Pada tanggal 30 September 2011 lalu saya berkesempatan untuk datang bersilaturahim ke kediaman Kyai Lutfie Hakim, MA. sang Ketua Umum FBR. Perjalanan saya ke daerah kediaman Kyai Lutfie, begitu beliau biasa disapa, di wilayah Cakung, Jakarta Timur dihiasi dengan pikiran-pikiran yang merisaukan. Betapa tidak, sepanjang sepengetahuan saya FBR adalah ormas ‘jawara’. Saya tiba di kawasan Cakung sekitar jam 12 siang menjelang shalat Jum’at tiba. Saya agak terbingung-bingung ketika supir Kyai Lutfi memberhentikan mobil yang dipergunakan sebagai kendaraan menjemput saya didepan sebuah mushalla kecil. Didepan bangunan ibadah yang kecil namun memiliki disain yang unik dan bercirikan betawi tersebut terbentang spanduk besar ucapan selamat merayakan Iedul Fitri bergambar Kyai Lutfie berdampingan dengan Letjen. Purn. Nachrowi.
Saya tak berniat menanyakan dimana rumah Kyai Lutfie, karena disekitar tempat itu hampir tak ada bangunan besar yang cukup pantas saya tebak sebagai kediaman Kyai Lutfie. Sang supir mengajak saya mengikuti dia memasuki gang kecil tepat disisi kanan mushalla tadi. Gang kecil sepanjang 20 meter-an itu bermuara di sebuah gang yang tidak terlalu besar. Langkah kita terhenti ketika tepat diujung muara gang kecil tempat kita masuk tersebut seorang laki-laki paruh baya berkemeja koko putih dan bersongkok putih menghentikan laju motor maticnya. Dialah kyai Lutfie ! Beliau berhenti dan meminta saya untuk ikut bersamanya berangkat ke mesjid untuk shalat Jum’at. Masih dalam kekagetan yang belum terjawab, saya berangkat ke mesjid untuk shalat Jum’at bersama beliau dan salah seorang anggota FBR yang sejak awal bersama saya berangkat ke rumah kyai Lutfi hari itu. Saya masih belum bisa mendapatkan jawaban kenapa begitu mudah seorang ketua umum ormas besar seperti FBR berangkat ke mesjid tanpa pengawalan sama sekali, ketika di halaman mesjid begitu banyak orang mengerumuni kyai Lutfi untuk sekedar bersalaman.
Sepulang dari shalat Jum’at, saya akhirnya jadi juga berkunjung ke kediaman kyai Lutfi. Lebih bertambah kekagetan saya karena ternyata rumah beliau berada didalam gang dimana pertama kita berjumpa, di gang sempit yang hanya cukup dilalui oleh sepeda motor saja. Itu diluar dugaan dan bayangan saya tentang kediaman ketua umum ormas besar. Jauh dari kemegahan dan aristokrasi yang selama ini biasanya menjadi ciri khas seorang pemimpin massa. Rumah bercat coklat muda bergaya barok, walaupun cukup bagus, tetapi tidak terlihat mencolok dibanding rumah-rumah sekitarnya. Di garasi rumah terdapat satu set sofa ukir ber jok kulit warna cokelat. Di kaca-kaca rumah dihiasi dengan lukisan dan gambar-gambar ondel-ondel, burung bangau dan harimau. Didinding kiri, kyai Lutfi memasang foto Imam Khomeini, pemimpin spiritual dan revolusi Islam Iran, dan lukisan harimau putih.
Beliau mempersilahkan saya duduk, dan lalu meminta supirnya membuatkan kopi untuk kami. Pembicaraan mengalir antara kami, dan saya terus tercengang-cengang akan sisi-sisi pribadi kyai Lutfi. Jauh dari dugaan saya sama sekali. Tidak ada pengawalan dari jawara, apalagi aturan-aturan protokoler yang membelit-belit. Kyai Lutfi benar-benar memangkas aturan-aturan itu dengan cara-cara yang lebih egaliter. Saya tak menjadi heran ketika dalam obrolan yang mengalir, ternyata beliau memiliki latar pendidikan yang cukup baik. Alumni IAIN Syarif Hidayatullah tahun 1996 ini, ternyata adalah mantan aktivis di organisasi mahasiswa FORMACI (organ mahasiswa ekstra kampus yang ada di IAIN tahun 90-an). Obrolan demi obrolan terus mengalir, mulai dari latar belakang pribadi, pandangan tentang ormas FBR kedepan, keluarga sampai dengan diskusi-diskusi ringan tentang Islam yang dihiasi dengan candaan dan gurauan yang sangat khas anak muda betawi.
“ Islam radikal itu anti-thesa dari dideklarasikannya liberalisasi Islam oleh kawan-kawan JIL (Jaringan Islam Liberal) ”, kyai Lutfi memulai percakapan tentang Islam. Sambil menghisap rokok sampoerna mild-nya beliau melanjutkan, bahwa hal itu terjadi akibat adanya ‘kegenitan intelektual’. Pemahaman yang lengkap terhadap perjalanan ide-ide dasar filsafat dan ideologi yang pernah muncul di dunia serta setiap anti-thesisnya membuat saya kagum. Sepanjang siang hingga sore itu kami berdiskusi panjang tentang Islam, politik dan sosial kemasyarakatan.
Secara mengejutkan memang akhirnya saya harus mengakui bahwa kyai Lutfi adalah salah satu tokoh pembaharu generasi muda Betawi. Dengan posisi yang strategis sebagai ketua umum ormas sebesar FBR, saya memiliki keyakinan bahwa kyai Lutfi mampu mewarnai perspektif baru organisasi masyarakat Betawi yang lebih beradab dan toleran.
Di penghujung diskusi kami, terlihat di jam tangan yang saya kenakan menunjukkan pukul 5 sore. Tak terasa hampir 4 jam kami berbincang-bincang. Sang supir kyai Lutfi bahkan secara terbuka menyampaikan bahwa jarang sekali kyai mau mengobrol sampai lebih dari 2 jam. Dan saya rupanya menjadi salah satu orang yang berhasil membuat beliau nyaman berdiskusi, alhamdulillah.
Akhirnya saya memohon pamit pada kyai Lutfi, kami bersalaman dan menyempatkan diri berfoto sejenak. Pengalaman bertemu kyai Lutfi adalah pengalaman yang amat sangat berharga dan berkesan, mengingat saat ini sudah tak banyak orang muda bangsa ini yang mau tetap merendahkan hati dan bersikap egaliter. Salut untuk kyai Lutfi.
Irwan Suhanto, SH.
Pemerhati sosial, tinggal di Jakarta