Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Menggugat Toleransi Orang Siantar

11 Agustus 2023   11:26 Diperbarui: 11 Agustus 2023   14:29 290 3
SUDAH beberapa tahun ini Pematangsiantar tidak lagi mendapat peringkat sebagai Kota Paling Toleran. Padahal, Siantar merupakan suatu wilayah yang penduduknya sangat beragam. Sebagai kawasan multietnis, keragaman tak hanya dalam hal keyakinan (agama) semata. Namun juga dalam masalah adat dan budaya.

Begitu kaum penjajah memindahkan lokasi perdagangan ke wilayah kekuasaan Raja Simalungun ini, orang-orang dari berbagai penjuru pun berdatangan. Boleh jadi pada awalnya mereka hidup secara berkelompok, sehingga kemudian muncullah perkampungan kelompok. Seperti Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Bantan, Kampung Karo. Bahkan ada pula Kampung Kristen, dan Kampung Keling.

Nama-nama kampung tersebut hingga kini masih banyak yang dipakai  sebagai nama administratif di pemerintahan. Kendati warganya kini telah berbaur. Sehingga di Kampung Melayu dan Kampung Keling, misalnya, sudah banyak orang Tionghoa. Atau di Kampung Kristen ada juga bermukim warga beragama Islam.

 Menariknya, meskipun masyarakatnya telah multietnis, namun boleh dikatakan belum pernah sekali pun terjadi kerusuhan etnis di kota sejuk yang berada di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut ini. Seandainya terjadi perkelahian antara seorang Batak dengan warga Tionghoa, tak menyebabkan orang Batak lainnya langsung melabrak orang Tionghoa yang ketemu di jalan.

Dalam beberapa kali kerusuhan rasial di tanahair, warga di kota ini pun seperti tak terpancing untuk ikut melakukan hal yang sama. Toko-toko yang umumnya dimiliki warga Tionghoa tetap buka seperti biasa. Mereka juga bebas mondar-mandir di jalanan tanpa gangguan dari warga yang lain.

Di bidang agama pun begitu. Warga beragama Nasrani yang jumlahnya agak lebih banyak, tidak pernah merasa lebih mayoritas. Nyaris tidak ada yang saling mengganggu, khususnya dalam masalah peribadatan. Sebuah situs pernah mengabarkan bagaimana kelompok mahasiswa dari organisasi keagamaan Kristen, sibuk mengatur lalulintas ketika umat Islam melaksanakan sholat idulfitri di Mesjid Ilham, jalan Ahmad Yani.

Mesjid ini memang unik. Berada di jalan utama menunju kota Medan, mesjid Ilham seperti di kepung warga beragama Kristen. Baik di bagian kiri, kanan, dan belakang. Bahkan, persis di seberangnya berdiri dua gereja besar. Namun, meskipun setiap menjelang subuh diputar rekaman pengajian di pengeras suara, masyarakat tidak ada yang protes. Padahal, biasanya saat itu tidur paling enak. Terutama bagi yang sulit tidur malam.

Ada yang lebih unik lagi. Dalam pemilihan walikota, pasangan calon harus berasal dari agama yang berbeda. Kalau untuk walikota beragama Islam, maka wakilnya harus beragama Kristen. Begitu pula sebaliknya.

Boleh jadi hal ini bukan karena masalah toleransi. Tapi hanya trik untuk mendapatkan suara dari para pemilih yang jumlahnya memang hampir berimbang.

Kendati begitu, hal ini memang tetap menyiratkan adanya semangat toleransi di sana. Sebagai warga Pematangsiantar mereka menganggap berada di kubu yang sama.

Ini bisa dibuktikan dari sebuah kelompok di ibukota Jakarta yang menamakan diri: Siantar Man. Di kelompok ini tak ada ego kesukuan maupun keagamaan. Bahkan, orang luar yang pernah bertugas di Siantar pun ada yang ikut bergabung.

Maka yang menjadi pertanyaan, mengapa Siantar kini tak lagi termasuk sebagai kota paling toleran? Ayo Siantar Man, ayo warga Siantar, mari tunjukkan bukti bahwa Siantar masih tetap merupakan kota paling toleran. (irwan e siregar)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun