Dalam sebuah obrolan santai beberapa bulan lalu dengan seorang calon kepala daerah di pulau Sumatera, saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa majunya dia menjadi calon kepala daerah menggunakan perahu parpol justru ternyata menurunkan popularitasnya. Padahal sang kandidat dikenal banyak masyarakat setempat karena keluarganya adalah keluarganya terpandang. Sambil berkelakar dia menyebut parpol tak lebih tak kurang hanyalah pelengkap prasyarat saja. Bayangkan, hanya karena dia butuh rekomendasi 3 parpol untuk maju sebagai calon kepala daerah dia harus merogoh kocek tak kurang dari 5 miliar rupiah.
Parpol jelas akan menjadikan agenda pemilukada sebagai salah satu sumber dana mereka. Dan sang kandidat kepala daerah yang membutuhkan rekomendasi parpol adalah sapi perahnya.
Menyetor sejumlah dana lalu meraih surat rekomendasi dukungan parpol kemudian dianggap sebuah 'prosedur'. Pada akhirnya secara empiris, para politikus yang berkehendak maju sebagai kepala daerah menganggap hal ni sebagai yurisprudensi dan kewajaran.
Faktanya parpol hari ini mulai kehilangan popularitasnya di mata masyarakat. Secara faktual, seperti yang dipaparkan diatas, tingkat partisipan semakin menurun tajam. Secara prosedural hal itu mungkinlah tak punya pengaruh apapun mengingat persyaratan perundang-undangan memungkinkan sebuah peristiwa politik dianggap sah walaupun tidak diikuti oleh mayoritas masyarakat pemilih. Undang-undang hanya mensyaratkan sah nya sebuah peristiwa politik di akumulasikan dari jumlah surat suara sah. Untuk perkara inilah maka peristiwa demi peristiwa politik di negeri ini mulai kehilangan nilai, walaupun secara prosedural memenuhi syarat.
Kenapa parpol dikatakan menuju titik nadir? Sejak bergulirnya reformasi, parpol meng-klaim diri mereka sebagai satu-satunya pilar demokrasi. Bayangkan apabila pilar tersebut runtuh karena ditinggalkan pemilihnya, maka demokrasi yang dapat diasumsikan secara otomatis akan runtuh pula. Padahal, esensi dasar demokrasi adalah equalitas, persamaan. Berdasarkan hal itu maka sejatinya parpol bukanlah satu-satunya pilar demokrasi. Organisasi massa, organisasi mahasiswa, kelompok-kelompok diskusi, bahkan perseorangan adalah pilar demokrasi. Dengan pemikiran utuh seperti itu maka demokrasi dapat tertopang secara kolektif dan tidak lagi didominasi parpol dengan klaim sepihak seperti yang selama ini terjadi.
Tetapi rupanya menurun tajamnya tingkat partisipan pemilih dalam agenda politik belumlah kongruen dengan upaya kandidat-kandidat independen dalam meraih suara pemilih secara signifikan. Seharusnya, ketika pemilih menurun dan kita asumsikan hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi tertarik pada parpol maka seharusnya kandidat independen dapat meraup keuntungan. Faktanya tidak !
Anomali ini memang disebabkan beberapa varian. Antara lain adalah munculnya kandidat independen hanya semata bagian dari strategi salah satu kandidat kuat untuk memecah suara yang berarti bahwa kandidat independen dimunculkan dalam kerangka disain pemenangan salah satu kandidat kuat. Lalu muncul karena faktor emosional, karena seperti kita ketahui bahwa sudah terlalu banyak elit politik lokal yang terjangkit 'nasrisme' sehingga merasa harus muncul sebagai kandidat kepala daerah tanpa memperhitungkan pemetaan kekuatan dan bahkan lebih ekstrim lagi adalah tidak memiliki peta tentang masyarakat pemilih.
Dalam kondisi itu maka amat sangat mustahil terjalin korelasi positif antara calon independen dengan menurunnya jumlah pemilih. Kandidat independen kemudian dianggap sama saja dengan kandidat parpol, dan akhirnya gagal juga menggiring pemilih yang kecewa pada parpol untuk mau memilih dirinya. Pemetaan yang komprehensif tentang siapakah pemilih yang tidak mau ikut memilih dan melakukan pendalaman secara utuh dan terukur jelas akan sangat bermanfaat bagi setiap kandidat independen yang ingin menjadi figur alternatif di tengah kebuntuan pilihan masyarakat pada kandidat-kandidat yang selama ini disuguhkan parpol secara semena-mena tanpa mengikutsertakan partisipasi publik dan bahkan proses rekrutmennya dilakukan amat sangat transaksional.
Pemilih yang memutuskan untuk tidak memilih dapat dikategorikan didominasi oleh para pemilih rasional yang berasal dari masyarakat yang berpendidikan baik dari kalangan ekonomi menengah keatas. Rasionalitas pilihan inilah yang membuat mereka memutuskan untuk tidak datang ke TPS-TPS dalam agenda politik sebagai bentuk sikap politik. Walaupun harus diakui bahwa ada sebagian dari pemilih yang tidak datang memilih karena faktor-faktor remeh temeh seperti faktor ketidak tahuan atau bahkan karena faktor digerakkan untuk kepentinga salah satu kandidat, tetapi jumlahnya tidaklah seberapa dibandingkan mereka yang tidak memilih karena kesadaran dan menjadikannya sebagai rasionalitas sikap politik.
Kalaulah kandidat independen dapat melihat pemilih dalam kategori pemilih rasional ini sebagai pasar suara yang potensial maka sesungguhnya para kandidat independen tak perlu bersusah payah bergesekan dengan kandidat parpol dalam meraih suara pemilih. Jelas pasarnya berbeda, maka jelas gesekan atau persaingan amat lebih melonggar. Walaupun pendekatan politik kepada kelompok pemilih rasional akan lebih menguras energi karena kadidat harus mampu membuka pikiran para pemilih rasional ini bahwa dia mampu menjadi figur alternatif seperti yang selama ini dinanti oleh pemilih.
Dalam konteks inilah maka rasionalitas dalam membawa kepentingan dan aspirasi mulai mendapatkan ruang dalam variabel pilihan masyarakat pemilih, Walaupun harus diakui bahwa salah satu dilema dari muncul dan menguatnya kandidat independen dapat mengarah kepada liberalisasi demokrasi. Tapi apalah artinya istilah liberalisasi itu apabila disaat yang sama parpol tak juga mampu bercermin, tak mau berintrospeksi dan membenahi diri sehingga terlihat sexi dan layak dipilih oleh mayarakat pemilih. Tidak hanya bermain dalam jargon dan retorika padahal mereka sedang GR (gede rasa) semata, padahal disaat yang sama sedang menghadapi sebuah masa dimana masyarakat pemilih mulai meninggalkan mereka.
Irwan Suhanto,
Pemerhati Demokrasi - tinggal di Jakarta