Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Raden Michael

5 Februari 2022   15:11 Diperbarui: 5 Februari 2022   15:16 144 3
BAB 1 - PANDEMI FLU TERMODIFIKASI

Era '4.0 verse' dikejutkan dengan munculnya penyakit flu termodifikasi yang entah termodifikasi secara alami atau memang sengaja dimodifikasi oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan dari penyebaran penyakit sederhana namun mematikan itu.

Jutaan bahkan ratusan juta rakyat dari berbagai kerajaan tewas karena penyakit sederhana tetapi bersifat sangat mematikan ini.

Semua bidang kehidupan sangat terdampak oleh pandemi penyakit mirip pilek atau flu yang berkepanjangan.

Termasuk bidang pendidikan.

-----

Kerajaan 'kolam susu' identik disebut sebagai kerajaan galau, kerajaan yang masih bingung, karena berada di 'persimpangan jalan menuju visi kerajaan masa depan' --persimpangan=perempatan atau perlimaan atau pertujuan,per limapuluh atau per 'bla bla bla' cabang jalan dengan lampu merah, kuning dan hijau menggantung di atas tengah masing-masing jalan.-- singkatnya disebut 'kerajaan peralihan'. Peralihan dari kerajaan jadoel menuju kerajaan modern.

Kerajaan 'kolam susu' dipimpin oleh raja yang dipilih dengan cara hitung per 'kepala' rakyat yang telah dianggap dewasa, bukan per 'pantat' mereka. Semakin banyak kepala yang mendukungnya, dialah yang dipilih dan dinobatkan sebagai raja baru, menggantikan raja yang sudah berakhir masa jabatannya. --suara rakyat, walau masih banyak suara siluman yang mengaku rakyat ikut terhitung pula, namanya proses pasti ada kekurangannya, salah hitung sana sini, ya, pasti ada! Rapopo! Yang penting muncul angka. Ketok palu. Dan langsung dianggap final. Raja terpilih, lalu dinobatkan. Sangat simple.--

Raja sekarang terpilih dari salah satu daerah beberapa kilometer dekat kota penghasil susu terbanyak yang dikenal sebagai 'kota susu'. -- bukan di kota susu, tetapi daerah dekat kota susu.--

Raden Michael, anak ingusan, usia 15 tahunan lahir satu kota dengan sang Raja. Entah kebetulan atau memang takdir yang menentukan. Namun sang Raja tak akan mengenal anak itu.

Raden Michael merupakan anak yang pintar, selalu juara di sekolah jenjang sebelumnya. Dia lahir sebagai anak dengan beberapa kelebihan selain pintar, berwajah tampan, bertubuh tinggi atletis karena dia sejak kecil dikader sebagai atlet renang. Namun karena pandemi yang berkepanjangan karir bidang olah raga itu harus dibatalkannya. Puluhan medali emas cabang renang menganggur tergantung di paku tembok kamarnya. Berbagai piala pun terlihat teronggok tak berguna.

Sang ayah --yang masih menyandang gelar Radem Mas dari salah satu kerajaan di kota asal sang Raja-- mendidik Raden Michael dengan cara moderat. Sejak kecil Raden Michael dikenalkan dengan teknologi tinggi. Anak kecil pintar itu dididik dan diberi kebebasan penuh untuk mengakses semua informasi dari internet.

Sang ayah bekerja di bidang IT dan merupakan salah satu programmer dengan berbagai karya di bidang IT. Cita-cita sederhana sang ayah adalah menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang moderat, anak-anak kerajaan 'kolam susu' yang berwawasan internasional.

-----

Suatu hari seorang 'shifu' wanita dari sekolah dimana Raden Michael belajar, memanggil ayahnya.

"Pak, bagaimana ini, kelanjutan sekolah anak bapak?" terdengar suara merdu 'shifu' wanita, pengajar dari sekolah itu.

"Hmm ... kami memilih untuk belajar secara modern, Shifu," jawab sang ayah.

"Oh, begini, Pak. Saat ini kami tidak dapat memberikan pilihan itu, sebab peraturan serombongan punggawa kerajaan telah memutuskan untuk meniadakan sistem modern itu --sistem pembalajaran jarak jauh--, kami diperintahkan untuk mundur lagi dan wajib memakai sistem jadoel, meski sebenarnya kami memilih sistem modern seperti pilihan Bapak. Tetapi kami tak berdaya, Pak. Kami tidak berani menentang keputusan atasan kami. Apalagi keputusan elit global, keputusan para punggawa kerajaan 'kolam susu' yang terkenal saklek, dan harus alias wajib dituruti! Ya, semacam otoriter begitulah, Pak!" terdengar dari speaker ponsel di genggaman sang ayah.

Ayah Raden Michael 'manggut-manggut' --mengangguk berkali kali dengan backsound suara hmm ... hmm ..."

"Emm ... pandemi ini kan belum berakhir, Bu. Bahkan varian baru sedang marak, bertambah banyak dan makin berlipat-lipat setiap hari. Itu yang saya dengar dari radio dan saya baca di berbagai media lain sebagai sumber resmi informasi penting di negeri 'kolam susu' ini," jawab sang ayah.

"Terus bagaimana, Pak? Kami tidak memiliki solusi untuk anak, Bapak. Kami harus tunduk kepada keputusan 'otorian' itu, jika kami menentang atau membuat keputusan lain kami akan dipecat secara tak terhormat, kami takut, Pak. Walaupun kami sebenarnya tak setuju juga dengan keputusan yang mendadak dan tidak masuk akal ini." sang 'shifu' mencoba memberikan penjelasan sesuai petunjuk atasannya.

"Oh, begitu ya, Bu?" jawab sang ayah.

"Iya, Pak. Kami tak berdaya. Bagai dijajah kompeni 350 tahun, Pak. Hmm ... mungkin roh kompeni-kompeni itu sekarang menjelma ke dalam diri punggawa-punggawa kerajaan 'kolam susu ini', Pak."

Perbincangan itu berlanjut dengan diskusi berikutnya dengan beberapa 'shifu' dan wakil kepala 'shifu' di sekolah itu yang berjalan beberapa menit, lalu pihak sekolah memutuskan untuk memanggil sang ayah menemui pihak sekolah di hari lain.

Deadlock. Hari itu tetap tidak ada solusi untuk pendidikan Raden Michael.

-----

Beberapa hari kemudian, sang ayah dipanggil lagi ke sekolah dengan membawa Raden Michael, pihak sekolah ingin minta tanda tangan persetujuan dari keduanya tentang jika sewaktu-waktu pihak sekolah ditegur oleh atasan mereka maka mereka tidak akan bertanggung jawab dan tanggung jawab serta resiko akan dibebankan kepada sang ayah dan anak didik yaitu Raden Michael.

-----

Terdengar di radio, varian baru virus flu yang termodifikasi itu makin merajalela terutama di ibukota kerajaan 'kolam susu' dimana mereka tinggal.

Beberapa sekolah menghentikan sistem pembelajaran manual karena beberapa murid dan beberapa 'shifu' terpapar penyakit sederhana namun dapat merenggut nyawa itu.

Pihak yang berwenang di ibukota kerajaan 'kolam susu' juga masih kekeh, super nekat untuk tetap bersikap otorian. Mendiadakan sistem pembelajaran modern, pembelajaran secara online dengan berbagai argumen-argumen yang tersusun rapi namun spekulatif.

Sementara punggawa pendidikan di kerajaan 'kolam susu' terlihat tak berdaya menghadapi gempuran kaum '1.0 verse'. Sang punggawa yang notabene dikenal sebagai pejuang kaum '4.0 verse' tak terlihat menciut siungnya dan tidak dapat mengambil keputusan dari dirinya sendiri. Entah karena sungkan, takut atau ada hal lain yang memang dirahasiakan yang tak mungkin diketahui oleh rakyat biasa.

-----

Raden Michael dan beberapa teman sebayanya yang beraliran kaum '4.0 verse' memilih untuk belajar di rumah masing-masing. Pertimbangan sederhana yaitu menanti pandemi berakhir. Mereka berpikir bahwa nyawa dan kesehatan adalah hal yang paling penting. Mereka tidak ingin berspekulasi dengan urusan nyawa dan kesehatan.

"Pintar tetapi besok mati, buat apa?"

"Jika pintar besok mati masih mending, Tong! Masih dikenang sebagai anak pintar."

"Tetapi sudah tidak tambah pintar, besok mati lagi! Ha ha ha!"

Terdengar perbincangan anak-anak beraliran '4.0 verse'yang masih menggunakan akal sehatnya.

Tentangan dan tekanan dari beberapa 'shifu' dan petinggi bidang pendidikan mulai terasa menyesakkan kepala anak-anak yang beraliran '4.0 verse'.

Mereka terancam tak dapat melanjutkan sekolah. Itu yang ada di kepala anak-anak pintar generasi penerus kerajaan 'kolam susu'.

Logika anak-anak itu tak bisa dibohongi lagi oleh kaum '1.0 verse' sebab anak-anak itu terlahir satu setengah dekade sebelum era '4.0 verse'. Dan bisa dikategorikan bahwa mereka adalah generasi '4.0 verse'.

Punggawa-punggawa kerajaan 'kolam susu' yang sekarang berkuasa, adalah anak-anak yang dulu terlahir di era '1.0 verse' memang diciptakan sebagai anak-anak 'yes man', 'yes boss' dan 'nggih, nggih, nggih' --nggih=ya=yes--. Dan kini tumbuh sebagai orang-orang kaku dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah usang yang sebenarnya harus sudah mereka ditanggalkan.

Sadar atau tidak, sebenarnya mereka tahu bahwa kini mereka hidup di era '4.0 verse' namun kebiasaan lama di era '1.0 verse', '2.0 verse' dan '3.0 verse' tak mudah diubah menjadi cara hidup baru di era '4.0 verse', '5.0 verse' dan seterusnya. Mungkin hanya akhir hayat saja yang dapat menghentikan cara berpikir lamanya itu. Ya, memang terlihat kejam namun hanya itu yang akan menghentikan cara berpikir kuno itu.

Perang ideologi '1.0 verse' melawan '4.0 verse' pun semakin terlihat dan dapat dijumpai di berbagai platform medsos dunia maya maupun di media-media mainstream kerajaan 'kolam susu'.

-----

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun