Seiring dengan hadirnya kembali nilai-nilai nasionalisme dalam konteks dunia yang “datar” pada masyarakat Indonesia, hal ini pun dimanfaatkan oleh para brand owner untuk mempertajam brand identity milik mereka. Telkom adalah contoh kasus terbaru bagaimana perusahaan plat merah ini mempertajam brand identity-nya sebagai patriotic brand. Secara sederhana, patriotic brand adalah upaya penajaman brand identity system dengan nilai-nilai nasionalisme supaya dipersepsikan sebagai brand kebanggaan bangsanya dan peduli terhadap kemajuan negerinya di benak konsumen (in the consumers’ mind). Dari sisi warna logo, tagline, iklan, pakaian seragam karyawan, dll., Telkom Group sangat identik dengan merah-putih. Ini adalah bentuk patriotic message bahwa Telkom ada demi Indonesia. Strategi pemasarannya pun menggunakan dalih demi Tanah Air seperti Indonesia Digital Network, Indonesia Digital Entrepreneur, Indonesia Digital Cloud, Indonesia Digital School, dll, sebagai “Mahakarya Indonesia”.
Mengapa brand identity Telkom berubah? Selain visi masa depan perusahaan itu sendiri, penajaman brand identity Telkom Group adalah upaya merespons perubahan nilai-nilai masyarakat yang mulai peduli nasib bangsanya. Dengan begitu, menjadi patriotic brand bisa menjadi pilihan strategi untuk meningkatkan brand equity dan mendorong penjualan produk Telkom. Seberapa akan efektifkah penajaman brand association Telkom menjadi patriotic brand untuk meningkatkan penjualan? Melihat beberapa kasus global brand di negeri Paman Sam cukup sukses dan membuat masyarakat loyal untuk menggunakan Jeep, Levi’s, Coca-Cola, Disney, Ford, Harley Davidson sebagai wujud cinta nasionalisme terhadap produk bangsanya.
Hal ini pula yang mulai dimanfaatkan oleh para advertiser dalam mempertajam brand identity milik Unilever, Pertamina, Gudang Garam, BRI, Semen Indonesia, dll., dengan tema-tema nasionalisme. Meskipun belum seekstrem Telkom, tetapi mereka kian sadar harus membangun brand association nasionalis pada product attribute miliknya. Mereka kian gencar memasarkan produknya dengan cara menyentuh nilai-nilai kebanggaan sebagai warga negara Indonesia dengan menggunakan produknya, meskipun produk-produk itu tidak sepenuhnya adalah karya anak bangsa. Umumnya, pas menjelang tanggal 17 Agustus ataupun Hari Kebangkitan Nasional, mereka menghadirkan iklan-iklan nasionalistik.
Perubahan Nilai-nilai
Pilpres tahun lalu memberikan gambaran bagaimana seksinya tema nasionalisme dalam hingar-bingar kampanye politik. Semua calon presiden menjanjikan hadirnya semangat nasionalisme dalam mengoperasionalkan kekuasaan pemerintahan mendatang, baik di bidang ekonomi, politik, budaya, dll. Prabowo-Hatta dengan jargon “Selamatkan Indonesia”, dan Jokowi-JK dengan iming-iming “Indonesia Hebat”. Keduanya mengaku sebagai calon presiden nasionalis dan akan mengupayakan kepentingan bangsa atas dominasi asing di segala sektor kehidupan: ekonomi, pangan, tatakelola migas, politik, budaya, dll. Mengapa mereka menggunakan tema nasionalisme dalam kampanyenya?
Apabila melihat efektifnya kampanye nasionalisme pada Pilpres tahun lalu, maka saya percaya bahwa tema ini akan semakin seksi sebagai tema pemasaran di tahun ini. Mengapa seksi? Ini tidak lepas dari perubahan nilai-nilai pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dulu mulai apatis terhadap gagasan nasionalisme, kini menilai merasa penting bahwa nilai-nilai ini sangat urgen. Ini tidak lepas dari pengaruh eksternal yang sangat mempengaruhi tumbuhnya rasa nasionalisme, meskipun nasionalisme itu masih bersifat artifisial. Seperti dikatakan Andy Hines dalam bukunya Consumer Shift, bahwa perubahan nilai-nilai bisa sangat ditentukan oleh external factor seperti ideologi, norma, politik, ekonomi, dll. Di dalam tulisan sebelumnya, saya telah mengupas perubahan nilai-nilai ini di artikel Indonesia Middle-Class Consumer Trends 2015.
Kuatnya dominasi global brand di pasar Indonesia dan adanya kawasan perdagangan bebas telah menstimulus rasa nasionalisme di masyarakat. Mereka bakal kian menjadi sensitif terhadap produk-produk asing dan lebih memilih brand dari Tanah Air asalkan kualitas produk atau layanannya tak kalah jauh dengan global brand. Mengapa? Dengan cara demikian, mereka seolah-olah bertindak peduli terhadap nasib bangsanya. So, mereka merasa Indonesia banget. Di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika, penajaman brand identity merek-merek besar lumayan sukses.
Brand Identity Traps
Sejak dua dekade lalu melalui bukunya Building Strong Brands, pakar brand David A. Aaker mewanti-wanti para brand owner yang sudah mapan agar awas terhadap brand identity traps. Brand identity traps adalah fenomena di mana brand sudah tidak mampu meningkatkan brand equity karena terjebak di brand image (persepsi yang terbangun), brand position (value proposition atau tagline), external perspective (tidak memasukkan unsur-unsur internal), dan product-attribute fixation (brand=produk). Umpamanya, brand seringkali diasosiasikan dengan produk karena para brand owner tidak cukup serius membangun brand. Padahal, menurut Aaker, membangun brand adalah pekerjaan yang sangat strategis. Alasan konsumen membeli suatu produk bisa jadi bukan karena atribut produk itu sendiri (kualitas, fitur, layanan), melainkan ada variabel lain seperti country of origin, brand personality, organizational association, emotional benefit, self-expressive benefit, dll. Apakah orang membeli produk Apple murni disebabkan oleh kualitas produknya?
Umpamanya adalah Super Mie yang dulu brand ini mahahebat, tapi tiba-tiba melempem dan disalip oleh kompetitor utamanya Indomie. Selain faktor kurangnya inovasi produk, Super Mie mulai redup karena kurang kreatif membangun brand identity system. Sementara itu, Indomie mulai membangun brand-nya tidak sekadar mie (produk) semata, melainkan makanan pokok selain nasi dengan variasi rasa, subtitusi makan berat saat tengah malam, teman makan sahur, dll. Dengan begitu, value of brand Indomie kian kokoh. Pada kategori lain, brand kecap Bango makin mengkilap seiring kuatnya brand identity produk milik Unilever itu. Lebih dari kecap, Bango menjadi “penyedap rasa masakan Nusantara”. Kinclongnya brand Bango menjadi pesaing serius bagi brand-brand kecap besar lainnya.
Salah satu upaya yang menurut saya bisa dilakukan oleh para brand owner untuk menghindari brand identity traps adalah mempertajam brand identity system sebagai patriotic brand. Melihat perubahan nilai-nilai masyarakat dan kuatnya pengaruh globalisasi (tahun ini ada AEC), maka tema nasionalisme menjadi isu yang seksi dalam kampanye pemasaran sehingga bisa menciptakan brand equity yang kuat bagi merek lokal.
Jeep, Levi’s, Coca-Cola, Burgundy, Rolls Royce, Danish, Ford, Harley Davidson, Hyundai, dll., adalah beberapa contoh global brand berusia puluhan tahun yang makin kinclong karena dibangun brand association-nya sebagai patritotic brand bagi pasar domestik. Bagi mereka yang menggunakan Harley Davidson memiliki kebanggaan tersendiri sebagai warga negara yang Amerika banget. Everybody tries to be as American as we can be. Rolls Royce adalah mobil kebanggaan warga negara Inggris. Saking bangganya dan telah menjadi brand heritage negeri Ratu Elisabeth itu, seringkali konsumen tidak peduli brand itu kini sudah diakuisisi oleh perusahaan otomotif asal India Tata Motors. Intinya, menjadi patriotic brand mampu menciptakan magnet berkekuatan dahsyat atau emotional connection yang membuat hati konsumen bisa luluh.
Emotional Connection
Patriotic brand ini mampu menciptakan emotional connection yang tak terkira dahsyat di benak konsumen. Sederhananya, “seberapa Indonesia lu?” sangat ditentukan kuatnya patriotisme atau kegemaran menggunakan produk karya anak negeri. Ini bisa kita rasakan bangganya luar biasa apabila kita menggunakan produk dalam negeri. Ini juga terjadi pada warga negara Amerika Serikat. Meskipun mereka dikenal negara kapitalis dan banyak produk yang dilahirkan dari warga negaranya, tetapi ekspansi produk asal Jepang dan China cukup membuat khawatir kondisi pasar mereka, sehingga kampanye patriotisme mulai semarak lagi. Kita sering melihat di film-film Hollywood mengenai kampanye ini.
Contoh lainnya bagaimana strategi patriotic brand menciptakan keampuhan emotional connection ialah ketika Jokowi mendukung pembuatan mobil Esemka di Solo. Publik Indonesia pun antusias ingin turut memiliki mobil hasil karya anak negeri itu. Bahkan, kabarnya banyak orang Indonesia sudah antri memesan mobil yang diproduksi anak sekolahan itu, mulai dari masyarakat biasa, politisi, artis, pejabat, dll. Mengapa mereka antusias? Ini tidak lepas dari terjepitnya kondisi pasar otomotif negeri oleh produk-produk asal Jepang, Korea, Amerika Serikat, dll., sehingga menciptakan emotional connection mahadahsyat sehingga masyarakat pun merasa perlu untuk mendukung produsen asli Tanah Air.
Meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa mobil Esemka mangkrak tidak jadi merek kebanggaan nasional, namun emotional connection masyarakat sangat antusias ingin memiliki tatkala mobil ini dliuncurkan dan didukung oleh Jokowi.
Self-Expressive Benefit
Apabila dahulu kita mengenal dua jenis benefit yakni functional dan emotional, maka seharusnya kita sudah mulai menerapkan self-expressive benefit. Percayalah, jenis benefit ini tidak kalah jauh lebih impactful dibandingkan dua value sebelumnya. Seperti kata Aaker dalam bukunya Managing Brand Equity bahwa perilaku dan preferensi pembelian konsumen tidak ditentukan secara faktual, tapi lebih sering digiring oleh opini publik dan brand association yang kuat. Menjadi patriotic brand adalah cara memenangkan opini publik di konsumen.
Strategi menjadi patriotic brand bisa memberikan self-expressive benefit bagi konsumen. Artinya, brand yang sudah diasosiasikan sebagai nasionalis, maka kemungkinan besar akan digunakan oleh masyarakat. Dengan menggunakan produk bangsa sendiri, mereka akan merasa bangga sekaligus telat turut berkontribusi terhadap bangsa. Dengan kata lain, patriotic brand memberikan benefit sebagai brand yang gue banget. Contohnya adalah mengenakan kaos Damn I Love Indonesia bisa jadi memberikan benefit yang luar biasa bagi konsumen dan sebagai ekspresi gaya hidup baru.
Memasuki tahun 2015, saya melihat ada kemungkinan besar bahwa menjadi patriotic brand adalah pilihan strategi ampuh dalam mendorong penjualan. Beberapa global brand sudah membuktikannya, seperti Harley Davidson, Levi’s, McDonalds, Pepsi, Starbucks, Disney, dll., yang sangat identik dengan Amerika dan menggunakan produk milik negara sendiri adalah sebuah kebanggaan. Inilah fenomena self-expressive benefit di negeri Paman Sam.
Edukasi Konsumen
Melihat begitu sensitifnya rasa nasionalisme dalam penggunaan produk di benak konsumen Indonesia, maka mulai saat inilah brand-brand lokal harus mengedukasi masyarakat agar mau menggunakan merek mereka. Ciptakan produk atau layanan yang berdaya saing global, lalu edukasi agar masyarakat menggunakan local brand. Beberapa brand lokal mulai mengedukasi masyarakat, meskipun masih terlihat kurang cool di mata konsumen. Contohnya, Maspion menggunakan isu nasionalisme sebagai preferensi utama pembelian produk rumah tangga di Tanah Air. Tetapi, iklan ini kurang terlihat ciamik karena lebih menonjolkan direct selling-nya dan brand ambassador agak kurang sip, maka saya melihat iklan brand asal Sidoarjo ini kurang terlihat keren. Ingat, konsumen Indonesia saat ini sangat global-minded dan image-seeker, oleh karena itu ciptakanlah cool factor yang mampu membangun merek Anda sebagai patriotic brand sehingga menciptakan brand equity yang kokoh.
Menurut saya, ada beberapa contoh brand lokal yang mungkin bisa menjadi patriotic brand di Tanah Air. Di kategori pasar smartphone yang tumbuh secara eksplosif, maka brand owner Advan bisa memainkan isu nasionalisme dalam mengedukasi pasar Indonesia untuk menggunakan produknya. Secara kualitas, saya kira produk ini masih bisa bersaing dengan smartphone keluaran pabrikan China seperti Lenovo. Supaya memuluskan jalannya menguasai pasar dalam negeri sendiri, maka target market mereka harus mulai disentuh dengan isu-isu nasionalisme dalam penggunaan produk. Apabila masif dan cool, ini akan sukses luar biasa.
Sumber: www.iryanah.com