Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Merenda Asa

15 September 2022   21:13 Diperbarui: 15 September 2022   21:13 190 4
Gerimis berubah curahan hujan yang kian lebat. Sesosok tubuh berbalut kain lusuh berdiri tegak di emperan sebuah bangunan tua. Hendak diayunkannya kaki kurus yang menopang tubuhnya yang kian ringkih  Namun payung usang yang digenggamnya dengan kuat  rasanya takkan mampu melindungi tubuhnya dari air hujan yang dimainkan oleh angin yang bertiup kencang.

Baru beberapa jam yang lalu dia mengumpulkan sisa tenaga yang ada. Menapaki pematang menuju jalan setapak yang menghubungkan dusunnya dengan dusun tetangga. Yah, sehari yang lalu seorang tetangganya memberi kabar jika di dusun tetangga ada pembagian sembako dari seorang keluarga kaya yang anaknya baru pulang belajar dari kota besar.

Konon keluarga kaya tersebut pernah bernazar akan  membagi-bagikan sembako dan uang tunai ke seluruh warga kurang mampu di dusunnya dan dusun tetangga,  jika anaknya berhasil mencapai gelar dokter.  Meski jarak cukup jauh karena harus melintasi sebuah hutan kecil dan sawah yang terbentang cukup luas, ia bertekad untuk mendatangi rumah orang kaya tersebut.

Mbok Mina salah seorang janda di dusunnya sudah sejak sehari sebelumnya berangkat dan bermalam di rumah keluarganya.  Sementara dia sendiri memilih berangkat hari itu karena berat meninggalkan suaminya yang sedang terbaring sakit.

Gelisah sudah mulai menjalari pikirannya. Ingin diterobosnya hujan lebat itu tetapi jarak yang akan ditempuh masih cukup jauh. Bahkan tubuh kurusnya seakan tak sanggup menahan tiupan angin yang semakin kencang. Dicobanya bergeser mendekat ke dinding bangunan agar bisa terhindar dari angin yang sudah mulai menerbangkan berbagai benda yang ada disekitarnya.

Brakk ! Bunyi sebuah dahan patah diiringi atap bangunan yang mulai terlepas satu persatu. Rasa takut mulai menjalari pikirannya. Ada bimbang haruskah dia berbalik kembali ke gubuknya atau tetap menunggu cuaca menjadi bersahabat. Dimasukkannya payung usang yang sedari tadi digenggam ke dalam tas anyaman rotan yang dibawanya. Dikuatkannya hatinya untuk bertahan. Perlahan dijejakkan kakinya menapaki jalan setapak itu menerobos hujan yang masih tercurah dari langit.

Tidak peduli tubuh kurusnya yang sudah basah kuyup. Dalam pikirannya dia harus pulang membawa sembako  dan membuat masakan istimewa untuk suaminya yang sedang terbaring sakit. Mimpi itu memompa semangatnya sehingga meski harus merangkak menahan tubuh kecilnya dari tiupan angin dia tidak menyerah.

Lamat-lamat terlihat dari kejauhan bangunan di  dusun sebelah. Harapannya semakin membuncah. Terbayang raut wajah sumringah sang suami ketika nanti mencium bau masakannya. Membayangkan hal itu ia semakin bersemangat meski  dingin terus menusuk nusuk tubuh tuanya.

Bersamaan dia menapakkan kaki di perbatasan dusun dimana rumah-rumah warga dusun tetangga sudah di depan mata , hujan pun berangsur reda. "Alhamdulillah", kata syukur terucap lirih dari bibirnya yang pucat menghitam karena dingin. Coba diperasnya kain lusuh yang melekat di badan sambil dikibas - kibaskan  agar airnya terjatuh.

Perlahan matahari yang sudah semakin condong ke Barat mulai muncul.  Menyapa bumi yang dari pagi merundung dalam dekapan hujan. Sambil berjalan memasuki dusun yang dituju , dzikir yang sedari perjalanan tiada henti menghiasi bibirnya, terus di lafadzkan. Sambil celingukan dicarinya orang untuk menanyakan alamat. Namun warga dusun rupanya masih enggan beranjak dari atas rumah mereka.  Dicarinya rumah yang paling bagus karena dalam pikirnya pastilah rumah yang dituju itu yang paling bagus di dusun tersebut.

Di tengah kebingungan tiba-tiba  dia sadar jika belum menunaikan shalat dhuhur sementara waktu ashar sudah menjelang. Seorang bapak tua dengan tampilan  sarung dan kopiah tampak berjalan menuju sebuah tempat. Dia coba mengikuti dan benar saja bapak tua itu berjalan menuju sebuah surau di dusun tersebut.

Bergegas dijajarinya langkah bapak tua tersebut  dan mencoba menanyakan tempat wudhu.  Bapak tadi mengarahkan ke arah samping surau, namun belum sempat bapak tersebut  bertanya, perempuan itu sudah menghilang dan sejenak sudah larut dalam sujud panjangnya. Hingga waktu ashar tiba dan dia ikut berjamaah bersama bapak tua tadi dan dua  jamaah bapak-bapak tua lainnya. Tidak tampak seorang pun jamaah perempuan.

Selepas shalat dia coba menanyakan alamat orang kaya kampung yang punya hajat bagi-bagi sembako tersebut pada salah seorang jamaah. Penasaran dengan penampilan perempuan paruh baya itu,
si bapak mulai mengejarnya dengan sejumlah pertanyaan. Mengetahui jika perempuan tua didepannya itu berasal dari dusun tetangga yang jaraknya cukup jauh, bapak tersebut menjadi kasihan dan menawarkan untuk singgah ke rumahnya. Namun  perempuan itu menolak dengan halus dan memohon untuk ditunjukkan rumah orang kaya yang dicarinya.

Mendengar desakan perempuan didepannya, dua orang bapak  yang menghampirinya saling pandang. Mereka salut dengan usaha keras si ibu  namun di satu sisi mereka tahu kalau ia tidak akan dapat memperoleh  yang dicarinya karena orang kaya yang dituju baru saja meninggalkan dusun menuju rumah orang tuanya di luar pulau. Sembako dan uang tunai yang akan dibagikan sudah terbagi habis hingga siang tadi.  

Tampaknya hujan di dusun tersebut tidak separah hujan badai  yang dialaminya dalam perjalanan sehingga meskipun hujan,  orang dusun dan orang-orang dari dusun terdekat tetap berdatangan ke rumah si kaya yang dermawan itu. Mendengar penuturan dari bapak tadi, perempuan tua yang kemudian di ketahui bernama Bu Surti itu menjadi lemas namun sekuat tenaga dicobanya untuk tegar.

Berbagai rasa membuncah dalam dadanya. Sedih, kecewa, putus asa, rasa bersalah. Meski berusaha tegar, di wajahnya tampak rasa sedih dan kecewa dan itu terbaca oleh bapak tadi.  Ada rasa iba terhadap perempuan tua bertubuh ringkih tersebut. Terbetik untuk memberikan sebagian jatah sembako yang diperolehnya namun dia tahu watak istrinya. Istrinya pasti akan mengomel  dari A sampai Z jika jatah itu dibagi ke orang lain karena mereka juga butuh.

Sementara bapak yang satunya tidak memanfaatkan kesempatan untuk ikut antrian sembako karena dia merasa masih banyak yang lebih butuh dari dia. Namun untuk saat ini dia tidak punya kelebihan untuk dibagi ke orang lain karena dia juga punya tanggungan yang banyak.

Perempuan malang itu tidak bisa berharap banyak, bergegas dia mohon izin kembali ke dusunnya meski dengan perasaan yang tidak menentu. Salah seorang bapak yang dari awal hanya mendengarkan karena sambil membereskan perlengkapan surau, mendekat. Dia mengajak perempuan tua itu ke rumahnya untuk bertemu dengan istrinya. Meski ragu karena ingin segera pulang , perempuan tua itu bergeming. Diikutinya bapak tadi hingga sampai di depan sebuah rumah sederhana namun bersih dan rapih.

Setelah mengucapkan salam,  dari dalam terdengar jawaban dari suara yang sangat bersahaja. Seorang perempuan paruh baya keluar menyambut dan mempersilahkan mereka masuk. Setelah berbasa - basi sejenak, sang suami menceritakan perihal perempuan lusuh yang bersamanya dan niatnya untuk menyisihkan sejumlah sembako yang mereka dapat dari orang kaya kampung yang dermawan. Istrinya tentu saja iba dan dengan senang hati mau berbagi. Awalnya Bu Surti menolak namun setelah di bujuk akhirnya dia mau menerima sembako pemberian suami istri yang baik itu dan juga beberapa lembar uang dua puluh ribuan.

Dengan kesyukuran dan rasa terima kasih yang sangat mendalam Bu Surti  pamit untuk kembali ke dusunnya. Hari semakin sore namun dengan kebahagiaan yang begitu besar dia bersemangat untuk melangkahkan kaki kembali ke dusunnya. Niatnya untuk segera memasak masakan istimewa untuk suaminya memompa semangatnya untuk segera sampai di rumah.

Hari mulai gelap ketika kaki kurusnya yang kini membawa  beban berat karena memanggul sembako melangkah menapaki pematang yang menuju gubuknya. Perjalanan jauh yang ditempuhnya berjam- jam saat berangkat karena kondisi hujan badai , disaat pulang terasa sangat dekat. Pada dasarnya jarak tempuh tetaplah sama. Namun karena cuaca yang sudah kembali normal dan semangat yang tinggi maka beban di pundaknya tidak menjadi penghalang untuk mempercepat langkah sehingga waktu tempuh menjadi lebih pendek.

Mendekati arah menuju gubuknya detak jantung Bu Surti seakan terhenti ketika menyaksikan beberapa orang berjalan dari arah rumahnya. Dipercepat langkahnya hingga bisa berpapasan dengan orang-orang tersebut. "Ada apa Bu?" kejar Bu Surti dengan suara bergetar. 
"Suami Bu Surti ... belum selesai tetangganya menjawab Bu Surti berlari menuju gubuknya. Didapatinya ada beberapa orang di dalam rumah sedang duduk sambil menunduk.  

Napasnya seolah berhenti, tanpa menghiraukan orang disekelilingnya dia menghambur ke arah suaminya yang sedang terbaring dengan mata terpejam. "Pak! teriaknya diiringi tangis. "Saya bawa sembakonya pak, nanti saya buatkan makanan enak buat bapak," lanjutnya dengan terisak. Berulang dipanggilnya sang suami sambil terus terisak keras.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun