Tapi, topik tulisan ini bukan berkaitan dengan hal di atas. Justru tentang tidak sinkronnya bahasa lisan dengan bahasa tulisan. Hal ini sepertinya lazim di manapun. Sebagai contoh, masyarakat Jabodetabek sehari-hari kalau bicara antar teman atau saudara pasti pakai bahasa gaul versi Jakarta, pakai akhiran dong dan sih, yang tidak lazim dalam bahasa tulisan versi resmi, seperti di media cetak, surat-menyurat, dan sebagainya. Namun akhir-akhir ini, dalam bahasa tulisan versi non-formal seperti sms, facebook, twitter, dan sebagainya, ternyata mengikuti langgam bahasa gaul.
Nah, khusus bagi etnis Minang, beda kata dan tulisan cukup signifikan. Waktu sebelum tahun 2000-an, saat para perantau masih berkirim surat dengan kerabat di kampung, umumnya mereka menulis dalam ragam Bahasa Indonesia versi novel-novel terbitan Balai Pustaka. Sangat lazim, seorang anak menulis dirinya (kata ganti orang pertama) sebagai ananda, dan ibunya (yang kalau ketemu langsung akan dipanggil amak, ibu, amai, biai, dan sebagainya) ditulis ibunda. Ayahanda, mamanda, kemenakanda, kakanda, adinda, tentu juga lazim ditulis. Isi surat sepenuhnya ditulis dalam bahasa Indonesia, biasanya dimulai dengan kalimat: "Bersama ini ananda sampaikan bahwa ananda sekeluarga di Jakarta berada dalam keadaan sehat walafiat, semoga ibunda dan ayahanda di kampung beserta semua famili juga begitu hendaknya". Menulis dalam bahasa Minang, dianggap kurang sopan. Namun demikian, kalau si anak pulang kampung dan berkomunikasi langsung dengan orangtuanya pastilah pakai bahasa Minang. Dalam hal ini kalau pakai Bahasa Indonesia akan dianggap sombong, lupa kacang sama kulitnya.
Ketidakkonsistenan di atas, akan semakin terlihat dalam penamaan suatu kota atau desa. Selalu sebisa mungkin nama tempat ditulis dalam Bahasa Indonesia, tapi diucapkan dalam bahasa Minang. Contoh, versi tulisan adalah: Bukittinggi, Batusangkar, Lubuksikaping, Pariaman, Payakumbuh dan sebagainya. Namun versi lisannya dalam pembicaraan sesama orang Minang dibaca dengan: Bukiktinggi, Batusangka, Lubuaksikapiang, Piaman, dan Pikumbuah atau Payokumbuah. Ada juga peng-Indonesia-an yang salah, seperti nama bandara kota Padang yang lama, Tabing. Sebetulnya kalau konsisten pakai bahasa Indonesia harus ditulis "Tebing", atau kalau konsisten tulisan sesuai ucapan, harusnya ditulis "Tabiang". Ini sama dengan contoh berikutnya, nama suatu nagari di Payakumbuah, yakni Air Tabit (versi tulisan). Ini tidak jelas, versi bahasa Indonesia harusnya "Air Terbit" atau versi ucapan harusnya "Aia Tabik".
Ya, siapa tahu, mudah-mudahan akan muncul perda di Sumatera Barat untuk membakukan penulisan nama tempat, dan usul saya, sebaiknya pakai versi seperti yang diucapkan, meskipun untuk beberapa nama akan menyulitkan lidah non-Minang mengucapkannya. Toh di Jawa Barat ada nama tempat Pamungpeuk, atau Citeureup, yang sangat sulit dilafaskan lidah non-Sunda.