Merasa sedih karena tak diajak ikut dalam acara ini. Sedih bukan karena tidak bisa mengikuti kemeriahan acara. Tapi karena melihat belum banyak yang memikirkan nasib sabut kelapa di sana yang hingga kini masih menjadi limbah. Padahal, saya sudah menyiapkan berbagai catatan pengalaman mengelola sabut kelapa eskpor. Tulisan saya yang dilombakan dan kemudian dijadikan buku dalam acara ini juga telah membahas sekelumit tentang hal ini.
Selama hampir sebulan acara HPN ini, Pemkab Inhil telah memanfaatkannya sebagai ajang promosi kelapa. Maklum saja, Inhil merupakan kawasan perkebunan kelapa terluas di Indonesia, atau sekitar 300 ribu kilometer persegi. Namun, sayangnya, hingga kini belum memiliki kilang pengolahan sabut kelapa. Padahal, di Lampung dan Sumatera Utara pengusahanya sangat antusias menanganinya. Seperti di Kisaran, Sumut, sekarang ada delapan kilang sabut kelapa. Padahal jumlah kebun kelapa di Kabupaten Asahan hanya sekitar 30 ribu kilometer persegi.
Di kawasan Sei Guntung, Inhil, memang ada sebuah kilang sabut kelapa. Tapi, pemiliknya adalah orang dari Provinsi Kepri. Sehingga kehadirannya tidak menular ke pengusaha yang berada di daratan Inhil.
Saya sendiri berkeinginan memberikan masukan karena pernah terjun langsung mengelola kilang sabut di Kisaran. Waktu itu melanjutkan usaha kawan, seorang alumni teknik USU yang tiba-tiba mendapat job di Dubai. Kami sempat merasakan manisnya ekspor serat sabut kelapa (cocofiber) dan limbahnya (cocofeat) untuk media tanam bibit akasia di perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sum-ut dan Riau. Nasib saja yang membuat saya terpaksa mengembalikan kilang tersebut. Dana untuk membayar kilang tak kunjung ada karena kebun sawit yang saya jual belum laku-laku saat itu. Daripada ribut saya kembalikan saja.
Sebelum dan setelah mengambilalih kilang di Kisaran itu, saya sudah beberapa kali melakukan survei ke Sei Guntung, dan ke petani kelapa di daratan Inhil. Waktu itu kendala yang utama adalah masalah pelabuhan kontainer ekspor. Kawan di Sei Guntung, bahkan minta tolong tanyakan ke Pekanbaru. Boleh jadi karena ekspor dari Batam yang selama ini mereka lakukan kurang lancar atau costnya terlalu tinggi. Pelabuhan kontainer ekspor terdekat saat ini adalah dari Belawan.
Sempat terpikir untuk mendatangkan kelapa ke Kisaran. Di sana kelapa dikoncet atau dibuka batoknya. Kelapa putih ini biasanya diekspor ke Malaysia. Sedangkan batoknya dijadikan arang, dan sabutnya masuk ke kilang. Sayang, upaya itu terkendala modal yang lumayan besar.
Untuk itu sebenarnya saya berkeinginan hadir dalam acara HPN ini. Siapa tahu bisa terjalin kerjasama bisnis antara Koperasi PWI dengan perusahaan kelapa terbesar di sana, PT Pulau Sambu, dan Pemkab Inhil. Tapi, kawan-kawan nampaknya masih lebih syor dengan hurah-hurahnya saja. Bukan bagaimana mengembangkan negeri ini dan memajukan masyarakat. (irwan e siregar)