Fenomena letusan Gunung Marapi pada Minggu, 3 Desember 2023, di Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat, merupakan alarm bagi pendaki.
Dilansir dari Viva.co.id, dikabarkan Kejadian tersebut menimpa 75 orang pendaki yang sedang melakukan pendakian di saat yang bersamaan.
Yang semula, ingin membangkitkan decak kagum, "Wah, Naik Gunung!" kini berubah menjadi seruan Bahaya!, "Waduh, Naik Gunung!"
Sebuah perjalanan yang seharusnya penuh warna menjadi sebuah catatan kelam yang meninggalkan keraguan pada setiap langkah pendaki.
Tentu, naik gunung bukanlah suatu kesalahan. "Salah satu manfaat orang naik gunung adalah memperkecil resiko serangan jantung dan Stroke".
"Mengoptimalkan supali oksigen dan peredaran darah. Terhindar dari berbagai penyakit".
Namun, tragedi beberapa hari lalu mengingatkan kita bahwa alam adalah sekolah tanpa amplop, yang kadang memberikan ujian tanpa peringatan.
Dari "Wah" ke "Waduh": Bahaya Naik Gunung seolah menjadi perjalanan emosional.
"Selayaknya film Hollywood yang mengajak kita tersenyum di awal, tapi di detik-detik terakhir, kita malah terjatuh ke dalam kegelapan tak terduga."
Keelokan gunung yang tampak mempesona di mata, ternyata bisa menjadi jebakan yang mematikan.
Mungkin ini saatnya kita melihat naik gunung bukan hanya sebagai pencapaian pribadi atau pelarian dari rutinitas, tetapi sebagai pertemuan dengan kekuatan alam yang tak bisa dianggap enteng.
Sebuah kesempatan untuk merenung, bahwa setiap ketinggian tidak hanya berbicara tentang pencapaian, tetapi juga risiko dan tanggung jawab.
Peristiwa ini seharusnya membuka mata kita bahwa petualangan alam adalah rapids di sungai kehidupan.
Meskipun kita telah dilengkapi dengan perahu dan dayung, arus bisa membawa kita ke tempat yang tak terduga.
Mungkin saatnya kita menyadari bahwa meski petualangan selalu melibatkan risiko, kita memiliki kekuatan untuk mengelolanya dengan bijak.
Dari "Wah" ke "Waduh": Bahaya Naik Gunung adalah panggilan untuk memperbarui pandangan kita terhadap petualangan alam.
Mungkin inilah saatnya untuk lebih serius mempersiapkan diri sebelum melibatkan diri dalam perjalanan yang kadang-kadang memberikan senyuman, namun kadang-kadang memberikan pukulan yang tak terduga.
"Mari kita melupakan sejenak kesenangan instan dari foto-foto puncak gunung di media sosial."
Kita harus sadar bahwa keindahan alam tidak hanya tentang berpose di puncak tertinggi, tetapi juga tentang melibatkan diri dalam interaksi bijaksana dengan lingkungan sekitar.
Dari "Wah" ke "Waduh": Bahaya Naik Gunung seharusnya menjadi alarm yang mengingatkan kita untuk tidak hanya mengejar pencapaian, tetapi juga melibatkan diri dalam perjalanan yang memberikan penghargaan pada kehidupan.
Sebagai masyarakat modern, kita seringkali terpikat oleh daya tarik "wah" dari petualangan dan keindahan alam.
Namun, peristiwa tragis ini menjadi penanda bahwa setiap "wah" memiliki potensi untuk berubah menjadi "Waduh" jika kita tidak memperlakukannya dengan respek dan kewaspadaan yang seharusnya.
Jadi, mari lihat ke belakang dan belajar dari peristiwa ini. Naik gunung bukanlah sekadar menaklukkan puncak tertinggi, tetapi juga tentang menaklukkan diri sendiri dan menghargai kehidupan.
Dari "Wah" ke "Waduh": Bahaya Naik Gunung seharusnya menjadi seruan untuk lebih menghormati kekuatan alam, lebih bijak dalam persiapan, dan lebih bertanggung jawab dalam setiap langkah petualangan.
"Kesiapan fisik dan mental, kesiapan logistik, peralatan mendaki dan perbekalan, kondisi cuaca yang bersahabat, lokasi pendakian yang harus sesuai dengan kemampuan pendaki, serta niat dan juga berdoa untuk keselamatan" Amin.!
Dalam keindahan puncak yang memukau, mari ingat bahwa kita bukanlah penguasa alam, tetapi hanya tamu yang diberi izin untuk melewati keagungan ini.
Dari "Wah" ke "Waduh": Bahaya Naik Gunung, semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.!