"Indonesia telah berulang kali menegaskan bahwa klaim China melalui 'Nine-Dash Line' tidak memiliki dasar hukum yang sah. Namun, joint statement ini seakan memberikan legitimasi terhadap klaim China, yang bisa mengarah pada ambiguitas dalam posisi Indonesia mengenai hak-hak ZEE di sekitar Natuna. Ini adalah blunder diplomatik yang bisa merugikan kedaulatan kita dalam jangka panjang," tegas Rizky.
Sementara itu, sejarawan dan analis politik, Wicaksono D. Raharjo, juga menyatakan keprihatinan atas ketidaktegasan Indonesia dalam merespons klaim China yang semakin agresif. "Indonesia mungkin berharap untuk memperbaiki hubungan dengan China dalam aspek perdagangan dan militer, tetapi tidak seharusnya ini mengarah pada kerugian posisi Indonesia dalam hal kedaulatan wilayah," katanya. "Kita harus ingat, posisi Natuna bukan hanya penting secara strategis, tetapi juga secara hukum internasional."
Pernyataan bersama yang menekankan penyelesaian sengketa secara damai memang sejalan dengan prinsip dasar hukum internasional. Namun, menurut para pengamat hukum internasional, kunci utama dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan terletak pada penerapan UNCLOS, yang secara jelas mengatur batasan ZEE negara-negara pesisir.
Ke depan, Indonesia perlu menegaskan kembali komitmennya terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip kedaulatan negara di Laut China Selatan. Dalam hal ini, diplomasi yang lebih tegas dan tidak ambigu sangat diperlukan untuk memastikan bahwa Indonesia tetap dapat menjaga kepentingan nasionalnya tanpa kehilangan posisi diplomatik dengan negara besar seperti China.
Penting bagi Indonesia untuk terus memperjuangkan hak-haknya melalui jalur diplomatik, serta memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk menegakkan hukum internasional di kawasan Laut China Selatan. Dengan demikian, kedaulatan Indonesia atas ZEE Natuna dan kawasan sekitarnya dapat tetap terjaga, meskipun di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks.