Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Toko Buku Usang di Depan Cafe

20 November 2009   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:16 254 0
Aku agak terlambat bergerak dari Apartemen karena memang terlalu banyak yang harus aku jemur. Hari itu aku mendapatkan jatah untuk mencuci pakaian dari kawan-kawan sekamarku. Kebetulan begitulah aturan main yang kami buat dalam kebersamaan kami di rantau orang.

Bergegas berlarian berharap tidak ketinggalan kereta pukul 14 lewat 20 menit. Dengan terengah-engah akhirnya kereta ku dapatkan. Siang itu kereta ke arah City lengang seperti siang-siang sebelumnya. Tiga puluh menit perjalanan menuju Town Hall ku rasakan cukup bersahabat. Yang ku harap, aku tidak bertemu lagi dengan begundal kemarin yang memaksa minta tiket weekly ku. Ya, begitulah Sydney kota yang ku bayangkan makmur, masih menyimpan cerita seperti layaknya Jakarta yang kutinggalkan. Lamunanku tiba-tiba mendarat di Jakarta, satu persatu bayangan kawan-kawan mampir di sudut ingatanku. Baru dua bulan mereka aku tinggalkan tapi di saat musim dingin begini ku merasakan begitu lama.

Setiba di Town Hall aku menembus keramaian. Pusat kota seperti nggak ada matinya. Karena stasiun berada di bawah tanah, aku sedikit berlari kecil mengejar waktu. Abdul sudah menungguku di Victoria Park tepatnya di Cafe depan toko buku-buku usang. Sepanjang perjalanan tadi dia sudah mengirimkan enam SMS berharap cemas agar aku tidak telat sampai di meeting point kami.

Hari itu cukup dingin, karena Sydney agak gerimis. Hei, kemana Abdul? Aku tidak melihatnya? Pojokan cafe yang bisa aku dan kawan-kawan sekelas ku ngobrol disana di duduki oleh seorang kakek tua yang sedang baca Novel. Akut tidak melihat Abdul. Ku ambil Handphone di saku celanaku berniat menelfon Abdul. Oh, ada SMS yang belum terbaca. Ternyata tidak terdengar olehku. Sial, Abdul sudah berangkat duluan meninggalkan ku. Hari itu, aku berdua Abdul ingin melamar kerja di sebuah Car Wash. Tempat pencucian mobil, yang katanya sedang membutuhkan karyawan.

Tiba-tiba mood ku jadi hilang. Aku juga tidak bisa menyalahkan Abdul karena dia meningglkan aku. Aku pun tidak bisa menyalahkan mesin cuci yang begitu lambat kerjanya hingga membuatku terlambat menyamber kesempatan kerja ini. Ku putuskan untuk pulang saja. Paling nanti aku tunggu kabar berikutnya dari Abdul, begitu fikirku.

Hei, rugi donk kalau tidak mencicipi seruput kopi di saat dingin begini. Cafe itu memang bukan cafe mahal. Adanya Cuma dipinggir kaki lima sebuah toko. Meja dan kursi di pepet ke sudut toko aksesoris agar tidak mengganggu pejalan kaki. Bising karena lalu lalang bus. Sangat dekat dengan halte. Tahu nggak kenapa kawan-kawanku suka mojok di sana? Kata mereka banyak cewek yang lewat menunggu bus dan cakep-cakep. He.he.he.he dasar orang Indo. Kami biasa berlima. Abdul yang terdekat denganku. Dia anak Bogor yang terdampar di Sydney karena dia punya cita-cita untuk punya usaha sendiri kelak di Indonesia. Ke Sydney memang mau mencari modal

Aku memesan secangkir kopi dengan gula yang sedikit. Ku ambil posisi dimana tempat biasanya aku dan kawan-kawanku duduk. Dengan menganggukan kepala aku meminta izin duduk pada lelaki tua yang sudah dari tadi duduk disana. Dia sapu pandangannya kepadaku dengan sedikit senyum yang rada pelit. Ku balas juga seadanya.

Dua menit setelah aku order kopi panas hadir di meja ku. Aku tidak melihat di meja selain kopi yang ku pesan, lelaki tua itu tidak memesan apapun. Ternyata hanya Dia khusuk membaca novel itu dari tadi. Sedikit basa-basi aku menawarkannya minum. Dia hanya mengangguk ringan. Pandangan ku arahkan ke tempat lain, seperti aku sedang menunggu seseorang. Sesekali kopi ku seruput karena masih terlalu panas. Pandangan kuarahkan ke Toko Buku usang di seberang jalan. Dahsyat toko buku itu, segala buku ada disana. Mungkin buku yang dibaca kakekku masih ada disana ya?

Tiba-tiba hatiku bertanya-tanya, ada yang lain di hari ini. Aku tidak melihat gadis cantik yang biasa ngongkrong di depan toko buku itu. Aku tidak melihat dia yang biasa menawarkan brosur daftar buku pada pejalan kaki yang lewat. Untuk menarik pelanggan, biasanya brosur daftar buku di bagikan di depan toko buku itu, dan perempuan yang biasa membagikan itu tidak ku dapati. Aku memang sering memperhatikannya. Karena dia cantik. Perawakan timur tengah, dengan rambut terikat panjang. Hidung bangir (Mancung) kata orang Sunda. Aku suka senyum nya. Bayangkan di seberang jalan pun aku bisa menangkap senyuman itu. Dengan gigi putih yang rata, biasanya menusuk sampai ke sela-sela pembuluh darahku. Tapi anehnya teman-temanku tidak pernah memperhatikannya. Pernah satu dua kali mampir ke toko buku itu, tapi aku tidak bertemu dengannya, mungkin karena bukan jam jaga dia. Atau mungkin dia sedang Off.

Tiba-tiba bapak di depan tadi menegurku. Buyar semua lamunanku tadi. Dia menanyakan jam berapa sekarang. Aku kaget dan agak gugup, 03.30 PM ku jawab dengan terbata-bata. Dia minta minta maaf karena megagetkanku. Karena punya kesempatan, aku selinapkan basa-basi ku selanjutnya. Ku tanya buku apa yang sedang dia baca. Dia menjawab dengan hangat, ”buku tentang cinta”. aku senyum mendengarnya.

Dia tutup buku itu dan membenarkan posisi duduknya. Dia memulai dengan mengakatan ” Cinta itu miliki siapapun. Kau punya cinta, aku juga punya.” dari aksen bahasanya aku mendapati dia bukan orang Australia. Aksen bicaranya seperti orang Italia. Tubuhnya besar, pandangan matanya cukup tajam. Saat dia buka kaca matanya ku dapati matanya agak melekuk ke dalam seperti kurang tidur.

”Agama apapun mengajarkan cinta. Tuhan dari Agama manapun tidak pernah mengajarkan kebencian.” waw, aku rada sensi dia langsung bicara agama di awal-awal perbicangan. Gerah. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa digurui. Dan tiba-tiba aku berniat untuk cepat-cepat menghabiskan kopi panasku ini. Aku nggak mau bicara agama.

’Kamu tahu sesuatu nggak?” kenapa orang-orang tua di dunia ini banyak yang ditinggalkan oleh teman, oleh sahabat, dan banyak orang disekitarnya tidak peduli dengan keberadaannya.?” dia beranjak ke pembicaraan berikutnya.

Ya, bahkan terkadang, anak-anak nya pun melupakannya. Kamu tahu kenapa? Melihat aku berfikir keras dia langsung menyambar opini nya dengan penjelasan pertanyaannya itu. ”karena sewaktu muda dia tidak memiliki cinta”.

” apa yang mau kita sombongkan sekarang? Harta, Jabatan, Rumah besar, mobil yang bagus, perhiasan. Apa itu yang akan kita sombongkan sekarang. Lalu kita disibukkan dengan harta-harta itu. Waktu kita dihabiskan percumah untuk mengejar semua itu. Bahkan kita repot mengatur waktu untuk meraup segala mimpi kita itu. Saat kita muda, kita tidak pernah membagi kebersamaan dan kehangatan pada orang lain. Yang kita fikirkan hanya diri kita sendiri.

Saat semua itu terjadi, kita lupa membangun tataran kasih sayang. Pada keluarga, pada sahabat-sahabat kita, pada orang-orang lain disekitar kita. Kita asyik dengan diri kita sendiri. Dengan kesombongan yang kita bangun sendiri. Dan kita sering berfikir bahwa hari tua itu miliki orang lain, bukan untuk kita. Tertawa hanya miliki kita dan tangisan tidak akan pernah mampir dalam diri kita.

Kita tiada sadar akan lakon kehidupan. Kita hanya berfikir, sakit hanya milik orang, dan kematian tidak akan mempir dalam hidup kita. Sehingga kita larut dalam euforia yang luar biasa besarnya. Hingga tua menghampiri kita. Hingga sakit dan kematian menghampiri kita.

Cinta tidak pernah kita bangun. Rasa sayang tidak pernah kita berikan kepada mahluk. Kita ambil sendiri. Maka tua akan menghampiri kita. Kita sakit-sakitan tidak akan ada yang merasa empati turut merasa apa yang kita rasa. Anak-anak akan sibuk dengan dirinya sendiri karena mereka tidak pernah merasakan pengorbanan cinta kita untuk mereka. Begitu juga dengan orang-orang disekitar kita. Sahabat, teman, atau siapapun yang dulu bersama kita tidak ada perhatian pada kita karena cinta yang palsu yang kita beri. Sekedar basa-basi saja.

Nak, hargailah waktumu. Tebarkanlah cinta kepada siapapun. Rangkul mereka dengan kasih sayang. Yakinlah kau akan bahagia hingga akhir hayatmu. Kamu Kristiani? Dia bertanya kepadaku. Aku kaget. Karena aku masih terperangah tentang konsep cinta yang dia sampaikan tadi. ”bapak bertanya apa?” aku menanyakan ulang kepadanya. ” kamu percaya tuhan dan beragama?” oh ya, jawabku singkat. Agak aneh memang, biasanya orang-orang Australia jarang bicarakan agama. Karena memang dianggap privat dan kurang lazim untuk ditanyakan.

Aku hanya berfikir, mungkin dia seorang pendeta. Perawakannya mendukung itu. Apalagi mungkin itu konsep ”dakwah” mereka fikirku. ” aku seorang muslim pak” aku menambahkan jawabanku. ” saya Yahudi” dia menyambut jawabanku sambil tersenyum. Aku mengangguk-angguk seperti mendengarkan dosen yang sedang memberikan kuliah.

Salut aku mendengarkan paparannya tentang cinta. Aku jadi penasaran dengan buku yang dia pegang. Jangan-jangan quotasion dari buku itu yang dia nukilkan tadi, pertanyaan nakal mampir dibenakku. Ah, Cuma bisa nyadur doank nih orang fikirku. Dia aja udah tua, nggak ada yang memperhatikan dia. Termasuk aku. Kan aku menegurnya karena aku butuh tempat duduk ini saja, fikiran kotorku menjelajahi hatiku.

”hai dad... sudah lama menungguku” suara wanita dari arah belakangku seperti menyapa lelaki Itali tua ini. sekelebat akupun menoleh menyambangi sumber suara. Alamak, kagetnya aku. Ternyata dia. Wanita yang selama ini aku perhatikan dari kursi ini yang ada di depan toko buku usang itu ada belakangku. Jantungku berhenti sejenak. Darah kencang mengalir entah kemana. Kagat luar biasa.

Oh, ternyata dari tadi aku ngobrol dengan calon mertua, fikirku
Dia cium ayahnya. Pelukan kecil mampir ke tubuh besar sang ayah. Dia meminta maaf, keterlambatannya karena jadwal kuliahnya yang padat membuat ayahnya menunggu lama. Ayahnya meminta sang anak berkenalan dengan ku. Aku pun menyodorkan tangan dan menyebutkan nama. Silvi dia sebut namanya. Irsan jawabku .Waw, mimpi apa aku semalam, akhirnya aku tahu nama nya dan kupegang tangannya. Mirip Luna Maya he.he.he tapi lebih manisan Silvi.

Obrolan jadi panjang karena Silvi memesan kopi untuk dirinya dan sang ayah. Aku juga baru tahu, toko buku usang di seberang jalan itu ternyata kepunyaan sang bapak yang mengajarkan aku konsep cinta ini. mereka dari Itali. Hijrah ke Sydney dibawa oleh kakek buyut mereka. ”Keturunan penjahat donk” fikirku. Australia memang diperuntukkan tahanan eropa pada masa masa awalnya.

Tapi hebat. Mereka cepat belajar. Silvi nampak akrab dan hangat dengan sang Ayah. Sesekali rangkulan mesra mendarat ke tangan sang Ayah. Tatapan cinta yang dalam bisa aku rasakan diantara mereka berdua. Aku berharap ada transfer tatapan cinta dari Silvi. Sayangnya tak kunjung mendarat.

Luar biasa memang bapak ini mempraktekkan apa yang dia baca. Dia dicintai oleh banyak orang. Oleh anak-anak nya dimana arus moderenisasi di kota besar dunia ini masih bisa membagi kehangan cinta antara anak dan orang tua.

Sang bapak mengajarkan cinta dan konsepnya kepadaku. ” Berbagilah selagi bisa. Sebarkan cinta selagi kau muda, kepada keluarga, kepada teman, sahabat, dan kepada dunia. Walaupun kepada orang yang sedang duduk di warung kopi sekalipun. Kau tidak akan rugi dengan bericara kepada siapapun. Heal the world, make a better pleace for you and for me” kata Jacko.

Aku pamit pada mereka yang sedang memadu kasih sayang dari meja café itu. Diantara rinai hujan yang belum redah, ku langkahkan kaki menuju Lakemba apartemenku. Dengan masih terngiang setiap ucapan cinta sang Yahudi tadi dan terekam lekat di mataku manisnya senyuman anaknya Silvi. Nampaknya cinta memang harus aku sebarkan. Buat keluarga, teman-teman, sahabat dan kepada dunia.

Allah berpesan dalam surat Al-Ma’un. Janganlah kita menghardik anak yatim. Meminjam bahasa Emha Ainun Nadjib. Keyatiman yang dimaksud oleha Allah bukan kehilangan Ayah dan Ibu. Tapi keyatiman hati, keyatiman struktural. Negara ini banyak meyatimkan orang-orang. Meyatimkan rakyatnya. Kita meyatimkan teman-teman kita. Bahkan mungkin meyatimkan anak-anak kita sendir atau bisa saja kita meyatimkan orang tua kita. Meyatimkan, meninggalkan mereka dalam kesendirian. Tanpa sentuhan cinta.

Kereta ke Lakemba membuka pintunya, kutinggalkan Town Hall yang padat. Melewati Operah House, masuk lagi ke bawah tanah melaju kencang meninggalkan ceritaku dengan lelaki Itali dan Silvi. Ku ambil handphone ku, pasang earaphone kudengar lagu Love If My Life from Queen Aku ingin mejadi orang baru dalam hidupku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun