajarkan (tidak didalami). Masih banayak anak tidak tahu mana utara, selatang, tenggara, dsb. Intinya, kita cuma butuh beberapa ribu ahli fisika. Kita cuma butuh beberapa ribu ahli linguistik Cuma butuh beberapa ahli biologi, dll. Tetapi kenapa ratusan juta anak wajib mempelajarinya, dan stress karenanya. Kalau orientasi kita rubah dengan pelajaran yang faktual, actual dan selektif, sedangkan bangsa lain masih terbelenggu dengan pendidikan simbolis dan konvensional, maka kita akan menyusul bangsa lain. Kita perlu mendefinisikan ulang materi pelajaran. MANA YANG CUMA SEKEDAR PENGETAHUAN dan MANA YANG HARUS DIKUASAI. Memang untuk beberapa anak yang mau melanjutkan ke LN jadi susah. Ya sudah di drill saja 6 bulan menjelang ke sana kekejar koq! Kepada anak-anak saya tidak memaksa mereka belajar. Yang penting mereka berkarya. Apalagi dengan adalnya UAN. 6 tahun mati-matian akan sia-sia hanya dengan kegagalan test 3 hari. Sialnya pas test jatuh sakit. Lebih baik 5 1/2 tahun bahagia, 1/2 tahun siapkan UAN mati-matian. Seharusnya penjurusan di mulai di SMP saja, jangan di SMA nanti terlalu banyak hal yang tidak penting dipelajari lagi. Jadi anak lulus SMA sudah produktif. Dan penjurusan jangan sekedar Fisika, Biologi dan sosial. Kini harus di tambah Teknologi Informasi. Buat praktisi IT sebanyak-banyaknya karena segala hal bisa dipermudah dengan IT. Korupsi biaya tinggi, penyelewengan pajak,  pengajaran online, dll  bisa dibantu IT. Jika IT maju pemilu tidak perlu sensus, kartu baru dsb. Cukup KTP Smart yang mempunyai data digital. Banyak orang saat ini bekerja dengan membuang katakanlah 80 - 90% pelajaran yang tidak ada manfaatnya. Siilahkan hitung sendiri. Apakah pelajaran PSPB, IPBA, Sastra, dll sangat berpengaruh dengan pekerjaan Anda sekarang. Coba ingat ingat semua pelajaran kita, mana yang bermanfaat? Saya mendidik anak-anak lebih pada orientasi ilmu bermanfaat dan karya. Salsa dan Adam anak saya yang SD sudah bisa photo shop. Saya bilang ke mereka. Dengan satu keahlian ini saja kamu sudah bisa menghasilkan uang puluhan juta per bulan, separti om ini, ini, dan ini saya menyebutkan nama desiner grafis yang mereka kenal.. Salsa sudah menulis 5 buku,  Adam menulis 2 buku. Saya bilang ke mereka, dengan kemampuan ini saja, kamu bisa berpenghasilan puluhan juta per bulan, seperti ini, ini, dan ini... nama-nama penulis. Salsa dan Adam kini suka internet. Saya bilang, kalau kamu dalami internet kamu bisa jadi orang terkaya di dunia. Mereka juga mendalami, olah raga dan musik. Kalau Salsa atau Adam pulang dengan nilai ujian jelak atau bagus. Maka saya check kesalahannya. Kadang saya bilang "Ini pertanyaan penting, kamu harus tahu jawabannya" Kadang saya bilang "Wah kalau soal ini gak apa salah, nanti juga gak kepakai dalam kehidupan. Ayah udah puluhan tahun hidup gak pernah pakai pengetahuan ini (saat itu soalnya tentang kota ini lintang berapa derajat bla..bla..bla) saya bilang gak usah hapalin lintang derajat begini, cari yang lebih bermanfaat. Mungkin saya seperti orang tua ngaco, ya kan? Tapi itu cara saya mendidik anak untuk menseleksi ilmu. Saya gak mau anak-anak stres untuk pengetahuan yang menurut saya tidak penting. Tapi saya juga menantang mereka belajar efektif. Dengan waktu belajar sedikit tapi hasilnya memuaskan. Kita kembangkan beberapa metode, intinya tangkap semua pelajaran di sekolah, perhatikan, tidak tahu tanya, lalu ulang dirumah, presentasi, dsb. Alhamdulillah Salsa dan Adam sejauh ini selalu mendapat ranking atas sekalipun belajar banyak hal lain di luar sekolah. Ya sudah, entah kenapa saya lagi marah dengan pendidikan yang membebankan banyak ilmu yang tidak bermanfaat. Just an idea (Tulisan ini ada di notes saya sejak Oktober 2010 lalu) Tapi saya akan melakukan riset dan gerakan serius untuk merevolusi pendidikan! Just wait and see. Bayangkan kita mau ke medan perang. Ada dua kelompok orang yang mau direkrut. Satu ilmuwan yang tahu berbagai nama senapan, tahu jarak tembak senapan tahu bahan baku senapan, mereka hapal senapan tersebut ditemukan oleh siapa, tahun berapa, dll. Tapi dia tidak bisa menembak, tidak bisa menggunakan senjata. Kelompok kedua adalah kelompok pemuda. Mereka tidak tahu siapa pembuat senapan, tidak tahu tahun berapa dibuatnya. Mereka tidak bisa menjabarkan alasan kenapa peluru bisa meluncur. Tapi mereka tahu bagaimana menembak, merakit senapan, merawat dan menggunakannya. Kira-kira kelompok mana yang kita bawa ikut perang? Nah generasi kita ke depan menghadapi banyak medan petempuran di bidang ekonomi, teknologi, informasi, dll, kalau mereka dicekoki sesuatu yang tidak bermanfaat di masa depan, bisa jadi kita akan kalah perang. Bagaimana menurut Anda? Anatole France: The whole art of teaching is only the art of awakening the natural curiosity of young minds for the purpose of satisfying it afterwards Johann Wolfgang von Goethe: Correction does much, but encouragement does more. John Dewey: The aim of education is to enable individuals to continue their education ... (and) the object and reward of learning is continued capacity for growth. Now this idea cannot be applied to all the members of a society except where intercourse of man with man is mutual, and except where there is adequate provision for the reconstruction of social habits and institutions by means of wide stimulation arising from equitably distributed interests. And this means a democratic society. Robert Fulghum: All I really need to know ... I learned in kindergarten. St. Francis Xavier: Give me the children until they are seven and anyone may have them afterward. Roger Lewin: Too often we give our children answers to remember rather than problems to solve.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun