Sebuah perjalanan yang mengasyikkan dengan kapal cepat menempuh waktu 45 menit. Sekali lagi kita disuguhkan dengan harga tak bersahabat, 60000 IDR. Sedangkan untuk fery biasa, kalau tidak salah saat itu berharga 12.000 IDR. Kami berdua dalam kapal cepat tersebut, tak ada penumpang lain yang kami kenal dan di Sabang sudah tentu kami harus menginap di Losmen, Hotel atau tempat lainnya. Sampai di pulau Sabang yang pernah saya singgahi pada 2001, tak ada perubahan yang berarti baik dari infratruktur jalan, pusat-pusat ekonomi masyarakat dan kegiatan wisata yang berarti, tak ada event yang bisa di jual di sana. Para turis memang ada beberapa orang di kapal tersebut, namun mereka umumnya datang berdasarkan rekomendasi teman yang sudah pernah ke sana dan ingin menikmati kesunyian pulau Rubiah dan kawasan Iboih yang masih cocok untuk bertapa karena hutan yang sedikit masih lebat.
Setelah tiba di sana kami mencari Losmen, hanya ada dua losmen di jalan utama, yang saya sudah lupa namanya. Sedangkan hotel Sabang Hill katanya lagi dalam proses renovasi, sebuah hotel milik pemeritah daerah yang katanya tak membawa untung banyak bagi penghasilan asli daerah. Â Sore hari setelah selesai administrasi pendaftaran kami mengelili Pulau Sabang. Target pertama adalah Iboih, Gapang dan Rubiah. Di sana memang ada bebeapa tempat penyewaan alat untuk menyelam, bagi mereka yang ingin menikmati keindahan bawah laut. Namun tak ada restoran yang bisa dikatakan bisa mewakili untuk orang yang ingin menikmati makanan enak di sana buat para wiasatawan. Hanya ada beberapa warung kecil untuk bisa minum teh manis atau kopi. Namun sekali lagi kawasan perbukitan dan laut telah menjadikan Sabang cuku enak dikunjungi.
Esoknya kami ke kawasan Anoe Itam yang kalau diterjemahkan dalam bahasaIndonesia berarti Pasir Hitam. Kami juga singgah di kawasan Benteng peninggalan Jepang, yang berdiri pas berhadapan dengan lautan Hindia. Sore hari dari benteng ini bisa kita nikmati kapal-kapal berisi kontainer besar setiap saat melewati pandangan mata kita. Sayangnya mereka tidak singgah di Pulau Sabang, mereka biasa nya singgah di negera tetangga kita Singapura.
Esoknya kami pulang. Setelah menunggu beberapa bulan kami pun dinyatakan lulus. Kami kembali lagi ke pulau Sabang yang eksotik. Namun ada beberapa perlengkapan yang harus dilengkapi sebagai syarat administratif, di antanya surat keterangan kesehatan. Di sinilah sebuah peristiwa yang memberi pengalaman yang menyadarkan saya, kalau selama ini saya menganggur.
Petugas pembuat surat meminta ktp merah putih saya, karena Aceh saat itu sedang darurat militer. Saat mengisi data dia melihat kolom pekerjaan saya; Penulis. Dia pun bertanya, "apa sebenarnya penulis bang? " Karena tak ada jawaban, saya hanya menjawab seadanya, tulis saja penulis.
Ha, ha, ini saja cerita saya buat mengenang tregedi 2004, enam tahun lalu. Ya, memang kerja saya saat itu sedang menulis tesis untuk menyelesaikan kuliah S2 dan kerja di sebuah tabloid Jumatan Gema Baiturrahman dengan honor pertulisan kira-kira 5000 IDR. Jadi pekerjaan menulis atau apa saja yang berkaitan dengan menulis belum menjadi sebuah kegiatan yang dekat dengan masyarakat kebanyakan. Menulis juga belum menjadi industri yang menjanjikan bagi kehidupan pelaku yang bergiat di bidangnya. Gimana kalau 2011 dijadikan  momentum yang baik oleh Pemda Sabang menjadikan industri pariwisata dengan menggandeng  para penulis sebagai tukang semai informasi ke seluruh dunia. Sehingga industri pulau Sabang benar-benar akan hidup, kalau di Bali ada Ubud Writing Festival,  sudah selayaknya orang-orang yang mencintai Sabang juga berfikir di Sabang semestinya mesti ada event Nol Kilometer Writing Festival.
He he kapan ya bisa terwujud? dan untuk menulis kita tentu memerlukan media dan salah satu media yang lagi ngetop itu IPad sangat cocok di pergunakan.
Kembali ke Pulau Sabang, saya menetap di sana kira-kira lima tahun dan hanya dua kali kapal Pesiar pernah singgah di sana. Entah kapan Sabangku yang eksotik akan seindah Hawai yang eksentrik. Selamat tahun baru buat Pulau Sabangku,