Letak Topi Bundar tidak jauh dari jalan Siliwangi yang sekarang sudah dibuat satu arah. Banyak gang yang dapat dilalui untuk mencapai kantong literasi tersebut. Yang aksesnya paling dekat dan paling sederhana adalah lewat jalan yang berada di samping SD Pintukisi. Bangunannya berlantai dua, warnanya didominasi oleh hijau tua, dan bersebelahan dengan TK An Nuur, Kebonjati. Di dalam, udaranya selalu sejuk, maklum saja sebab bertetangga dengan sebuah kebun yang tidak terurus. Cahaya matahari masuk melalui jendela kaca yang lebar. Cahaya itu menjadi penerang bagi ratusan buku yang berjajar rapi di rak kayu. Di lantai satu terdapat perpustakaan dan toko buku. Sementara ruang baca, tempat belajar membaca dan menggambar terdapat di lantai dua. Udara sejuk mengusai semua ruangan, sebuah tempat yang benar-benar nyaman bagi mereka yang berminat belajar dan berinteraksi dengan buku. Saya duduk di balkon, daun pohon mangga menyentuh jendela, burung-burung kecil berloncatan di kabel telepon, bayangan pohon mangga menyentuh jalan kecil yang beraspal.
Sekitar jam dua saya pamit, lalu meluncur ke pusat kota, dan menyambangi setiap toko buku. Di sebuah toko buku kecil, di jalan Ahmad Yani, saya mendapati buku Muhidin; Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta. Saya membeli dua dan mengabari Bung Erlan, lalu deal : akan saya kirim ke Gudang Peluru distrik Cibiru, Bandung. Kemudian hari menjadi semakin sore, dalam perjalanan pulang ke kampung, dada saya terasa gembung. Lega sekali mendapati kantong literasi di Sukabumi, bertemu dengan kenyataan; bahwa anak-anak tidak melulu menyuntuki game atau terpaku di depan layar tv menyaksikan kartun favorit, mereka juga ternyata menggandrungi buku. Mobil yang saya tumpangi mulai jauh meninggalkan kota.
Perjalanan ke kampung memang lama, ada sekira tiga jam. Untuk membunuh bosan, saya online memakai ponsel sederhana. Di dunia jejaring social saya membaca tulisan seorang kawan yang tinggal di Yogya, dia melempar ide baru nan segar; menulis sejarah kampung. Kota-kota besar yang sering menjadi bahan kajian sosiologi, pusat ekonomi, dan akulturasi budaya, sesungguhnya terdiri dari beberapa kampung. Kota adalah gabungan dari ratusan RT dan puluhan kelurahan. Sementara yang selalu menjadi pembicaraan dan yang tercatat dalam berbagai literature adalah kota secara Makro, masyarakat hanya mengenal kota lewat icon dan landmark saja. Menulis sejarah kampung adalah sebuah usaha untuk mencatat setiap renik data dan kenyataan sosial yang ada dan terjadi pada kehidupan masyarakat sehari-hari, sebab menjadi bagian dari sejarah bukan monopoli kota-kota besar saja. Pun begitu, sejarah tidak melulu soal-soal yang sudah lampau, menuliskan kuliner khas dan kegiatan sehari-hari, bisa juga menjadi awal untuk menuliskan sejarah kampung. Demi membaca tulisannya, saya kemudian teringat Sumur Batu, sebuah kelurahan di pusat Jakarta yang sesak oleh banyak gang, penjual keliling, got busuk, warung kopi, dan anak-anak yang selalu ramai bermain di waktu sore. Saya tiba-tiba ingin menuliskan semuanya.
Mobil terus laju, pemandangan semakin didominasi oleh perkampungan petani yang miskin. Asap mengepul dari jerami yang dibakar. Sinar matahari masih berusaha menerobos lewat kaca jendela. Dua anak kecil telanjang dada tampak menangis berebut kembang gula. Di langit yang semakin redup terlihat sebuah layangan, dia terbang karena menentang angin. [ ]
15 Nov ‘10