Rumah-rumah semi permanen dan sebagian sudah permanen berderet memenuhi kampung yang dihuni 4 ribuan jiwa. Mesjid berukuran 20 x 20 meter yang tampak wah mereka bangun sendiri atas swadaya masyarakat. Listrik PLN sudah masuk meskipun hanya nyala pada malam hari. Menara Telkomsel pun telah berdiri kokoh di sana.
Perbedaan yang sangat kontras dibandingkan sebelum tahun 1988. Betapa tidak, saat itu mereka masih tinggal di perahu. Sangat sederhana. Sandang dan pangan serba terbatas. Padahal mereka tinggal di perbatasan dengan Malaysia dan Singapura yang sudah sangat maju.
Orang Duano adalah bagian dari Suku Laut yang tinggal di sekitar Batam dan Johor, Malaysia. "Kami dari ras Proto Melayu," kata Hasanuddin, Ketua Ikatan Orang Duano Riau, saat kunjungan Ekspedisi Jurnalistik PWI Riau, Sabtu, 18 Maret.
Sub Suku Laut ini mulai diperkenalkan dengan peradaban pada tahun itu lewat Program Pemukiman Masyarakat Terasing (PPMT). Dalam program ini masyarakat coba dimukimkan secara permanen dari perahu ke rumah yang telah dibangun pemerintah.
Masyarakat Duano yang saat itu masih terbelakang rupanya menyambut uluran tangan pemerintah ini dengan baik. Anak-anak disekolahkan ke kota Kabupaten di Tembilahan. "Di sana kami sering diejek: 'Orang laut..orang laut...orang laut," kata Suhaimi, warga asli di sana yang kini telah menjabat sebagai Sekretaris Kecamatan.
Namun, mereka menjadikan ejekan ini sebagai sebuah tantangan. Terbukti, Suhaimi berhasil meraih titel S1 dan S2. Ada juga warga yang kini menjadi dosen, polisi, tentara, dan pegawai lainnya.
Menariknya, meskipun telah dimukimkan di darat, Orang Duano ini tetap mengandalkan mata pencaharian dari hasil laut. Yakni mencari kerang dan kepiting. Juga ikan pantau yang dijemur jadi ikan teri.
Cara mencari kerang dan kepiting yang mereka sebut dengan menongkah itu juga sangat unik. Dengan sebilah papan dari kayu pulai nelayan ini berselancar di lumpur di tepi muara Sungai Indragiri itu mencari kerang dan kepiting. "Dalam sehari bisa dapat Rp 50 sampai Rp 100 ribu," kata Aliyan, ayah dua anak. Anaknya sudah bekerja di Batam, sekitar 3 jam perjalanan dengan feri.
Dengan penghasilan yang lumayan, wajar jika Desa Sungai Belah ini tampak berseri. Berbeda dengan sesama saudaranya Suku Laut yang terdapat di Batam dan Johor, Malaysia.
Menurut Suhaimi, kunci keberhasilan tersebut tak lepas dari ketaatan masyarakat beribadah. "Di kitab suci kan disebut Tuhan akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu. Makanya kami terus memperkokoh iman dan ilmu," katanya.
Di Desa Sungai Belah kini ada sebuah sekolah dasar negeri, madrasah tsanawiyah, dan SMA terbuka. Dikatakan terbuka karena sekolah ini buka hanya pada Jumat dan Sabtu.
Warga di sini juga berupaya menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa tahun lalu mereka mendirikan Duano Peduli Mangrove. Kawasan mangrove di Desa Sapat mereka lestarikan lagi sehingga kembali menjadi habitat kerang, kepiting, dan hutan. "Sekarang warga di sana bisa memperoleh hasil sampai Rp 5 juta per bulan sebagai nelayan di situ," katanya.
Hasanuddin juga menegaskan mereka terus menjaga hutan mangrove dari penebangan liar. "Memang masih ada juga orang nakal yang melakukan pencurian kayu, tapi jumlahnya tidak besar," ungkapnya.
Menariknya tahun lalu ada seorang ahli dari Amerika Serikat yang tinggal di Bali mengatakan wilayah mereka merupakan kawasan blue carbon yang sangat baik. Ada sekitar seratusan hektare. Karena itu, warga desa ini diharapkan terus menjaga kelestarian lingkungannya. (irwan e siregar)