Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

35 Menit di Kedai Cokelat

20 November 2009   05:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:16 205 0
Usai kelas “Make Decision” aku putuskan untuk pulang ke Apartement. Kurang enak badan. Abdul dan Victor sudah menahanku beberapa kali. Mereka ingin aku ikut ke bioskop sore itu. Nonton Film-nya aku tidak keberatan, Cuma kalau sudah Nicole dan Viana ikut, ngobrolnya jadi panjang. Dua tuan putri itu punya karakter rada-rada mirip. Keduanya melankolis. Nggak bisa lihat rinai hujan di Darling Harbor, bisa-bisa awan hitam pekat dibilang jingga oleh mereka. Kalau dibiarkan dan kita nggak bisa menahan mereka, kita bisa melihat mereka berdua basah kuyup nyemplung ke laut.

Perubahan cuaca di Sydney sulit untuk diperkirakan saat ini. Sama seperti Amsterdam saat ini, temanku Dina yang sedang kuliah disana kemarin chating via Facebook bilang kadang lima menit panas, lima menit hujan, untung nya Sydney nggak separah itu. Cuma hujannya bisa 2 Jam. Gimana kalau Jakarta kalau hujan selama itu nggak berhenti-henti ya. Aku nggak bisa bayangkan itu. Pasti tempat kontrakan ku dulu di tepian Ciliwung airnya meluap sampai jauh.

Abdul, Victor, Nicole dan Viana adalah teman-teman seangkatanku di kampus. Hanya Nicole yang bukan dari Indonesia. Victor dan Viana anak Jakarta, sedangkan Abdul dari Bogor. Nicole dia datang dari Slovakia. Musim hujan begini, biasanya udara siang hari bisa 7 derajat celsius.

Diantara kita berlima hanya Nicole lah wanita yang paling tahan dingin. Wajar sih, kata dia Sydney belum seberapa dibanding Slovakia. Di Sydney kita nggak bisa temui Salju, sedangkan di Slovakia sampai kita nggak bisa jalan karena salju yang menunmpuk di Jalan.

Suatu waktu kami pernah taruhan siapa diantara kita yang paling tahan yang nggak pake baju dingin. Nicole lah pemenangnya. Kita berempat datang ke kampus dengan pake baju satu lembar dan itupun kita pake yang paling tebal. Waktu itu kuliah sudah di mulai sekitar setengah jam. Tiba-tiba Nicole datang terlambat dan langsung masuk pake baju tidur. Semua terbelalak nggak terkecuali si Bruce sang dosen. Gimana nggak terbelalak baju tidur di bawa ke kampus.

Nicole memang wanita yang sangat suka tantangan. Kalau kita sedang tidak punya rokok, biasanya Nicole dan Viana yang kita suruh maju untuk meminta kepada pejalan kaki yang sedang merokok, lumayan untuk mengusir dingin. Victor juga termasuk orang yang nekat, tapi diantara kita berlima hanya dia yang tidak merokok. Jadi dia kurang suka dengan tantangan merayu orang untuk mendapatkan rokok.

Aku turuni tangga disamping Myer Mall menuju “kota bawah tanah” (hanya aku yang menamainya), saat tiba di Sydney pertama kali aku langsung kagum dengan tempat ini. Adanya di bawah tanah tepat di tengah kota, perekonomian di bawah tanah ini sangat luar biasa. Dari segala barang ada di sana. Memanjang hingga town hall.

Kalau kita turun ke bawah Myer Mall ini kita akan dapati dua lantai ke bawah. Kita seperti mendapati kehidupan yang sama seperti di atas sana. Seperti film animasi terkenal yang menggambarkan kehidupan semut di bawah tanah ’ant’ Kita akan temui Pujasera (tempat orang ngumpul makan) segala macam makan ada di sana. Dari makanan India, Malaysia, Eropa, Junk Food bahkan sampai Nasi Padang pun ada. Ya, disanalah tempat kita biasa ngumpul makan siang.

Aku meneruskan langkahku menuju Town Hall tempat biasa aku naik kereta. Senarnya bisa lewat Stasiun lama dekat Catedrall. Karena Asep temanku satu kost minta di belikan anggur, terpaksa aku harus ke Town Hall, karena di Town Hall ada supermarket dan di sana lah tempatnya buah-buahan murah.

Dingin hari itu membuat kaki ku berkeringat. Aku pindahkan ransel ke depan dadaku untuk menahan terpaan angin dari depan. Pemanas yang berada di bawah tanah itu masih kalah dengan angin yang masuk. Sesekali uap kulihat samar-samar keluar dari hidung dan mulutku saat aku bernafas. Aku melangkah sambil mendengarkan Instrumentalia ”Moving-Secret Garden” di earphone ku.

Aroma bawah tanah memang agak berbeda. Aroma Lavender sangat kuat mampir di hidung, sesekali aku merasakan aroma kopi yang baunya hanya aku temui saat di Starbuck atau Bakoel Kopi saat aku di Indonesia. Cafe cafe yang dipadati pengunjung utamanya wisatawan berada di tengah korideor jalan di bawah tanah ini.

Ah, tiba-tiba aku terfikir untuk membeli cokelat panas sekedar untuk memanaskan tubuh, fikirku. Ku lihat ada cafe kecil di sudut kiri, agak menjorok ke dalam. Tidak terlalu rame yang order. Ku rapatkan tubuhku ke etalase kue, agar suaraku terdengar jelas oleh si pelayan. Maklum bahasa Inggrisku masih kurang jelas di dengar mereka. Begitu juga dengan penangkapanku. Bahasa Inggris orang Australi rada aneh di dengar, nggak seperti di film-film yang biasa kita dengar. Seenak jidad- nya saja mereka ngomong. Karena mereka gunakan bahasa Inggris asli Inggris( baca:Eropa).

Can I Help You? Seorang wanita Cina menghampiri ku. Jarakku memang tidak begitu jauh dengannya, kami hanya terpisahkan oleh etalase kue saja. Dia tidak terlalu tinggi, ya standart orang Cina yang ada di Sydney. Biasanya Cina daratan yang ada di sana. Dia muda, paling terpaut dua tahun lebih muda dariku.

Bahasa Inggris nya cukup bagus. Lidah nya tidak seperti lidah Ling Ling teman sekelas ku. Ling ling teman sekelasku itu parah banget. Sangking susah nya mengerti omongan dia, dia jadi sulit berkawan dengan selain orang Cina. Awal-awal kelas dia dekat denganku dan Victor, mungkin dia fikir aku dari Cina Daratan juga. Namun lama kelamaan dia agak menjauh. Mungkin bukan karena kendala bahasa saja, selain Ling Ling pendiam, dia juga jarang masuk. Dia lebih mementingan kerjaannya yang Part Time di pabrik Yogurt. Memang kalau kuliah di Sydney nggak kerja, bisa-bisa kita mati kelaparan. Biaya hidup yang tinggi, perminggu bisa sampai 7 Juta untuk segala biaya kita.

”Chocolate Please” ”Large” permintaanku pada gadis Cina itu. ”Oke” samber nya cekatan. Dia ambil gelas plastik yang tinggi dan dia pun mendekati alat pembuat minuman panas itu. Kerjanya sangat cekatan dan nampak sudah terbiasa. Dia berikan segelas Cokelat panas itu kepadaku bersamaan dengan beberapa lembar tisu. ” Ada Yang lain?” di menatapku sambil tersenyum. ”apa”? Tanyaku heran.

Kaget aku dia berbahasa Indonesia. Waduh, orang Indonesia ternyata. ” ya, aku orang Indo” senyum nya semakin lebar karena dia melihat ke-ter-kagetanku. ” Koq tahu, aku orang Indo? Tanyaku penasaran. ”aku tahu saat kamu mengatakan Cokelat” hanya Orang Indonesialah yang ngomong Cokelat. Biasanya aku dengar ”Chocolate”

Aku masih tergagap mendengar penjelasannya, dia menyambarku dengan pertanyaan lain ”ya, ada yang lain?” oh, nggak ada. Jawabku ” Empat Dolar” dia menyebutkan harga segelas cokelat itu. Aku pun membayar nya, sabil berlalu ku sapu pandangan ke sekitar cafe kecil itu. Aku terfikir untuk duduk dulu sejenak.

Kursi dan meja stenlis disudut cafe ku lihat kosong, aku pun duduk di sana menjatuhkan bokongku yang terasa kurang bersahabat. Cokelat panas itu ku letakkan di meja dan pandanganku nanar ke depan.

Kelas yang ku tinggalkan tadi masih tergambar jelas di pelupuk mataku. Wajah culun Victor masih nyangkut di sela-sela bulu mataku. Dia memohon dengan sangat supaya aku ikut ke bioskop dengan mereka sore itu. Bagitu juga dengan wajah cool si Abdul. Wajahnya ke arab-araban (eh memang dia orang Arab Bogor ya). Abdul memang lebih cool diantara kita ber-lima. Wajar aja sih dia cool, dia sedang ngincer Nicole he.he.he (ssstt jangan diceritain abdul ya kalau aku ngomong-ngomong ini)

Sesekali tanganku menjamah cokelat panas yang baru ku beli tadi. Agar tangan terasa agak hangat. Aku kurang makan sayur kata Papa. Makanya tanganku agak dingin. Tapi sejak kuliah di sini, teman se-apartemen makannya sayur terus. Maklum Asep orang Kuningan. Kalau makan Hamburger sayurnya lebih menguasai roti di banding dagingnya. Salad sampai memenuhi kulkas, untung saja freezer nggak di dipenuhi sayur juga

Tapi memang makan sayur itu penting. Nicole wajah nya mulus nggak seperti Victor penuh dengan jurang-jurang terjal bekas jerawat. Nicole nggak pagi, nggak malam makannya hanya salad melulu. Dia bingung lihat kita tiap hari makan nasih. Lah, kita malah bingung lihat dia, tiap hari makan sayur, kayak embeeek...hi.hi.hi

Asli aku kelelahan. Kemarin hampir 8 jam aku mencuci piring. Jari-jari tanganku jadi menciut. Pingganggku pegal nya minta ampun. Mana si Koki Mesir itu cerewet banget lagi. Semua barang main banting aja ke tempat cucian. Segala peralatan makan dia lempar seenak udel nya. Yang buat aku neg itu dia selalu saja bicara pake bahasa Mesir sesama mereka. Mana bahasa Inggris nya nggak beres.

Aku kerja di restoran Pizza Mesir. Pizza yang sangat terkenal di Lakemba, nggak jauh dari apartemen ku. 15 menit naik sepeda. Di sanalah aku mendapatkan tambahan untuk biaya hidupku selama di Sydney sebagai pencuci piring. Aku kerja seminggu tiga kali seusai kuliah. Kerjaku di dapur. Terkadang juga membantu membuat adonan Pizza dan merapikan meja. Awalnya aku kerja karena ikut pak Budi yang kebetulan bantu beliau mengecat Restoran Pizza itu. Karena kedekatan Pak Budi dengan yang punya Restoran aku akhirnya bisa kerja di sana. 2 jutaan sehari kalau di rupiahkan aku bisa digaji. Besar memang. Tapi jika dibandingkan biaya hidup di sana. Nggak ada apa-apanya uang itu.

Kesal di tempat kerja, kesal di Apartemen, kesal di Kuliah. Kalau Om Pepeng “Jari-Jari” pernah bilang kepadaku saat aku berkunjung ke rumah beberapa tahun yang lalu : Kita itu sering di serang penyakit pagi. Apa itu penyakit pagi? Pagi-pagi kita sudah diserang penyakit mengeluh. Kerja ini, kerja itu, tugas ini, tugas itu, di marahin bos, diledekin kawan, di acuhkan pacar, di tekan dosen. Wah, setumpuk penyakit pagi sudah menyerang kita. Pagi-pagi kita sudah kalah “ kata Om Pepeng dengan semangat nya menjelaskan kepadaku. Saat itu Aku melihat dia terbaring di kasur, Cuma semangatnya sangat luar biasa. Di kasur itu lah dia berkarya. Nah sedangkan Kita gimana???

