Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Namun, di Indonesia, akses terhadap pendidikan tinggi masih menjadi mimpi bagi banyak kalangan.
Biaya kuliah yang terus melambung tinggi telah membuat pendidikan tinggi menjadi barang mewah yang hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang. Dalam situasi ini, hadirnya skema student loan atau pinjaman pendidikan seharusnya menjadi solusi.
Sayangnya, sistem student loan yang ada saat ini justru diwarnai berbagai permasalahan, mulai dari bunga tinggi hingga skema pengembalian yang tak ramah.
Sudah saatnya kita merevitalisasi student loan agar benarbenar bisa menjadi jembatan emas bagi kaum muda untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
Jajak pendapat terbaru yang dilakukan Perjuangan Rakyat Miskin Indonesia (PRMI) mengungkapkan fakta bahwa biaya pendidikan, khususnya di jenjang perguruan tinggi, telah menjadi beban berat bagi masyarakat.
Lebih dari 60% responden menyatakan bahwa biaya kuliah telah menjadi kendala utama bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, tak sedikit yang harus mengambil jalur bekerja terlebih dahulu selama beberapa tahun demi mengumpulkan biaya kuliah.
Tentu saja, fenomena ini amat disayangkan mengingat Indonesia memiliki bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar. Jika akses pendidikan tinggi terus terhambat, tentu akan menjadi kerugian besar bagi bangsa ini untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal.
Idealnya, kehadiran skema student loan bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan pembiayaan pendidikan tinggi ini. Namun dalam praktiknya, skema student loan yang ada justru seringkali memunculkan masalah baru.
Pertama, tingkat suku bunga yang relatif tinggi, berkisar 7-12% per tahun. Angka ini tentu memberatkan mengingat rata-rata penghasilan fresh graduate masih tergolong rendah.
Belum lagi, skema pengembalian yang kaku dengan masa tenggang singkat pasca lulus membuat banyak peminjam kesulitan membayar cicilan. Akibatnya, kasus tunggakan dan gagal bayar seringkali terjadi. Di samping itu, persyaratan yang ketat juga membuat student loan kurang inklusif bagi mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera.
Melihat kondisi ini, sudah semestinya kita merevitalisasi student loan agar bisa benar-benar menjadi solusi bagi kaum muda dalam meraih masa depan melalui jenjang pendidikan tinggi. Beberapa langkah reformatif layak untuk dipertimbangkan.
Pertama, pemerintah perlu meninjau kembali skema pinjaman dengan menekan tingkat suku bunga seminimal mungkin. Mengacu pada praktik terbaik di berbagai negara maju, tingkat bunga ideal dalam skema student loan berkisar 1-3% per tahun.
Dengan suku bunga rendah, maka cicilan yang harus dibayar pun menjadi lebih terjangkau. Di samping itu, skema pinjaman juga harus dibuat lebih fleksibel dengan memperpanjang masa tenggang pembayaran hingga 2-3 tahun pasca lulus. Hal ini akan memberi kesempatan bagi fresh graduate untuk terlebih dahulu memperoleh pekerjaan yang layak sebelum membayar cicilan.
Kedua, cakupan skema pinjaman sebaiknya diperluas agar lebih inklusif. Selain bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu, pinjaman juga bisa dibuka untuk kalangan menengah yang tak mampu membiayai kuliah secara mandiri.
Namun demikian, sistem penilaian kelayakan dalam proses pengajuan pinjaman harus diperketat untuk menghindari penyelewengan.
Dengan merangkul lebih banyak kalangan, skema student loan bisa menjadi jalan masuk yang terbuka lebar bagi kaum muda untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Ketiga, porsi subsidi dan beasiswa untuk pendidikan tinggi juga perlu ditingkatkan. Mengingat student loan pada dasarnya adalah skema pinjaman yang harus dikembalikan, maka keberadaan subsidi dan beasiswa tetap menjadi hal yang penting.
Porsi anggaran untuk subsidi dan beasiswa sebaiknya dialokasikan lebih besar, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Namun sekali lagi, proses penilaian kelayakan perlu diper ketat untuk menghindari kebocoran dana.
Keempat, pemerintah juga perlu mendorong skema kemitraan dengan pihak swasta dan korporasi. Perusahaan-perusahaan bisa turut berpartisipasi dengan menyediakan dana pinjaman khusus bagi mahasiswa di bawah payung CSR (Corporate Social Responsibility).
Tentunya, dalam skema ini perusahaan bisa memperoleh keuntungan tak langsung berupa akses terhadap sumber daya insani yang andal karena telah dibekali dengan pendidikan tinggi yang memadai. Bahkan dalam beberapa kasus, fresh graduate penerima pinjaman juga bisa dijamin untuk bergabung dengan perusahaan tersebut setelah lulus nanti.
Terakhir, reformasi sistem student loan juga harus dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas dan tata kelola agar dana pinjaman benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan, bukan disalahgunakan untuk hal lain.
Pengawasan ketat mulai dari proses pengajuan hingga pendistribusian dana mutlak dilakukan. Sistem pelaporan keuangan dan audit juga perlu diperketat untuk menghindari kebocoran dana. Dengan tata kelola yang baik, diharapkan sistem pinjaman pendidikan ini akan benar-benar menjadi pilar penguat capaian pembangunan manusia Indonesia.
Satu hal yang perlu selalu digarisbawahi adalah bahwa pendidikan merupakan investasi untuk kemajuan bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu, sudah sewajibnya kita menjamin terbukanya akses pendidikan tinggi seluas-luasnya bagi generasi penerus bangsa melalui skema student loan yang andal dan terjangkau.
Bukan tidak mungkin, dengan skema yang tepat, mahasiswa kelak tak perlu lagi dibebani pikiran tentang biaya kuliah yang mencekik dan sepenuhnya bisa fokus menjadi insan cerdas yang turut mengangkat derajat bangsa ke tingkat yang lebih baik.