Menapaki penghujung bulan Mei masyarakat Indonesia tengah dikejutkan dengan menyeruaknya isu sistem pemilu yang akan kembali menerapkan sistem proposional tertutup sebagaimana yang terjadi pada masa orde lama & orde baru. Tentunya kabar mengenai perubahan sistem ini memantik perdebatan di berbagai kalangan masyarakat. Beragam respon dari masyarakat terhadap isu tersebut baik itu yang mendukung dan menolak penerapan kembali sistem proporsional tertutup. Bagi sebagian masyarakat yang menolak hal ini tak lepas dari trauma masa lalu karena Indonesia memiliki sejarah yang cukup kelam ketika menganut sistem proporsional tertutup. Bila kita tarik ke belakang sistem proporsional tertutup melahirkan kekuasaan yang besar untuk penguasa partai dalam memonopoli kekuasaan politik karena ada celah bagi ketua partai untuk memegang kendali sepenuhnya pada proses penunjukan siapa yang berhak duduk di kursi pemerintahan. Tidak bisa dinafikan bahwa penerapan sistem proporsional tertutup acapkali mendorong terjadinya tindakan nepotisme, patronase, dan klientelistik oleh partai sehingga menimbulkan regresi legitimasi publik terhadap pemangku kekuasaan karena dengan begitu demokrasi hanya dianggap sebagai suatu instrument dalam memuluskan kepentingan segelintir elit partai.Walaupun sebenarnya praktek praktek di atas juga masih bisa terjadi pada sistem proporsional terbuka tetapi sistem
closed list memaksa rakyat untuk tidak punya pilihan selain bergantung pada keputusan partai. Â Mengutip pernyataan dari penulis
 Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2001 Muhammad Nizar Kherid berpendapat penerapan dari
closed list sistem ini mendorong terjadinya oligarki elit partai yang kuat sehingga memiliki kecenderungan mengurangi nilai-nilai demokrasi yang subtansial.
KEMBALI KE ARTIKEL