Menghadapi petahana calon gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) terlihat panik dan frustasi. Tingginya tingkat popularitas dan elektabilitas pasangan Ratu Atut-Rano Karno membuatnya kehilangan akal dan strategi. Semua cara pun dilakukan –sebagaimana diberitakan beberapa media lokal dan nasioanl— mulai dari pelibatan sejumlah PNS, penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, dan sebagainya.
Bahkan di tengah masa kampanye yang saat ini tengah berlangsung, ditemukan puluhan spanduk pasangan Ratu Atut-Rano Karno dirusak dan dicopot secara seporadis. Black campaign berupa fitnah yang menyerang pasangan nomor urut satu pun disebar ke masyarakat.
Sangat disayangkan, demokrasi yang menuntut kebebasan berekspresi, berpolitik secara fair dan sportif dicemari oleh limbah busuk tak mendasar. Demi mencapai kemenangan, segala aturan dan pertimbangan moral diabaikan. Rupanya, masih ada politisi yang tidak memahami substansi dari diadakannya pemilihan umum.
Kalau kita cermati ulang, pemilu merupakan kesempatan yang diberikan kepada rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung. Pemilu adalah kontrak politik antara rakyat dengan pemimpin yang diberi mandat, sehingga lahir kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena itu, pemilu harus dilakukan dengan bebas, jujur, dan adil.
Tanpa proses pemilihan yang bebas, jujur, dan adil, maka pemimpin yang lahir bukan merupakan representasi dari rakyat. Legitimasi yang diperoleh pun patut dipertanyakan. Di sinilah pentingnya proses pemilihanyang demokratis. Menciderai proses itu dengan merusak atribut kampanye, memfitnah lawan, dan lain-lain adalah sikap yang tidak domokratis alias pecundang.