Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Ah, What A Beautiful Journey!

27 Mei 2024   16:10 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:10 216 1
Such a perfect afternoon, suatu hari, not long ago, just a few weeks ago, setibanya kami di Tbilisi, Georgia. Udara dinginnya memang lumayan mengagetkan, namun rasa rindu angin sepoi-sepoi di masa winter jauh lebih membuat bahagia. Rasanya ingin segera mengabadikan momen ini.

Lelah setelah perjalanan lebih dari 24 jam dari Indonesia, terbayar sudah di sudut kota yang sudah berdiri sejak abad pertengahan ini.

Kali ini memang bukan sekadar perjalanan yang 'jalan-jalan'. Bersama dengan rombongan kecil dari Jakarta, aku menjejakkan kaki di sini untuk berziarah, merenungi kembali iman, catatan batin, sambil menapaki sejarah Kekristenan yang kaya di tempat ini.

Belakangan Georgia, yang berbatasan darat dengan Rusia, lebih sering digambarkan sebagai negara yang tengah didera konflik dan instabilitas.

Padahal, negara ini menyimpan sejarah Kekristenan yang panjang dan kaya. Ini tercermin pada gereja-gereja tua, salib dan patung-patung orang suci yang bertebaran dimana-mana.

Ajaran Kristen sudah diterima di wilayah Georgia sejak abad pertama Masehi. Ini ditandai oleh perjalanan penginjilan Rasul Simon dan Andreas.

Gereja di Georgia bermula sebagai Gereja Antiokhia, lalu dengan berjalannya waktu, namanya berubah menjadi Gereja Ortodoks, atau lebih dikenal sebagai Gereja Georgia Apostolic Otosefalus Ortodoks.

Dalam sejarah panjang selama 2.000-an tahun ini, Georgia tentu saja mengalami pasang surut. Ini antara lain tercermin pada arca penjaga kota Tbilisi.

Patung Mother of Georgia (Kartvlis Deda) di gunung Sololaki menjadi simbol yang sempurna.

Tangan kirinya menggenggam mangkuk anggur, menyimbolkan keramahan bagi orang-orang yang datang dengan niat baik, sedangkan tangan kanannya menghunus pedang, bagi mereka yang datang dengan niat buruk.

Sebagai orang-orang yang datang dengan niat baik, kami tentu saja memanfaatkan kesempatan untuk menikmati anggur Georgia yang rasanya khas. Memang menjadi hobi personal untuk mencicipi anggur dalam setiap perjalanan saya.

Dengan postur tubuh yang rata-rata tampak kokoh kuat, penduduk kotanya sendiri tampak ramah. Yang unik, isu gender tidak terlihat jadi masalah di sini. Perempuan mengambil peran yang sama pentingnya dengan lelaki. Mungkin begitulah cara mereka bertahan selama lebih dari dua milenium.

Curchkela makanan khas Georgia yang berwarna-warni membuat perjalanan dan segala pengalaman serasa lebih lengkap. Seperti kata pepatah, act like a local, eat like a local.

Perjalanan ziarah berlanjut ke negeri tetangga Georgia, yaitu Armenia. Negara ini berbatasan juga dengan Turki di sebelah Timur, dan tidak memiliki akses ke lautan (land-locked). Posisi geografis Armenia menempatkan wilayah ini separuh di Eropa dan separuh di Asia.

Armenia juga memiliki sejarah Apostolik yang panjang dan kaya. Akar sejarah Kekristenan di Armenia bermula saat Rasul Bartolomeus dan Yudas Tadeus melakukan perjalanan penginjilan mereka pada abad pertama Masehi. Waktu itu, Armenia masih berbentuk kerajaan (331 SM sampai 428 M).

Menyusuri tapak-tapak sejarah Santo Bartolomeus memberi pengalaman spiritual tersendiri bagiku.

Gereja-gereja dan biara-biara tua yang indah dan karismatik, menjadi lanskap sejarah yang mengesankan.

Salah satunya adalah biara di kota Haghpat di Armenia bagian Utara, empat jam perjalanan dari Yerevan, ibukota Armenia. Biara ini masih menyimpan relik tua Santo Bartolomeus.

Ziarah menjadi semakin mengesankan saat mampir ke tempat pembuatan Lavash, roti tradisional Armenia. Adonan tanpa ragi ditipiskan, kemudian dipanggang dalam kompor batu yang dinyalakan dibawah lantai. Rasanya? Hmm.. yummy.. Lagi-lagi, my culinary adventure.

Armenia melepaskan diri dari Uni Soviet pada tahun 1991. Namun perjuangan sebagai negara merdeka rupanya tidak mudah. Konflik datang silih berganti. Belum lagi arus pengungsian dari wilayah-wilayah konflik di sekitarnya.

Namun belakangan, Bank Dunia mencatat Armenia mulai tumbuh, seiring stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Perekonomiannya menunjukkan daya tahan yang kuat.

Secara sosial, gereja-gereja di Armenia masih bergelut dengan masalah aborsi. Ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi para pemimpin gereja di sana.

Secara subyektif, aku merasa penduduk Yerevan tidak seramah penduduk Tbilisi. Mungkin ini observasi sekilas. Mungkin juga cerminan kehidupan Yerevan yang memang terlihat lebih keras.

Perjalanan ziarah ke Georgia dan Armenia ini sukses membuka mata batin spiritualku, membuat iman Katolikku menjadi lebih kokoh. Sungguh kesempatan untuk melakukan refleksi diri dan refleksi keruhanian yang luar biasa.

Selain itu, perjalanan ini juga membuka mata akan sisi keseharian dua negara ini yang sering luput dari pemberitaan.

Sejarah yang kaya, peninggalan-peninggalan sejarah yang terawat baik, dan menjadi bagian dari warisan dunia UNESCO serta keramahtamahan penduduk Tbilisi maupun Yerevan, menjadi kenangan tersendiri. Tentu saja juga makanan tradisional maupun anggur setempat yang khas dengan rasa yang berbeda.

Pada akhirnya, selalu saja setiap akhir perjalanan, ku mengucap, I shall return.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun