Aku ingin nyanyikan lagu
Buat orang-orang yang terbuang
Kehilangan semangat juang
Terlena dalam mimpi panjang
Seorang nenek di atas kursi rusak nan kumuh terlihat sedang merenung, tatapannya mengarah ke tanah yang basah, tapi sebuah tatapan yang kosong. Pikirinnya mungkin sedang menerawang ke masalalu atau hinggap di dapurnya yang kotor dan berdebu, tapi jalan pikiran orang siapa yang tahu. Pemandangan berakhir di ujung gang, di depan sudah terlihat halte bus way. Senen oh Senen, sering betul aku melewati daerah itu, para gepeng berkerumun di lampu merah, tangannya menengadah mengharapkan berkah, siapa tahu ada recehan yang menghampiri tangan kumalnya. Sebagian lagi berteduh di dekat baliho seorang anggota legislatif yang tersenyum ramah sambil mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H”. Saya sampai di Harmoni dan bersegera mencari tahu harus naik mobil jurusan mana kalau mau sampai di Slipi?, nama yang aneh, daerah yang terus mengantuk. Di dekat Menara Peninsula saya berkirim sms tentang alamat jelas, tapi balasannya sangat menjengkelkan, “Gw udah pindah ke Kelapa Gading Bro, aduh sorry gw lupa ngasih tau lo. Lo ke sini aja deh pake taksi ntar gw yg bayar.” Mampus, tahu sudah pindah ke Kelapa Gading tinggal loncat saja naik M53 dari Sumur Batu. “Hei Bung, ente Kelapa Gadingnya di mana?, gw Cuma tahu Boulevard doank.” Lalu menghentikan Burung Biru dan meluncur ke Boulevard. Hujan turun semakin deras.
Rupanya Cempaka Putih banjir, mau ambil jalur alternative tidak bisa, kiri-kanan, depan belakang penuh belaka oleh kendaraan, macet menjadi juara. Ojeg payung berebut pasien di depan komplek Cempaka Mas. Asap mengepul dari gerobak tukang bakso, beberapa perempuan muda mengerubungi gerobak itu. Jalan masih macet, suara klakson meramaikan polusi suara, symbol urat sabar yang telah putus di tengah kota. Umpatan “Anjing, Babi, Monyet” sesekali terdengar dari bus-bus besar. Inilah waktu yang tepat untuk memutar “Ode Buat Kota”. Ponsel berbunyi, sms dari Kelapa Gading, “Udah nyampe di mana lo?, lama banget, gw udah abis empat batang nih di Boulevard.” Tidak saya balas, orang tak sadar lingkungan sekali-kali harus dikasih pelajaran, dia seperti hilang ingatan, bahwa : Jakarta hujan = Jakarta Macet. Akhirnya kemacetan bisa diurai, dan Burung Biru terus melaju ke Kelapa Gading. Di depan Circle K dia duduk di lantai, mukanya penuh dengan rona bosan menunggu, sementara aroma cigarette putih tercium dari radius tiga meter. Tak banyak cakap, kami lalu meluncur lagi dengan Burung Biru menuju ke kostannya.
“Mana National Geographic?”, sambil tangan terus mengacak-ngacak rak bukunya. “Ga ada, kemarin dibawa temen gw, lagian lo kan ga bilang kalo mau pijem majalah itu.” Gagal maning. Ini memang salah saya. Tadi sebelum berangkat, saya hanya bilang mau pinjam majalah, tidak disebutkan majalahnya apa. Akhirnya saya hanya membawa pulang majalah Rolling Stone dan Tempo, tentunya setelah hujan reda. Pulang tidak lagi memaki Burung Biru, cukup 37 dan M53 saja. Beberapa ruas jalan digenangi air, angin bertiup pelan. Di kejauhan terdengar suara letusan, seperti pistol yang menyalak. Datar sekali. Saya merasa hidup di dalam stoples, berputar pada space yang sama. Tak ada lagi minat menulis yang dulu pernah datang menyerbu. Tak ada lagi minat membaca buku yang meluap-luap. Gudang peluru tak terurus, saya hanya mampu membaca majalah dan mendengarkan music. Saya merasa terasing di kamar sendiri.
Just like gravity
You bring me down
Just like gravity
You kill my will
Di depan Universitas Yarsi saya loncat. Hari mulai gelap. Adzan maghrib sudah berlalu. Saya lihat jam di ponsel, tapi malah ada pesan yang belum terbaca, rupanya diterima tadi jam lima sore, isinya dari Rumah Buku Bandung : Kineruku akan memutar film “Babi Buta yang Ingin Terbang”, jam 18.30, akan hadir sutradara dan salah satu pemainnya, Edwin dan Ladya Cherryl. Maaf Bung, saya sekarang di Jakarta, tak ada waktu lagi untuk menghadiri acara di Rumah Buku Bandung. Saya hapus pesan itu, jam sudah duduk di 18.20, dan ternyata hujan belum menyerah, dia turun lagi.
Besok minggu, saatnya membeli Kompas. Saya tidak bisa bertahan lama membaca di Kompas.com, radiasi layar monitor membuat mata menjadi cepat lelah. Dan pagi itu segera bergegas ke tukang koran, lalu di dalamnya mendapatkan agenda budaya : Festival Fim Eropa, 29 November-2 Desember 2010. Saya lihat kalender, ternyata hari kerja semua, niat nonton saya kubur. Adapula pemutaran yang lain, restropeksi untuk pembuat film Ghost Writer, tanggalnya sama saja, tidak bersahabat dengan agenda jam kerja. Sementara JIFFest pun belum jelas kabarnya, panitia masih melobi pemerintah untuk menutup dana yang masih kurang. Jika sampai tanggal 1 November belum terkumpul satu milyar, maka JIFFest 2010 batal. Apalagi yang tersisa?, semuanya seperti sedang berkonspirasi untuk memojokkan saya yang tengah down. Sudah lama tak membuka facebook, lalu login. Ada agenda launching album terbaru Bangkutaman di Kemang, waktunya malam jum’at, jam 20.00 wib, saya lupakan. Headline koran tidak saya baca, isinya melulu tentang bencana.
Saya berpindah ke majalah yang dibawa dari Kelapa Gading. Ada Mocca di Rolling Stone, mereka mengeluarkan mini album : Butterfly on My Tummy. Zeke Khasali membuat album solo, yang meresensi menulis bahwa lagu-lagunya susah dicerna karena liriknya rumit dan kualitas rekaman yang buruk. Majalah musik kurang bisa saya nikmati, saya beralih ke Tempo. Bahasanya lumayan, tapi masih bagus bahasa Tempo yang sebelum dibredel Orba. Bosan. Majalah sudah habis, sementara buku tak lagi mengundang selera. Penghuni kost yang lain mulai berdatangan, lalu lingkaran kecil berjumlah lima orang terbentuk, isinya hanya obrolan ringan, makanan ringan, softdrink, dan asap cigarette yang resikonya tidak ringan. Di antara lingkaran kecil itu saya mulai mengidentifikasi diri lagi, apa sebenarnya yang menjadi motor penggerak, dan saya mendapatkan ini :
- …….
- …….
- …….
- …….
- …….