Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Marah, Emosi? Baca Ini...

14 Oktober 2010   23:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:25 257 0
Kemarin, salah satu rekan kerja saya, menangis tersedu-sedu, tak lain karena barusan dibentak-bentak, dihardik, juga diancam hendak digampar oleh seorang ibu-ibu... Dia, yang seumur hidupnya sangatlah malang, karuan saja bertambah pilu, mengingat meski berasal dari keluarga broken-home, perlakuan yang dia terima sangatlah menyakitkan. Terluka, juga nyeri yang amat sangat? Tentu saja... Anda pun tak ingin jika perkataan atau pun perbuatan anda melukai hati orang lain? Baiknya baca saja kisah teladan berikut ini...mudah-mudahan mengilhami? PAKU Suatu ketika ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Ayahnya berusaha keras untuk membuang sifat buruk anaknya.Suatu hari ia memanggil anaknya dan memberinya sekantong paku. Paku? Ya, paku! Sang anak heran. Tapi, bibir ayahnya justru membentuk senyum bijak. Dengan suaranya yang lembut, ia berkata kepada anaknya agar memakukan sebuah paku di pagar belakang rumah setiap kali marah. Ajaib! Di hari pertama, sang anak menancapkan 48 paku! Begitu juga di hari kedua, ketiga, dan beberapa hari selanjutnya. Tapi, tak berlangsung lama. Setelah itu jumlah paku yang tertancap berkurang secara bertahap. Ia menemukan fakta bahwa lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan begitu banyak paku ke pagar. Akhirnya, kesadaran itu membuahkan hasil. Si anak tak lagi pemarah. Ia bergegas memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Sang ayah tersenyum. Kemudian meminta si anak agar mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah. Hari berlalu, dan si anak berhasil mencabut semua paku dari pagar. Ia bergegas melaporkan kabar gembira itu kepada ayahnya. "Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku. Tapi,lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan bisa seperti sebelumnya", kata si ayah bijak. "Ketika kamu melontarkan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu membekas seperti lubang ini di hati orang lain. Tidak peduli berapa kali kamu minta maaf, luka itu akan tetap ada". Ucap sang ayah lembut namun sarat makna. Sang anak membalas tatapan lembut ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Pelajaran yang diberikan ayahnya begitu tajam menghujam relung hatinya. (Ditulis Ulang Berdasarkan Artikel di Lembar Jum'at - Insan Mulia/Eds.33/4 Maret 2005) (Inzet foto, PAKU, karya: Isaac Ahmed)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun