Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Penyelaras Pendidikan dan Pekerjaan itu adalah Kita

18 Maret 2013   01:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:35 279 0

Ketika hendak menuliskan pemikiran tentang pendidikan dan keselarasannya dengan dunia kerja saya sangat bingung harus memulai darimana. Awalnya, saya mencoba dari sudut situasi pendidikan di Indonesia saat ini, namun tampaknya logika dan imajinasi saya kurang mampu menggapai keseimbangan, mungkin karena sistem pendidikan kita juga sedang labil yang ditandai dengan bergantinya kurikulum pendidikan. Kemudian, terlintas di otak saya untuk membicarakan tentang apa yang diinginkan perusahaan dari seorang intelektual hasil cetakan lembaga pendidikan. Mungkin terlalu lebar dan sepertinya saya tidak berani beropini tanpa adanya data dan riset.

Baiklah, saya akan awali dengan bercerita saja. Tapi ini bukan sekedar ilustrasi dalam bentuk fiksi. Cerita berikut based on true story yang mungkin, bisa membuka hati dan pikiran kita secara bersama. Mari kita mulai.

Teman saya, sebut saja namanya Joko, adalah satu dari sekian lulusan Ilmu Komunikasi dari Perguruan Tinggi Negeri dengan predikat cumlaude. Dia satu angkatan dengan saya di kampus. Dia sekarang bekerja di salah satu media advertising. Dia pernah bercerita kepada saya bahwa sebenarnya dia ingin bekerja di media yang lebih besar. Ukuran besar di sini lebih berkiblat pada redaksional, financial, dan market. Ia sudah pernah mencoba melamar ke perusahaan media yang besar menurut pemikiran mainstream. Begitu wisuda, ia sibuk melayangkan sejumlah CV nya ke berbagai media besar dengan membanggakan predikat cumlaude-nya. Namun, saya tidak tahu di mana letak pasti kesalahan teman saya ini. Hampir setahun ia menganggur karena selalu gagal. Entah itu di tahap psikotest, interview, ia selalu saja gagal. Bahkan dia pernah mencoba 4 kali melamar di satu TV swasta Nasional. Pada cerita pertama ini, mari kita garis bawahi persoalan yang ada adalah gagal dalam proses recruitment. Meskipun ia merasa harus bekerja di dunia kerja yang selaras dengan pendidikannya, tapi ia belum mampu (setidaknya sampai sekarang) untuk mewujudkan keselarasan tersebut.

Teman saya selanjutnya adalah seorang dara. Kita panggil saja dia Bunga. Sama seperti Joko, ia juga lulus dengan IPK di atas 3,5. Tepatnya 3,72. Dewi fortuna mungkin lebih melekat kepada dia untuk saat ini dibanding teman saya Joko. Begitu wisuda, ia melamar di sebuah Bank swasta yang setahu saya masuk 3 besar Bank terbaik skala Nasional. Ia keterima untuk program pengembangan karyawan (Management Trainee). Selidik punya selidik, ia memang bercita-cita untuk berkarir di industri perbankan. Saya sempat bertanya, kalau begitu kenapa ia memilih jurusan Ilmu Komunikasi  untuk latar belakang pendidikannya. Alasannya cukup menyentak otak saya. “Pilihan pertamaku di SPMB kemarin sih akutansi, pilihan kedua baru ilmu komunikasi, ya karena lulusnya di komunikasi ya aku ambil aja. Lagian jaman sekarang banyak Bank yang nyari karyawan dari all major kok,” ujarnya. Kurang lebih seperti itu kalimat yang saya ingat ia lontarkan. Untuk cerita teman saya yang satu ini, mari kita ambil kesimpulan, jenis pekerjaan seseorang tidak selalu harus sesuai dengan background pendidikan mereka. Seorang dokter memang harus sekolah kedokteran terlebih dahulu jika ia ingin berprofesi sebagai dokter yang sah memiliki izin. Begitu juga dengan lawyer atau konsultan hukum, ia diwajibkan berasal dari jurusan Ilmu Hukum. Tapi, apakah seorang sarjana kehutanan tidak bisa bekerja sebagai desc collection di bank misalnya. Atau seperti teman saya, Bunga, lulusan Ilmu Komunikasi yang sekarang sedang berada di grade 7 di bank tempat ia bekerja.

Cerita nyata ketiga berasal dari pengalaman saya pribadi. Perkenalkan, saya alumni Ilmu Komunikasi dengan predikat cumlaude dan mendapat gelar Sarjana dalam kurun waktu 3 tahun 5 bulan. Sudahkah itu menjamin kehidupan pekerjaan saya yang baik atau setidaknya saya bisa bekerja dengan passion dan salary yang sesuai juga mengikuti saya?! Itu adalah ekspektasi saya setelah saya resmi menjadi seorang Sarjana. Well, jawabannya tidak! Saya sempat bekerja di salah satu TV swasta nasional. Saya sangat menikmati pekerjaan saya kala itu. Apalagi pekerjaan tersebut didukung background pendidikan saya yang tepat. Ibarat gula bertemu dengan teh, maka terciptalah teh manis. Maaf, jika perumpaannya terlalu sederhana. Soal salary? Awalnya saya rasa itu cukup untuk kategori fresh graduate seperti saya waktu itu. Setelah hampir setahun bekerja, saya mulai berubah haluan orientasi. Maksud saya orientasi dalam bekerja. Bekerja sesuai passion memang indah, tapi kadang realistis harus dikombinasikan di dalamnya. Tuntutan kehidupan, target, dan ekspektasi saya yang semakin tinggi membuat saya berpikir panjang. Sebelumnya, saya punya sebuah Dream Book. Di dalamnya terdapat beberapa harapan dan target yang harus saya capai. Hmm, ambisius? Saya rasa tidak! Daftar-daftar tersebut membuat saya lebih tahu tujuan hidup saya. Tidak hanya sekedar kerja, menghasilkan duit, berencana untuk menikah dan seterusnya.  “Jika saya terus bekerja di sini dengan flow kerja yang super duper tinggi serta income yang sekian dan meskipun nantinya saya berada di posisi tertinggi saya di sini, saya tetap tidak bisa mengejar target di urutan sekian dan sekian dalam Dream Book saya,” gumamku sambil menuliskannya. Saya mengoptimiskan diri untuk keluar dari zona passion saya ketika bekerja di TV tersebut.  Sekarang saya berkarir di industi IT yang sudah saya analisis sendiri, saya akan bisa menghidupkan mimpi-mimpi saya di sini. Sepertinya! Sebaiknya saya mengAMINkannya. Selain salary yang lebih besar, flow kerja yang tidak hectic memberi saya space untuk melanjutkan rencana studi S2. Saya juga punya “me time” untuk ngeblog, baca buku, dan tidur! Point dari cerita saya adalah, meskipun pendidikan saya sudah selaras dengan job desc pekerjaan saya, tapi orientasi seseorang dalam bekerja bisa jadi fleksibel. Terkait soal waktu, gaji, atau mungkin kejenuhan. Ini mengakibatkan, bahwa kadang keselarasan ilmu dalam bangku kuliah dan ilmu dunia kerja belum menjamin seseorang berhasil. Saya teringat, begitu saya resign dari TV tersebut, senior saya yang sudah delapan tahun mengabdi juga resign seminggu kemudian dengan alasan sudah jenuh. Padahal awalnya, ia merasa menjadi seorang TV broadcaster adalah pekerjaan impiannya dan akan menjadi broadcaster yang expert kelak. But, see? People change.

Rangkuman atau benang merah dari ketiga cerita di atas apakah sudah menjawab bagaimana keselarasan itu bekerja?

Mari kita sederhanakan point per point:

Cerita pertama menunjukkan bahwa keselarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang sudah bisa dikoneksikan juga membutuhkan usaha dan proses connecting. JIka sudah terkoneksi maka terbentuklah keselarasan tersebut, jika belum maka keselarasan itu tetap akan berbentuk keselarasan namun dengan defenisi yang lain. Selaras di sini bukan hanya soal bidang yang dipelajari di bangku kuliah dengan ilmu yang butuh diterapkan di dunia kerja, namun juga kepada softskill. IQ, EQ, dan SQ. Di sinilah diperlukan peran lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah ataupun kampus, dalam memanusiakan manusia. Menurut saya, inilah yang menjadi nilai penting dari keselarasan dunia pendidikan dan dunia kerja . Seperti teman saya di cerita pertama, dia tergolong smart secara intelektual, tapi mengapa ia susah menembus proses recruitment perusahaan  media besar. Bisa jadi, hasil psikotest atau interviewnya tidak memuaskan.

Cerita kedua berbicara tentang ketidak selarasan ilmu dalam kuliah dengan dunia kerja, namun selaras dalam kebutuhan. Pekerja menerima kebutuhannya dengan memberikan kebutuhan perusahaan (simbiosis mutualisme).  Siapa yang tidak setuju “, jenis pekerjaan seseorang tidak selalu harus sesuai dengan background pendidikan mereka?”

Cerita ketiga mengutarakan tentang keselarasan yang fleksibel. Berada dalam dunia pekerjaan yang sesuai dengan ilmu yang didapat di bangku kuliah ternyata perlu memperhatikan item lain dalam hidup. Waktu, gaji, dan hal lain juga perlu diselaraskan.

Lalu, bagaimana sebenarnya keselarasan dalam pendidikan dan dunia kerja? Apakah, kedua fase tersebut benar-benar dapat diselaraskan? Ya dan tidak. Bisa YA ataupun TIDAK. Berangkat dari tiga pengalaman di atas, kita dapat menyelaraskan pendidikan kita dengan dunia pekerjaan, jika kita tahu, apa dan bagaimana ilmu yang kita punya bekerja, maka kita tinggal memilih industri yang sesuai dengan ilmu kita. Tapi, lagi-lagi ada masalah, apakah keselarasan tersebut sudah memuaskan kita secara akal dan jiwa?

Terlepas dari cerita di atas, di kampus saya sendiri dosen-dosen kebanyakan berasal dari akademisi. Teman saya yang mengambil program studi “Public Relations” (saya sendiri memilih prodi “Jurnalistik”) yang sekarang bekerja sebagai PR officer kecewa. Apa yang diajarkan di kampus tidak banyak membantu pekerjaannya sekarang. Ini akibat dari bedanya dunia akademisi dengan praktisi. That’s why kampus memerlukan tim pengajar dari kalangan praktisi. Beruntungnya saya, tim pengajar di prodi jurnalistik cukup banyak yang berasal dari praktisi. Mungkin ini solusi tambahan. Karena menurut saya yang paling penting dalam menyelaraskan dunia pendidikan dengan dunia pekerjaan adalah proses memanusiakan manusia. Percuma juga seseorang paham betul tentang ilmu jurnalistik namun, tidak diimplementasikan dengan benar di dunia kerja. Keselarasan lebih dari sekedar terhubung. Siapa yang harus memulai? Jangan selalu menunjuk pemerintah dengan menyalahkan sistemnya. Mulai saja dari diri kita.

Belajar terus, tetap belajar, selaraskanlah dengan benar!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun