Persoalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi polemik yang tak kunjung usai di lingkungan kampus. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah universitas di Indonesia menaikkan besaran UKT yang harus dibayarkan mahasiswa. Kebijakan ini sontak memicu gelombang protes dari para mahasiswa yang merasa terbebani secara finansial.
Kenaikan UKT seolah menjadi tren yang tak terbendung di sejumlah perguruan tinggi. Universitas Negeri Jakarta (UNJ), misalnya, menaikkan UKT hingga 50% untuk tahun akademik 2023/2024. Keputusan ini menuai protes dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ yang menilai kenaikan tersebut terlalu tinggi dan memberatkan mahasiswa, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi COVID-19.
Kasus serupa juga terjadi di Universitas Brawijaya (UB) Malang. Pada tahun akademik 2022/2023, UB menaikkan UKT sebesar 15% untuk seluruh kelompok pembayaran. Kebijakan ini memicu aksi unjuk rasa mahasiswa yang menuntut agar kenaikan UKT dibatalkan atau setidaknya diminimalisir.
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pun tidak luput dari polemik kenaikan UKT. Pada tahun akademik 2023/2024, UGM memutuskan untuk menaikkan UKT hingga 20% untuk beberapa kelompok pembayaran. Keputusan ini mendapat respons negatif dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM yang mengutarakan keprihatinan atas beban finansial yang semakin berat bagi mahasiswa.
Gelombang protes tidak hanya terjadi di kampus-kampus negeri, tetapi juga melanda sejumlah universitas swasta. Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Tangerang, misalnya, menaikkan UKT sebesar 7% untuk tahun akademik 2023/2024. Meski persentase kenaikannya tidak setinggi kampus negeri, namun tetap saja menambah beban finansial bagi mahasiswa yang sebagian besar berasal dari keluarga menengah ke bawah.
Alasan yang dikemukakan oleh pihak universitas dalam menaikkan UKT umumnya berkisar pada peningkatan biaya operasional dan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, bagi sebagian besar mahasiswa, alasan ini seolah tidak cukup kuat untuk membenarkan kenaikan yang terkadang terasa memberatkan.
Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan mengutarakan berbagai keluhannya. Pertama, mereka menilai bahwa kenaikan UKT tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas fasilitas dan layanan pendidikan yang signifikan. Tidak jarang, mereka masih menemui permasalahan seperti kurangnya ketersediaan ruang kelas, keterbatasan akses terhadap laboratorium, hingga minimnya variasi mata kuliah yang ditawarkan.
Kedua, mahasiswa merasa bahwa pihak universitas kurang melibatkan aspirasi mereka dalam pengambilan keputusan terkait kenaikan UKT. Mereka menuntut agar terdapat komunikasi yang lebih terbuka dan partisipatif dalam menentukan besaran UKT yang adil bagi seluruh pihak.
Ketiga, mahasiswa mengeluhkan minimnya transparansi dalam penggunaan dana UKT. Mereka mengharapkan adanya laporan yang jelas dan terperinci mengenai alokasi dana UKT, sehingga mahasiswa dapat memahami secara lebih baik pemanfaatan dana tersebut untuk kepentingan pendidikan.
Keempat, kenaikan UKT dikhawatirkan akan semakin membatasi akses pendidikan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu berpotensi mengalami kesulitan dalam membiayai pendidikan mereka, yang pada akhirnya dapat memicu angka putus kuliah yang semakin tinggi.
Kelima, mahasiswa mengkritik kebijakan kenaikan UKT yang seringkali dilakukan secara periodik tanpa mempertimbangkan situasi ekonomi masyarakat. Mereka menuntut agar pihak universitas lebih peka terhadap kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat sebelum memutuskan untuk menaikkan UKT.
Di tengah gelombang protes ini, pihak universitas tentu memiliki sudut pandang tersendiri. Mereka menegaskan bahwa kenaikan UKT merupakan langkah yang tidak terelakkan untuk menjaga keberlangsungan operasional kampus dan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, mereka juga perlu mengakui bahwa aspirasi dan keluhan mahasiswa perlu didengar dan diakomodasi dengan lebih baik.
Solusi yang adil dan berimbang perlu ditemukan untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak. Pihak universitas harus lebih transparan dalam pengelolaan dana UKT dan melibatkan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan terkait kenaikan UKT. Sementara itu, mahasiswa perlu memahami bahwa peningkatan biaya operasional kampus merupakan hal yang tidak terelakkan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada akhirnya, kenaikan UKT bukanlah masalah sederhana yang dapat diselesaikan secara sepihak. Dibutuhkan dialog yang konstruktif antara pihak universitas dan mahasiswa untuk mencapai solusi yang adil dan berimbang. Hanya dengan cara inilah, pendidikan tinggi di Indonesia dapat terus berkembang tanpa mengorbankan aspek keadilan dan akses bagi seluruh lapisan masyarakat.