Kampanye yang didukung oleh
Tunas Cendekia ini memakai kata yang--saya gunakan kata yang halus--provokatif. Kata "TOLOL" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (
KBBI) danÂ
Kateglo berarti "sangat bodoh" atau "bebal". Bisa jadi, pengagas yang ada di belakang kampanye ini, sangat bersemangat dalam memilih kata. Mereka menggunakan diksi "kasar" dan superlatif untuk menyasar target dan sasaran kampanye. Tidak cukup dengan menggunakan "bodoh", kata TOLOL yang merupakan bentuk superlatif dari bodoh dijadikan pesan utama dan menjadi merek akun di
media sosial. Makna
peyoratif yang ditimbulkan oleh kedua kata itu berbeda, dan memiliki nilai rasa bahasa yang tak sama. Kampanye pertama menggunakan kalimat yang dapat dimasukkan dalam komunikasi
persuasif. Sementara, pilihan kata yang dipakai kampanye kedua, koersif.
Koersif dapat berarti ancaman, paksaan, dan punya relasi erat dengan kekerasan. Manakah yang lebih tepat digunakan untuk kampanye perubahan sosial? Tak ada jawaban mujarab untuk semua ini. Sebab kampanye perubahan perilaku, adalah sesuatu yang melibatkan banyak hal. Namun, jika boleh saya menilai,semuanya akan tergantung pada siapa target yang dijadikan sasaran kampanye. Lapisan masyarakat yang mana yang akan menjadi fokus dan sorotan, dan menjadi publik penerima pesan-pesan kampanye, itulah salah satu kunci yang harus dipahami oleh seorang perencana komunikasi perubahan perilaku. Identifikasi detil mengenai gaya berbahasa, pilihan kata dan corak grafis akan menentukan dan mendefinisikan khalayak yang menjadi target. Merancang sebuah pesan dalam kampanye komunikasi sosial, membutuhkan serangkaian pemahaman tentang target masyarakat yang dipilih. Aplikasi dari pemahaman itu, pada akhirnya akan menentukan ragam pesan yang diambil. Kedua kampanye diatas, punya target yang berbeda. Oleh karenanya, punya pilihan kata yang berlainan pula. Menurut Anda, diantara dua kampanye diatas, mana yang lebih dapat diterima?
KEMBALI KE ARTIKEL