Aku masih ingat saat perayaan tahun baru Imlek banyak relasi ayahku yang mengantarkan makanan. Terutama kue bakul yang jadi penganan utama saat Imlek.
Karena berbeda agama, awalnya kami jadi ragu-ragu memakan kue bakul itu. Namun, emak langsung menjelaskan kue tersebut halal. Membuatnya harus bersih. Kotor sedikit saja bisa gagal membuatnya.
Kue yang sering juga disebut kue keranjang ini terbuat dari gula, beras ketan, santan, dan sedikit minyak. Bentuknya yang bulat disebut untuk  melambangkan harapan keluarga yang selalu bersatu dan rukun.
Antar-mengantar kue ini waktu itu sudah mentradisi di sini. Kalau hari raya kami membuat kue lebaran dan lemang. Makanan beras pulut itu dimasak di dalam bambu. Aku suka ikut mengantarnya ke relasi ayah yang Tionghoa. Sebab pulangnya sering dikasih lilin kecil untuk dipasang di pagar rumah serta mercon. Sayang, tradisi seperti itu kayaknya kini sudah semakin menghilang.
Hiburan barongsai pun kini tak semeriah dulu. Seperti pengamen, mereka datang dari pintu ke pintu minta ang pao. Kalau dulu, saat barongsai pada malam hari, jalan utama di kota ditutup. Arak-arakan barongsai yang panjang menyusuri jalanan. Mereka beraksi dan mengambil ang pao dari jendela ruko di lantai dua yang sudah disiapkan warga.
Penduduk di tengah kota umumnya memang keturunan Tionghoa. Kendati jumlahnya, menurut statistik hanya empat persen, namun mereka mendominasi seluruh kawasan perkotaan.
Namun, biarpun hidup berkelompok, tapi hubungan kekerabatan dengan masyarakat pribumi kelihatan tidak ada ganjalan. Aku masih ingat, kalau beli keperluan di toko milik orang Tionghoa, tidak perlu bawa uang. Si toke cuma mencatat di buku yang telah disiapkan. Nanti setiap bulan baru dibayar.
Setelah generasi orangtua kami, hubungan kekerabatan pun kelihatan sudah kian menjauh. Memang sebagian masih ada yang saling bertegur-sapa. Sekitar 250 meter dari tempat usaha ayahku, misalnya, ada kedai kopi Sedap, yang namanya sudah melegendaris di tanah air.Â