Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Demokrasi Digital: Menyikapi Pilpres 2024 dan Tantangan Kampanye di Dunia Maya

17 Desember 2023   16:35 Diperbarui: 17 Desember 2023   17:38 197 1
Pemilihan presiden dan kampanye politik telah menjadi pusat perhatian dalam dinamika demokrasi Indonesia saat ini.

Terlepas dari keunikan setiap dinamika pemilihan, tahun-tahun terakhir kita juga telah menyaksikan pergeseran yang signifikan, terutama dengan maraknya kampanye digital.

Dalam konteks ini, kita perlu melihat lebih dalam, mengeksplorasi dampak, serta merespon tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam menentukan pilihan presiden pada pemilu 2024 yang akan datang.

Pendidikan dan Pemilihan Pemimpin: Antara Masa Depan dan Masa Lalu

Sebuah perdebatan yang terus bergulir adalah hubungan antara tingkat pendidikan pemilih dan pilihan presiden.

Dengan mayoritas pemilih memiliki tingkat pendidikan rendah, perdebatan tentang apakah seorang presiden harus fokus pada pembangunan masa depan global atau memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan pendidikan kembali mencuat.

Pemimpin masa depan dihadapkan pada dualitas ini, dan sebagai pemilih, kita dihadapkan pada dilema yang harus diatasi.

Pentingnya seorang pemimpin untuk memiliki visi jangka panjang yang memperhatikan perubahan globalisasi, teknologi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan tidak dapat dipandang remeh.

Namun, kebijakan-kebijakan yang mencakup kesejahteraan masyarakat, hak asasi manusia, dan pendidikan yang merata juga tidak boleh diabaikan.

Keseimbangan antara memajukan negara di panggung global dan memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat menjadi kunci dalam mengevaluasi capres.

Tentu, inilah yang menjadi persoalan utama. Dalam konteks pendidikan yang masih rendah di sebagian besar masyarakat Indonesia, seorang pemimpin dihadapkan pada tugas yang rumit.

Bagaimana memastikan bahwa kebijakannya mencakup kedua aspek tersebut tanpa meninggalkan masyarakatnya sendiri? Dengan 44% pemilih memiliki pendidikan sampai SMA atau di bawahnya, kesulitan memahami dan menganalisis visi dan kebijakan capres dapat menjadi kendala serius.

Pertanyaannya menjadi semakin rumit: Bagaimana memenangkan pemilihan di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang bervariasi?

Dari perspektif saya pribadi, seorang calon presiden yang berhasil harus mampu menyampaikan pesannya dengan cara yang dapat dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.

Selain itu, kebijakan dan program haruslah inklusif, menyentuh kebutuhan semua kalangan, dari yang paling terpelajar hingga yang memiliki pendidikan terbatas.

Polarisasi Politik dan Ancaman Terhadap Persatuan

Salah satu tantangan besar dalam pemilihan presiden adalah polarisasi politik yang semakin membesar.

Dalam konteks Indonesia, kita sering kali menyaksikan perpecahan antara pendukung yang berbeda. Sebutan "Gemoy" dan "wakanda" menjadi simbol polarisasi tersebut.

Polarisasi politik dapat memicu emosi negatif, termasuk kemarahan dan kebencian di antara warga.

Fenomena ini lebih mencolok dalam era digital, di mana setiap tindakan dan pernyataan dapat dengan cepat memicu reaksi berantai di media sosial. Polarisasi yang terlalu tajam bisa membahayakan persatuan bangsa.

Dalam memilih presiden, kita perlu melihat bagaimana seorang calon mencoba untuk menyatukan masyarakat, bahkan di tengah perbedaan pandangan politik.

Memilih pemimpin bukan hanya tentang memilih seseorang yang bisa memenangkan debat, tetapi juga seseorang yang dapat mempersatukan kita sebagai bangsa.

Saya yakin bahwa masyarakat Indonesia bisa melampaui perbedaan politik dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Penting bagi pemimpin masa depan untuk memiliki visi yang inklusif, mampu merangkul perbedaan pendapat, dan mempromosikan dialog yang konstruktif.

Tantangan Digitalisasi dalam Pemilihan: Hoaks, disinformasi, dan Manipulasi Emosi

Saat ini, kita juga dihadapkan pada tantangan baru dalam bentuk digitalisasi dan penyebaran informasi melalui media sosial.

Kampanye digital memiliki dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Bagaimana seorang calon presiden memanfaatkan kekuatan digital untuk memengaruhi pemilih menjadi pertimbangan penting.

Salah satu isu kritis dalam kampanye digital adalah penyebaran hoaks dan disinformasi.

Seiring dengan jumlah pengguna media sosial yang terus meningkat, hoaks dapat menyebar dengan cepat dan mempengaruhi persepsi masyarakat.

Data menunjukkan bahwa selama setahun terakhir, ada lebih dari 11.000 hoaks yang berhasil diidentifikasi dan dibantah oleh Kominfo.

Pemilihan presiden yang adil dan demokratis memerlukan pemahaman yang baik tentang fakta dan kebijakan masing-masing calon.

Namun, di era di mana informasi dapat dimanipulasi dan hoaks dapat dengan mudah menyebar, tugas pemilih menjadi semakin sulit.

Penting bagi kita sebagai pemilih untuk tidak hanya mengandalkan informasi dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Mendapatkan informasi dari sumber resmi dan mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi hoaks menjadi keterampilan esensial dalam era digital ini.

Selain itu, kita juga dihadapkan pada bahaya manipulasi emosi melalui konten digital.

Kampanye yang mengejar emosi negatif, seperti kemarahan dan ketakutan, dapat merusak proses demokrasi dan memicu konflik di masyarakat.

Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kampanye digital dapat memanipulasi emosi masyarakat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun