Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Di Balik Sembilan

1 Juni 2014   20:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:50 6 0
Sejak lelaki itu datang ke kampung kami. Saramia mulai berubah. Ia mulai memakai bedak dan lipstik. Pakaian ketat pun tak lepas dari badannya. Rambutnya selalu disisir rapi. Perubahan Saramia sontak membuat kampung kami geger. Selama ini, tak ada yang memperhatikan Saramia. Ia adalah gadis remaja yang beranjak dewasa berbau kebun dan dapur. Jemarinya kasar dan kukunya yang jarang dipotong meninggalkan jejak hitam di dalamnya. Saramia cuek saja. Tak dipedulikannya. Ia percaya semboyan “jodoh tak akan kemana.”

Sejak mengenalnya, tak sekalipun kulihat ia memakai bedak. Rambutnya hanya disisir dengar jari. Baju daster ungu muda sepulang dari kebun selalu dikenakan. Jarak rumahku dengan rumahnya hanya dibatasi tujuh rumah di sebelah kiri. Barangkali, aku adalah satu-satunya warga yang sering memperhatikannya. Ia teman kanakku yang menjengkelkan karena sering menangis.
Setelah kami remaja, kami tak dibolehkan lagi sering bermain bersama. Apalagi ketika kami beranjak dewasa, semakin jaranglah kesempatan bertemu. Kalaupun bertemu hanya sekilas dan ngobrol apa adanya. Tapi aku masih sering memperhatikan Sarami. Sangat sering.
*******
Lelaki itu berkunjung tiga kali seminggu ke kampung kami. Dengan mengendarai mobil yang berbeda-beda tiap ia datang. Namun satu yang tidak pernah hilang dari mobil yang dikendarainya. Gambar dirinya sendiri, yang tersenyum ramah.

Pada kunjungan pertamanya, lelaki tersebut yang belakangan kuketahui bernama Hamriadi dari kartu nama yang dibagikan. Saat itu semua warga berkumpul di lapangan SD yang tidak terlalu luas. Ada mimpar kecil yang disiapkan warga sebagai penyambutan.

“Ada orang kota datang ke kampung kita,” ujar ibu. Berita itu menyebar tak tertahankan, hingga ke kampung seberang. Kupikir bukan karena Hamriadi dari kota yang menjadi daya tariknya. Tapi ia datang dari jauh hanya untuk mencari keluarganya ke kampung kami. Dan A. Samaludding sebagai tetua kampung diyakini memiliki pertalian keluarga dengannya. Jika lelaki tersebut keluarga dari Puang Andi, begitu memanggil A. Samaluddin, berarti 99% semua keluarganya di kampung kami. Atau akan kami anggap sebagai keluarga.

Ketika naik mimbar, semua warga duduk tenang, serupa sedang mendengarkan khutbah shalat idul fitri yang bisa dilakukan di lapang sekolah dasar tersebut. Semua warga tumpah ruah di lapangan tersebut. Kecuali Saramia. Ia lebih memilih tinggal di rumah. Aku mencarinya sepanjang acara, tapi tak kutemukan sosoknya.

Ketika lelaki itu lewat di depan rumah Saramia, ia kebetulan sedang berada di beranda rumahnya, memakai daster ungu mudanya. Sepanjang jalan, Hamriadi melambaikan tangan kepada warga, ia juga melambaikan tangan secara tak sengaja kepada Saramia. Keesokan harinya. Perubahan pada diri Saramia terjadi.
“Saramia jatuh cinta,” ujar beberapa warga bersamaan, ketika sedang berkumpul dibalai-balai depan ruamh pak Dusun. Gosip jatuh cintanya Saramia jadi santapan warga. Tanpa sadar, aku merasa gelisah mendengar tuturan itu. Mukaku serasa terbakar.

“Jatuh cinta pada siapa?” Tanyaku, berusaha menahan getaran suaraku.
“Kepada Hamriadi, lelaki gagah bermobil itu, pikirkanlah Tammu, Saramia berubah ketika Hamriadi datang ke kampung kita,” terang Puang Gassing, si kepala dusun.

Berhari-hari kemudian, perbincangan mengenai Saramia lebih menarik daripada Hamriadi yang datang mencari keluarganya di kampung kami. Tapi membicarakan asap, tentu saja harus pula membicarakan apinya. Maka ketika warga membicarakan Saramia, maka Hamriadi juga ikut. Celakanya orang tua Saramia antusias menyambut gossip tersebut. Lalu setiap Hamriadi ke kampung kami. Saramia menjadi pendampingnya. Ia tampak anggun dan membuat darahku berdesir cemburu. Bukan hanya aku yang cemburu, tapi banyak pemuda, pemudi dan bahkan para orang tua karena kecantikan Saramia membuat Hamriadi kepincut.
Hamriadi memang lelaki beruntung. Ia ditawari sendiri oleh ibu Saramia menikahi anaknya, dengan uang paknai yang murah. Terang saja, hal itu membuat kami, para pemuda kampung yang menaruh hati kepada Saramia seperti dikebiri. Sejak Saramia berubah, banyak pemuda dari luar kampung kami yang datang, sekadar berusaha menarik perhatiannya.

Pada sebuah malam, ketika petir menyambar-nyambar, para pemuda berkumpul di balai-balai depan rumah Pak Dusun, menyusun rencana untuk mencegah Hamriadi berkunjung. Kesepakatan malam itu, kami akan menebangi pohon yang bisa menghalangi mobil Hamriadi. Tapi rencana matang itu digagalkan oleh Pak Dusun yang mengintip lewat jendela rumahnya. Ia menyuruh orang tua kami menjaga kami agar tidak keluar rumah. Sial.
*******
Daya tarik Hamriadi cukup ampuh. Warga yang punya anak gadis berlomba-lomba menawarkan anaknya. Aneh. Perubahan Saramia diikuti para perempuan di kampungku. Bukan hanya para gadis, tapi juga para ibu-ibu. Sementara kami para lelaki mengikuti gaya Hamriadi. Jadwal kunjungan Hamriadi masih tetap sama, tiga kali seminggu. Dan itu sudah berlangsung selama enam bulan. Tiap kali ia datang, selalu saja ada bingkisan aneh dari kota yang dibawa lalu dibagikan kepada warga.
Tiga minggu lalu, kian banyak orang asing serupa Hamriadi menemukan kampung kami yang terpencil. Entah bagaimana cara mereka menemukannya. Mereka mengaku memiliki keluarga di kampung kami. Semuanya ramah. Semuanya pintar, semua orang asing itu datang dengan membawa bingkisan kota yang disuntikkan ke pikiran warga. Kedatangan orang-orang tersebut membuat Hamriadi tergusur. Ia mengumpulkan warga, agar mengusir orang-orang yang datang tersebut.

“Tak perlu kita usir, setelah tanggal Sembilan mereka tidak akan berkunjung lagi,” kata pak Dusun. Wajah Hamriadi kulihat memerah. Tanggal sembilan, aku tak mengerti tanggal sembilan yang dimaksud Pak Dusun. Dan kenapa orang asing itu tak akan mengunjungi dan menemukan kampung kami lagi. Lalu bagaimana dengan Hamriadi?
******
Apa yang dikatakan Pak Dusun terbukti, setelah tanggal sembilan bulan ini. Orang asing itu tak lagi berkunjung. Hamriadi pun demikian, sementara Saramia sejak tanggal sembilan itu, tak pernah lagi keluar rumah. Kampung kami berubah jadi kampung mati, warga saling mencurigai. Puang Andi menghilang dalam entah yang rumit.

………………….Diam-diam aku sering mengunjungi Saramia, ketika rumahnya sedang sepi……..

Rumah kekasih, 8 April 2014


Cat: Dimuat di Harian Ajatappareng Sidrap, Jumat, 02/5/2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun