Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ruang Harapan

27 September 2013   07:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:20 145 1
Aku masih terlelap saat seorang suster memasuki kamarku, memeriksa aliran infusku dan mengecek detak jantung dan suhu tubuhku dengan seksama. Aku tersenyum sembari menggumamkan  " Selamat pagi, Sus.. "

Wajah ramahnya terus menyunggingkan senyum " Bagaimana mba, sudah lebih enakan ? setelah minum obat tidur bisa tidur pastinya ya "

Aku mengangguk  " Bagaimana jadwalku hari ini ? apa aku boleh istirahat atau...? " aku sengaja menggantung pertanyaanku, menggoda meski aku tahu jawabannya, siapa tahu aku beruntung dan bisa istirahat di ruanganku hari ini. Tubuhku masih nyeri hingga keseluruh sendi-sendi, rasa mual yang menerus, lemah dan perasaan tidak nyaman yang hanya membuatku ingin tetap tinggal di atas tempat tidur dan tidur sepanjang waktu..

Suster itu menjawab " Hari ini mba harus tetap menjalani khemotheraphy, meski lengan mba sudah memar-memar tapi jadwal untuk seri pertama adalah 5 kali dan tidak boleh ada jeda. Ini hari terakhir untuk seri pertama loh...kalau kondisi mba baik, nanti sore begitu selesai sudah bisa pulang "

Sedikit menghibur, dia tahu betapa seri pertama dari rangkaian khemotheraphyku sudah membuatku lelah.

Secara perlahan seluruh sel-sel dalam tubuhku dihancurkan, khemotheraphy yang bertujuan membunuh dan membasmi sel-sel kanker di dalam tubuhku mau tidak mau juga menghancurkan semua sel termasuk sel sehat. Ya ini adalah rangkaian peperanganku melawan kanker kolon ( usus besar ) stadium 3 setelah dua kali operasi pembedahan, dan tidak ada yang menyangka jika 5 tahun kemudian aku menjalani kembali operasi yang ketiga. Rangkaian umum bagi seorang pasien kanker, pembedahan, khemotheraphy, bahkan radiasi. Syukurlah aku tidak harus membiarkan diriku pasrah menjalani radiasi. Meski khemotheraphy intravena dan oral harus aku jalani dengan suka cita kalau mengeluh dan menunda hanya membuat sel kanker ganas itu berdansa riang.

Suster mendorongku melewati koridor RS, berada di atas kursi roda menuju ruang khemotheraphy meski bukan untuk yang pertama kali tetap saja membuatku berdebar. Tidak terlalu menakutkan memang jika sudah untuk kesekian kalinya, tapi tetap saja aku gamang.

Aku menyebutnya ruang harapan,... berada di lantai 5 di RS tempatku menjalani perawatan. Hanya ada satu tempat tidur disana, lemari pendingin berukuran kecil, TV , satu buah kursi dan meja dengan vas bunga plastik di atasnya. Tempat tidurku tepat disisi jendela kaca, sayangnya tidak ada pemandangan indah yang bisa ku tatap selain jalan raya, pertokoan dan lalu lalang kendaraan disepanjangnya.

Tidak lama seorang suster khemotheraphy masuk, dengan seragam kebesaran ruang khemo. Jubah operasi hingga dua rangkap, masker kepala dan wajah, sarung tangan plus sepatu boat. Suster menolak saat aku meminta supaya AC di ruangan ini dikecilkan karena tubuhku mulai kedinginan, dia menawarkan alternatif menambah selimut dari pada mengecilkan AC, alasannya radiasi obat.

Biasanya kami bercakap-cakap, tapi hari terakhir di seri pertama sudah membuatku lelah. Perlahan dia memeriksa tampon infusku, dan aku pasrah karena vena ku bengkak dan harus di tusuk ulang ditempat yang berbeda.

" Semoga sekali tusuk dapet ya mba, soalnya vena mba sudah bekas khemo semua nih dan lagi venanya mba halus banget jadi mudah pecah. Untuk khemotheraphy bulan depan, mba coba olah raga supaya otot venanya lebih terlihat jadi mudah untuk pasang jarumnya"

Kalimat yang manis Sus, mengendurkan ketegaranku menerima rasa sakit. Setelah beberapa kali tusuk, akhirnya jarum itu terpasang dilenganku lagi. Lalu suster itu mulai memasukan rangkaian obat khemoku, dia bilang cairan pertama sejenis pelancar/pembersih supaya obat khemo masuk dengan baik, lalu botol kedua cairan penenang,vitamin atau apalah supaya obat khemo tidak terlalu keras menghantam tubuhku. Yang terakhir cairan sejenis racun (obat khemo) yang katanya akan membunuh sel-sel kanker di dalam tubuh, sekaligus membunuh sel baikku di sana. Rasa hangat dan perih menjalar merayap dari ujung jari saat obat itu dimasukan dengan perlahan. Suster kali ini begitu perlahan dan lembut, hanya menyisakan perih saat obat itu memasuki venaku dan menjalar ke seluruh aliran darah. Suster yang lain pernah membuatku berteriak karena dia memasukan obat terlalu cepat dan membuatku merasa terbakar dan sakit luar biasa. Menyisakan memar yang melebar disepanjang tanganku. Setelah selesai rangkaian memasukan obat kedalam vena,suster itu memberiku kantung muntah dan beberapa majalah lalu meninggalkanku sendiri di ruang harapan.

Iya, aku menyebutnya ruang harapan. Ruangan di mana aku membuat pengharapan tentang bayangan kesembuhan, ruang di mana aku menjalani ikhtiarku untuk bertahan. Aku membolak-balik majalah, enggan membaca tapi rasa sunyi selalu membuatku sedih. Aneh, aku sok bijaksana menolak keluarga menemaniku karena alasan radiasi. Tapi aku nelangsa sendirian tanpa teman menjalani proses ini, akhhh....

Akhirnya aku hanya memandang keluar jendela, menatap atap bangunan dan lalu lalang kendaraan disepanjang ruas jalan. Merasakan perlahan reaksi obat menghadirkan rasa pusing dan mual, saat khemo pertama kali reaksinya tidak secepat ini. Mungkin ini karena lima hari berturut-turut racun khemo disuntikkan ke dalam tubuhku, maka bisa dipastikan kondisiku sudah tidak fit lagi menerima serangannya, aku mencoba menganalisa sambil terus berdiskusi dengan hatiku sendiri. " Kamu bisa,... Rasakan, sakit, mual dan sejenisnya hanya label dari pikiranmu. Fokus  "

Gagal, sepanjang sisa hari itu aku muntah-muntah. Tidak ada makanan yang masuk, bahkan seteguk air lancar jaya akan didorong keluar kembali. Aku mulai demam, dan nyeri hebat diseluruh tubuh dan persendian. Aku terduduk di toilet dengan tubuh lemas, bolak-balik muntah membuatku lebih memilih diam di kamar mandi sampai merasa lebih baik. Aku menggapai perlahan menuju tempat tidurku lagi, dan meringkuk sepanjang sore sampai suster ruang inap menjemput kembali dan mendorongku ke kamar perawatan. Hari ini tidak terlalu baik, kondisiku menurun dan dokter memaksaku tetap dalam perawatan RS. Aku mulai diare, sariawan, wajah pucat dan sensitif menerima apapun. Menatap bayangan tubuhku di cermin, aku tahu tubuhku mulai dihancurkan secara perlahan dari dalam.

kanker menimpaku seperti kabut, membuatku limbung, terluka dan samar menatap masa depan. Dan Khemotheraphy intravena atau Oral yang kujalani tidak kurang menyakitkan, meski tidak terlalu buruk dan masih sepadan jika bayarannya adalah kesembuhan dan tawa bahagia bersama orang-orang terkasih.

# Tulisan ini untuk seorang teman yang bertanya, " Emang khemotheraphy itu sakit ? masa...? "

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun