Di tengah ketidakadilan ini, pertanyaan besar pun muncul: Jika dunia tak berjanji adil, apa gunanya berbuat baik? Apakah kebaikan hanya sekadar beban yang membuat hidup lebih sulit? Atau justru, di tengah absurditas kehidupan, kebaikan memiliki makna yang lebih mendalam?
Mengapa Dunia Tak Adil?
Ketidakadilan adalah kenyataan yang tak terelakkan. Filsuf Yunani, Plato, dalam Republik, mengisahkan tentang Socrates, seorang pencari kebenaran yang dihukum mati oleh masyarakat yang tidak memahami nilainya. Socrates tidak bersalah, tetapi ia menjadi korban ketidakadilan. Namun, bagi Plato, keadilan bukanlah tentang balasan duniawi. Keadilan sejati terletak pada harmoni batin dan keberanian untuk tetap teguh pada prinsip, bahkan ketika dunia tidak berpihak.
Realitas ini mengingatkan kita bahwa hidup tidak diatur oleh hukum moral yang jelas. Dunia tidak memilih siapa yang akan dihargai atau dihukum. Namun, ketidakadilan ini bukanlah alasan untuk menyerah pada kebaikan. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk membuktikan bahwa kebaikan memiliki kekuatan yang melampaui penghargaan duniawi.
Kebaikan Sebagai Keberanian
Ketika dunia tidak adil, memilih untuk tetap berbuat baik adalah tindakan yang berani. Albert Camus, filsuf eksistensialisme, menyebut kehidupan sebagai sesuatu yang absurd—tidak ada makna inheren, tidak ada keadilan bawaan. Namun, justru dalam absurditas inilah manusia dapat menemukan kebebasannya. Ketika seseorang tetap berbuat baik meskipun diperlakukan tidak adil, ia sedang menciptakan makna sendiri di tengah kekacauan.
Camus mengibaratkan manusia seperti Sisyphus, tokoh mitologi yang dihukum untuk mendorong batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya berguling turun lagi. Dalam penderitaannya, Sisyphus tidak menyerah. Ia terus mendorong batu itu, dan di situlah letak pemberontakannya. Demikian pula, ketika kita tetap memilih kebaikan di tengah ketidakadilan, kita sedang melawan absurditas dunia dengan cara yang penuh keberanian.
Immanuel Kant menyatakan bahwa tindakan bermoral sejati tidak dilakukan demi balasan, tetapi karena itu adalah kewajiban kita sebagai manusia. Orang yang berbuat baik meskipun tidak dihargai sedang menunjukkan esensi tertinggi dari kemanusiaan: kemampuan untuk melampaui kepentingan diri sendiri demi sesuatu yang lebih besar.
Dalam dunia yang penuh transaksi, di mana setiap tindakan dihitung untung dan ruginya, kebaikan tanpa pamrih sering dianggap sebagai kelemahan. Namun, justru di situlah kekuatannya. Kebaikan yang tulus membebaskan kita dari rantai penghargaan eksternal dan menegaskan bahwa nilai kita tidak bergantung pada pengakuan orang lain.
Mengubah Dunia, Satu Langkah Kecil
Meskipun dunia tidak selalu membalas kebaikan, bukan berarti kebaikan tidak memiliki dampak. Seperti tetesan air yang perlahan mengikis batu, kebaikan yang konsisten dapat mengubah realitas, meski membutuhkan waktu lama. Mungkin Anda tidak melihat hasilnya langsung, tetapi tindakan baik Anda dapat menjadi inspirasi bagi orang lain, menciptakan efek domino yang memperbaiki dunia sedikit demi sedikit.
Dunia tak berjanji adil, tetapi itu bukan alasan untuk berhenti berbuat baik. Dalam setiap tindakan kebaikan, Anda sedang menyalakan lentera kecil di tengah kegelapan. Lentera ini mungkin tampak kecil dan tak berarti, tetapi bagi seseorang di luar sana, cahaya Anda adalah alasan mereka tetap percaya pada kebaikan.
Jadi, teruslah berbuat baik, bukan karena dunia menjanjikan penghargaan, tetapi karena kebaikan itu sendiri adalah cerminan dari siapa Anda. Di tengah dunia yang sering melupakan nilai kemanusiaan, jadilah bukti bahwa kebaikan sejati masih ada.
Karena meski dunia tak berjanji adil, Anda selalu bisa memilih untuk menjadi cahaya.