“HEEEI” , melamun aja. Wajah mungil itu hadir lagi di depanku. Kaget aku. Si gadis Cokelat duduk di sebelahku. Entah kenapa aku lihat dia jadi ingat cokelat. “Kenapa melamun?” Pulang kerja atau pulang kuliah?” Pertanyaannya diarahkan kepadaku.
“Pulang kuliah, aku capek jadi aku tinggalkan kuliahku” jawabku lemas. “oh” dia ngengangguk-angguk. “ya udah istirahat dulu” tambahnya. Dia lepaskan baju jubah kerjanya dan diletakkannya dikursi sebelah. “boleh aku duduk di sini kan?” dia bertanya seperti aku yang punya tempat duduk. “ ya tentu bolehlah, kan kamu yang punya” jawabku agak menyindirnya. Dia pun tersenyum.

“Aku juga kerja di sini koq.” Aku sudah kerja di sini enam tahun. Sejak aku berumur 18 tahun. “ jelasnya. Oh berarti kamu sudah lama di Sydney?” selidikku. “aku lahir di sini, dan aku warga negera sini, tapi aku dibesarkan di Indo sampai aku berumur 15 tahun. Umur 16 aku kembali ke sini.” Tambahan penjelasan yang ku dapatkan.”Koq bisa begitu” tanyaku lebih dalam.

“Ayah Ibuku cerai” dan sekarang aku berhak untuk memilih dengan siapa aku hidup. Sorry, aku dah banyak tanya...kataku. “ Oh ndak apa-apa. Aku suka bicara dengan siapapun, jadi banyak kawan. Utamanya orang Indo. Kan kita saudara.” Penjelasannya membuat hatiku sejuk. Sudah lama aku nggak dengar kata-kata menyejukkan seperti itu. Tiga kali seminggu yang aku dengar makian dari si Mesir keparat itu. Yang aku sendiri tidak mengerti apa yang dia katakan. Ini semua membuat ku stress.

Sepuluh puluh menit tanpa terasa, aku bicara dengan nya di awal-awal. Tanpa sedikitpun dia memotog pembicaraanku. Dia paling mengangguk, tersenyum tipis. Pakainnya bersih, rapih. Rambutnya tergerai sampai ke bahu. Matanya ku lihat tidak terlalu sipit. Manis dan cantik oriental-lah. Tidak gemuk dan tidak kurus. Gunakan jeans dan sepatu cats putih.

Sesekali dia bertanya jika dia tidak memahami apa yang aku bicarakan. Dia mengulangi pernyataanku dan dia bertanya ”apa ini yang kamu maksud” trus dia mendengarkan lagi. Dia nampak seperti seorang psikolog yang sedang menghadapi pasiennya.

”Sudah?”oke, sekarang aku berpendapat ya. Aku mengangguk dan membiarkan dia sekarang yang berbicara. ” Di awal aku kerja, aku memang selalu terpangaruh oleh kondisi yang ada di sekitarku. Oleh cerewetnya pelanggan, oleh makian Ayah tiriku, itu yang punya restoran adalah ayah tiriku. Belum di rumah ataupun tempat lain aku dapat cacian dan makian.

”Terkadang kita salah menyikapi kondisi. Kita hadir bukan sebagai diri kita sendiri. Tapi kita hadir karena di setting keadaan. Keadaan yang selalu memaksa kita untuk begini dan untuk begitu. Karena apa? Karena kita sendirilah yang menentukan bahawa kita rela di atur oleh permasalahan kita sendiri. Kita rela di atur oleh teman-teman se-apartemen kita, kita rela di atur oleh orang dimana tempat kita bekerja.

”Kita rela di atur oleh perasaan sedih kita sendiri, oleh sangkaan-sangkaan kita sendiri. Kita tidak punya inisiatif.”

”Kenapa kamu tidak jadi dirimu sendiri?? Dia terdiam beberapa saat. Aku pun tercekat. Tapi yang ku tangkap tatapan matanya masih redup tanda dia masih mau meneruskan ceramahnya.

”Aku kalau mau menyerah dengan kondisi ini mungkin sudah lama aku menghilang dari cafe ini.
”Mungkin aku persalahkan ortu ku yang bercerai.”
”Mungkin aku persalahkan semua yang ada di hadapanku saat itu.”

”Tapi aku berfikir. Kitalah yang menentukan pilihan bro... kitalah yang menentukan nasib kita sendiri.

”Terpengaruh boleh, tapi jangan pengaruh sentimentil kacangan itu membuat kita tidak melakukan apa pun untuk merubahnya.”

”Apa dengan dengan tidak melakukan apa-apa makian orang mesir di tempat kerjamu akan berhenti, atau kamu mau berhenti bekerja, sedangka kerjaan sedang sulit sekarang? Apa dengan makian dosenmu kamu mau berhenti kuliah dan pulang ke Indonesia dengan tangan hampa? Selesaikah semua urusanmu dengan baik bro....
”Musuh terbesarmu adalah rasa yang ada dalam dirimu sendiri, jika kamu tidak bisa mengontrolnya kamu akan dikalahkannya.”

”Kamu tidak percaya? Lihat saja apa yang aku bicarakan ini. Aku bisa bicara begini, karena aku mengalaminya sendiri.”

”Dan aku melihat banyak orang gagal karena dia dia tidak memiliki inisiatif dalam diri.” Hanya ber-andai-andai. Andai ini, andai itu, seandainya ini, seandai nya itu....kalau saja... tiap waktu kita dicekoki oleh kata-kata setan itu, dan kita tidak melakukan apapun terhadap kehidupan kita. ”Musuh terbesarmu bukan orang mesir itu, bukan si Asep, bukan Bruce bro.... musuhmu adalah dirimu sendiri.

Aku terpaku beberapa saat. Mengendap-kan setiap kata-kata yang keluar dari bibir wanita yang belum ku kenal namanya ini. Mulut nya lancar seperti Romo di gereja-gereja sedang khutbah. Atau seperti Mama Dedeh di TPI kalau lagi ceramahin keluarga yang sedang broken home. (He.he.he.he sempat-sempatnya aku memberikan gambaran ya....)

”Bro, kita ini masih muda, masih banyak yang harus kita lakukan pada dunia. Bagaimana generasi setelah kita nanti, jika kita Cuma bermental tempe dan hanya bisa mengeluh, menyalahkan keadaan.”

”Apa yang bisa kita berikan pada orang-orang yang kita cintai? Apa yang sudah hasilkan? Kita tidak proaktif melakukan sesuatu yang bernilai.

”Tidak perlu besar, tapi kita ciptakan kemenangan-kenangan itu.”

”Kecil mungkin, tapi kita bisa memasukkan target-target kemenangan itu dan kita menang. Apa orang yang ngedumel bisa merasakan kemenangan?

”Orang yang ngedumel itu biasanya orang kalah bro.... mau jadi bangsa pecundang?”

Aku diam. Merasakan ”Mario Teguh” sedang berkhotbah di depanku saat ini. Dia wanita yang luar biasa. Semangatnya ku rasakan mampir menusuk hatiku yang terdalam. Aku endapkan dan aku rasakan kebenaran kata-katanya.

”Susunlah segala hal yang menjadi Goal mu hari ini, minggu ini, bulan ini, tahun ini.” kalau sudah, kamu balik lagi ke sini, aku traktir kamu cokelat gratis di sini ya... senyuman nya menutup pembicaraanya. ” aku harus kerja lagi nih, ntar ayah tiriku marah lagi ya.” dia berdiri dan kembali mengenakan baju kerjanya.

Aku menahannya, nama mu siapa tanyaku membuatnya berpaling kembali melihatku. Namaku Delfiazi, panggil aku ’Zi” saja...aku pun sebut namaku. Beberapa menit aku tercenung di sudut cafe itu, kemudian aku berdiri menyambar cokelat yang mulai mendingin untuk berlalu mencari Anggur titipan Asep sembari mengingat ingat apa yang dikatakan Zi kepadaku dan mengafirmasi segala hal positif yang akan aku hadapi ke depan.

”Asep, Bruce, Si Mesir” lihatlah aku akan rancang strategi baru menghadapi kalian. Aku akan jadi orang baru yang lebih positif dan proaktif pada kebaikan. Trims Zi, aku banyak belajar darimu hari ini. ”Merubah sikap memang berat di awal, tapi yakinlah kamu pasti bisa” pesan Delfiazi yang tak bisa ku lupa

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun