Tuduhan-tuduhan Jonru kepada Jokowi dahulu, satu per satu kini seakan menemui bukti. Pasalnya adalah kebijakan Presiden Jokowi sendiri yang seakan jadi pembenar sasaran kritik Jonru dulu.
Soal kenaikan harga BBM, mungkin para pendukung Jokowi punya banyak celah buat berkelit menanggapi serangan sengit Jonru dan jamaahnya.
Saat kampanye Pilpres, Jonru dicibir para pendukung Jokowi karena dia melakukan gerakan politik hitam yang mempersetankan fakta. Kritik Jonru pun seakan tak logis, saat dia terlibat twitwar mengenai tuduhannya bahwa Quraish Shihab adalah seorang penganut Syiah.
Tapi saat Jokowi mencalonkan Komjen Budi Gunawan (BG) menjadi Kapolri, cibiran pun makin menjadi. Tuduhan Jokowi sebagai presiden boneka pada saat kampanye seakan terkuak. BG disebut-sebut sebagai calon yang disodorkan Megawati Sukarnoputri, karena dulu pernah menjadi ajudannya.
Selain itu, dengan dipasangnya BG, keluarga Ketua Umum Partai Moncong Putih itu punya pelindung kuat dari ancaman disidik terkait kasus BLBI.
Apalagi drama politik ini diteruskan dengan penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK. Saat itu, para jokowers juga masih bisa berkelit bahwa penetapan status tersangka itu adalah politik cantik Jokowi agar terhindar dari tekanan Kanjeng Mami. Istilahnya 'nabok nyilih tangan' atau menampar dengan meminjam tangan KPK.
Setelah BG diloloskan Komisi III DPR dalam uji kepatutan, para pendukung Jokowi malah makin galau. Relawan Salam Dua Jari pun mulai bereaksi mengancam turun ke jalan jika pencalonan itu diteruskan.
Sampai sekarang pelantikan BG sebagai kapolri belum dalam status dibatalkan. Meski Jokowi telah menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri. Namun, tetap saja bara politik menyala karena jalan Komjen BG seakan hanya sedikit berkelok menuju Tribrata 1.
Di saat seperti itulah, kritik-kritik Jonru dulu seakan kembali menemukan relevansi. Dia pun sadar, roda telah berputar. Jonru tahu dia kini berada di puncak kemenangannya. Apalagi setelah Jokowi bertemu dengan Prabowo Subianto, tempo hari lalu.
Pertemuan itu dinilai beberapa pengamat bahwa Jokowi butuh perlindungan dari rongrongan partainya sendiri. Buktinya, Koalisi Merah Putih (KMP) kini pasang badan pada keputusan Jokowi yang belum mau melantik BG menjadi Kapolri.
Kritik-kritik Jonru di lini masa dinding Facebook-nya yang disukai 400 ribuan orang, masih tetap pedas pada Jokowi. Dia juga masih meledek orang yang dulu memilih mantan Walikota Solo itu pada Pilpres lalu.
Jonru masih sengit ingin membuktikan bahwa Jokowi bukanlah seorang yang memiliki kekuatan politik. Jokowi dinilai Jonru seperti benalu. Yang tak berarti jika tak menempel pada kekuatan politik dominan seperti Megawati atau Prabowo.
Seiring popularitas namanya, Pria bernama lengkap Jon Riah Ukur Ginting itu mulai menuai untung dengan bersikap positif terhadap penistaan namanya.
Nama Jonru-menjonru yang sebelumnya dinistakan-diidentikkan dengan kata fitnah-memfitnah, justru malah menjadi jargon yang dia gunakan meraup untung dengan memproduksi kaos dan slogan “#menJONRU Lebih Baik daripada Mendiamkan Kemungkaran”. (slogan yang menurut saya sendiri aneh).
Jonru pun memanfaatkan popularitasnya dengan membuat toko online. Dia berjualan kaos, dan buku-buku yang dia cetak dan terbitkan sendiri.
Jonru pun mulai menepuk dada ingin dikenal sebagai figur publik dengan lebih banyak menulis diary memoar kilas balik mengenai sejarah pergulatannya di awal karier kepenulisannya.
Sayangnya, Jonru pun kini seperti menjelma menjadi syndrome. Dia menular cepat. Bahkan wilayah jurnalistik pun tersusupi gaya Jonru. Contoh mutakhir terjadi pada saat media ramai memberitakan kasus pelarangan jilbab pegawai BUMN.
Syndrome itu tidak hanya diidap media yang anti-Jokowi, bahkan media pendukung Jokowi pun kini perlahan terjerat Jonru Syndrome itu.
Dalam kasus pemilihan kapolri pun, media pendukung Jokowi, hampir terjerambab pada jurang dukungan membabi-buta dengan membikinkan editorial membenarkan semua tindakan Jokowi.
Jonrualist atau jurnalis bergaya jonru. Begitu menyebutnya. Itu jadi otokritik untuk saya sendiri dan semua rekan sejawat.
Tak usah risau. Biar saja Jonru jika dia merasa sudah menang. Biarkan dia melampiaskan sakit hatinya dulu. Di dunia politik Indonesia yang serba nisbi ini, mana tahu roda pun akan menggelinding lagi.