Menghindari Money Game
Dr Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Akhir-akhir ini semakin banyak penawaran skema investasi atau bisnis yang ujung-ujungnya mengarah pada money game. Secara sederhana, definisi umum dari money game yang kita kenal adalah “kegiatan pengumpulan uang melalui penawaran skema bisnis tertentu, dimana return atau keuntungan yang didapat oleh pihak yang terlibat, pada dasarnya diambilkan dari bonus hasil merekrut anggota baru”. Jadi, orientasi utamanya adalah pada perekrutan orang, dan bukan pada besarnya volume penjualan atau target omset bisnis riil yang dilakukan. Sehingga, penjualan yang ada hanya menjadi ‘trik’ atau sekedar tipuan belaka. Padahal, esensi bisnis itu adalah bagaimana menjual produk sebanyak-banyaknya sehingga keuntungan yang didapat bisa optimal.
Biasanya, praktik money game ini masuk melalui beberapa pintu. Pertama, tawaran “return on investment” yang sangat menarik dan fantastis. Misal, seseorang dijanjikan akan mendapatkan keuntungan Y persen secara pasti, dalam kurun waktu tertentu, apabila mau berinvestasi dengan nilai X rupiah. Investasi Rp 1 juta pada bulan pertama misalnya, kemudian dijanjikan mendapat ‘kepastian’ untung sebesar Rp 30 juta pada bulan ketiga dengan syarat mampu merekrut sekian orang. Inilah yang selalu menjadi “jualan” perusahaan yang mengedepankan money game. Tujuannya supaya orang tergiur dan tertarik mengikuti bisnis tersebut tanpa melakukan analisis yang rasional.
Kedua, ketidakjelasan produk yang diperjualbelikan atau ditawarkan. Biasanya produk yang ditawarkan tidak jelas, dan dianggap bukan menjadi isu utama dari sistim bisnis yang dijalankan. Kadang-kadang pihak yang terlibat tidak mengetahui secara jelas mengenai keunggulan dan kelemahan produk tersebut. Dalam kasus investasi bodong emas beberapa waktu lalu misalnya, hampir semua investor yang menanamkan dananya, tidak mengetahui dimana emas mereka berada. Yang ada di benak mereka hanya kalkulasi “return on investment” semata.
Ketiga, ketidakrasionalan harga produk dan tingginya biaya pendaftaran. Melalui pintu ini, biasanya perusahaan akan memberlakukan harga jual produk mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar yang sebenarnya. Sebagai contoh, harga jual produk normalnya Rp 1 juta di pasar, tapi kemudian dijual Rp 1,4 juta.
Mereka pun juga biasanya mengenakan biaya pendaftaran yang sangat tinggi, yang tidak sepadan dengan fasilitas yang diberikan. Misalnya, biaya pendaftaran untuk menjadi anggota atau member baru mencapai angka Rp 1 juta, tetapi fasilitas yang didapat hanya satu buah buku, CD dan kartu anggota, yang kalau ditotal barangkali tidak sampai Rp 200 ribu. Kelebihan dari uang pendaftaran maupun harga jual produk yang tidak normal ini, seringkali dijadikan sebagai modus operandi untuk membayar bonus kepada mereka yang berhasil merekrut anggota baru.
Keempat, sistim bisnis yang ditawarkan adalah skema piramida yang tidak memungkinkan downline melewati upline. Akibatnya, posisi downline akan selalu terzalimi. Downline baru bisa menyusul upline kalau menyetor sejumlah uang untuk membeli peringkat, selain diminta untuk fokus pada perekrutan anggota baru.
Secara syariah, sistim money game ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa alasan. Pertama, mengandung riba. Ketika seseorang berinvestasi dan kemudian dijanjikan keuntungan pasti dengan prosentase berlipat dari nilai pokoknya, maka ini sudah masuk dalam kategori riba. Dan kita tahu bahwa riba hukumnya adalah haram. Ini berbeda dengan sistim bagi hasil dimana kesepakatan yang muncul adalah rasio bagi hasil, yang belum tentu memberikan keuntungan jika ternyata usahanya mengalami kerugian.
Namun demikian, kalau kita bicara tentang potensi bisnis, maka itu sah-sah saja secara syariah. Potensi bisnis yang bisa dikembangkan dan jaminan kepastian mendapat profit adalah dua hal yang berbeda. Tentu kalau potensi bisnis, itu adalah sesuatu yang belum pasti diraih kalau kita tidak mengusahakannya dengan baik. Hal ini secara syar’i, tidak dikategorikan sebagai riba.
Kedua, mengandung gharar atau ketidakpastian/ketidakjelasan yang tinggi. Gharar ini bisa dilihat dari sisi produknya, maupun dari sisi skema bisnisnya. Jika perekrutan anggota baru dihentikan hari ini, dan anggota yang sudah bergabung ternyata tidak bisa melanjutkan usaha atau mendapatkan keuntungan karena tidak adanya anggota baru yang direkrut, maka dipastikan bisnis tersebut adalah money game yang unsur gharar-nya tinggi. Selanjutnya yang ketiga, mengandung unsur kezaliman dan eksploitasi. Islam melarang kita untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil dan zalim.
Langkah antisipasi
Untuk mencegah agar kita tidak terjebak dalam money game, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, analisa terlebih dahulu secara jernih, apakah sistim bisnis yang ditawarkan ini mengandung unsur riba, gharar, dan hal-hal lain yang dilarang Islam atau tidak. Perhatikan pula akadnya, jelas atau tidak. Jangan mudah terpengaruh dengan tawaran keuntungan yang menggiurkan, sehingga melupakan aspek syar’i-nya.
Kedua, lihat bisnis tersebut secara rasional, masuk akal atau tidak. Jadilah pebisnis yang rasional dan logis, persis sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ketiga, perhatikan pula aspek regulasinya. Perusahaan yang menawarkan bisnis tersebut harus jelas kedudukannya secara hukum. Kita harus cek apakah mereka memiliki izin resmi, memiliki NPWP, NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat), dan hal-hal lain yang diatur oleh negara. Tujuannya, agar aman secara regulasi. Wallahu a’lam.