Di sebuah dapur yang seharusnya riang gembira,
Terdengarlah bisikan angin yang pilu,
Menyampaikan cerita harga beras yang melambung tinggi.
Tangisan lembut menggema di sudut dapur,
Ibu dengan hati yang terhimpit pilu,
Menatap penuh khawatir kedelai dan jagung,
Yang kini menggantikan beras yang mulia.
Raut wajahnya mencerminkan keresahan,
Memikirkan nasib anak-anak yang kelak,
Dalam keperluan akan hidangan harian,
Namun harga beras membuatnya tertegun tak berdaya.
Sinar mentari yang berseri di luar jendela,
Tak mampu meredakan kerisauan yang menggelayuti,
Mengingatkan akan kejernihan hati yang dulu,
Ketika harga beras masih tak melambung tinggi.
Di antara langkah-langkah mencari rezeki,
Ibu memikul beban tak terkira,
Dalam setiap butiran beras yang tak lagi mudah,
Menjadi bukti tentang kepedihan yang terperinci.
Di tiap genggaman penuh harapannya,
Terselip doa agar harga beras turun lagi,
Agar suara tangisan di dapur reda dalam pelukan,
Dan senyum kembali menghiasi wajah-wajah di sini.
Namun, tiada yang pasti dalam alunan waktu,
Rintihan harga beras mungkin masih menggema,
Namun harapan selalu ada dalam setiap doa,
Untuk melunakkan tangisan di dapur yang sunyi.