Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Problem Peng-Aku-An dan Hasrat untuk Menaklukan (Meruntuhkan Dominasi Persepsi Menuju Kecenderungan Akan Kebaikan dan Kebenaran)

20 Februari 2014   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 83 0
Oleh: Irdia Bushori

Sajak Atas Nama

Ada yang atas nama Tuhan melecehkan Tuhan

Ada yang atas nama Negara merampok Negara

Ada yang atas nama rakyat menindas rakyat

Ada yang atas nama kemanusiaan memangsa manusia

Ada yang atas nama keadilan meruntuhkan keadilan

Ada yang atas nama persatuan merusak persatuan

Ada yang atas nama perdamaian mengusik kedamaian

Ada yang atas nama kemerdekaan memasung kemerdekaan

Maka…

Atas nama apa saja

Dan siapa saja

Kirimlah laknat kalian

Atau…

Atas namaku

Perangilah mereka

Dengan

Kasih sayang

(KH. Mustofa Bishri)

“Manusia adalah hewan yang berpikir”, begitu ungkapan yang tertuang dalam pemahaman dasar definisi manusia dalam ilmu logika/mantik. paling tidak ada tiga kata penting dalam definisi tersebut, yaitu: manusia, hewan dan berfikir. Apa yang membuat manusia disebut sebagai hewan?. Ada beberapa hal yang membuat manusia disebut sebagai hewan, diantaranya adalah: kesamaan pada bentuk fisik dan kepemilikan akan insting dasar. Pertama tentang kesamaan manusia dan hewan dalam bentuk fisik, hal ini jelas terlihat dengan hewan memiliki tangan, kaki, alat kelamin, hidung, telinga, mulut dan mata yang manusia juga miliki, dengan panca indera tersebut manusia dan hewan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, berkoloni/berkelompok, berkembang biak dan lain sebagainya.Kedua. Kepemilikan akan insting dasar.

Sigmud Freud mengungkapkan bahwa kepemilikan insting dasar meliputi agresi dan seks, agresi adalah kecenderungan untuk melakukan konfrontasi dengan jalan keributan, atau dalam bahasa sederhana kita kenal sebagai hasrat untuk menaklukan yang lain. Sebagai contoh seekor harimau dengan kepemilikan insting dasarnya akan sangat menjaga wilayah kekuasaan yang dimiliki dari pengaruh harimau lainnya, jika wilayah kekuasaanya dilewati oleh harimau lain maka keributan akan terjadi sampai jatuh korban, jika ia mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya tersebut maka ia akan tetap bisa melanjutkan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti biasa, tapi jika tidak maka wilayah kekuasaan tersebut akan menjadi milik harimau lain.

Insting dasar berikutnya adalah seks, pemenuhan kebutuhan dasar untuk berkembang biak menjadi satu-satunya faktor utama hewan melakukan hubungan kelamin, pola dan tingkah laku kemudian menjadi pembeda antara satu jenis hewan dengan hewan lainnya pada beberapa kasus,sebagai contoh: hewan mamalia seperti kudanil akan bertaruh nyawa dengan kudanil jantan lainnya demi memperebutkan kudanil betina, tidak sampai disitu sang kudanil jantan pemenang duel harus kembali berduel dengan kudanil betina sampai kudanil betina mampu dikalahkan. Menjadi sedikit berbeda pola dan tingkah laku kepemilikikan insting dasar tersebut dengan burung merak, burung merak jantan akan memamerkan indah warna dan variasi ekornya untuk menarik perhatian sang merak betina tanpa harus terjadi pertumpahan darah.

Sebelum Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya mengungkapkan tentang kepemilikan insting dasar, Thomas Hobbes sudah memperkenalkan tentang homo homini lupus yang artinya(manusiaadalah serigala bagi manusia lainnya).Hal tersebut mempertegas kesamaan manusia bukan hanya pada bentuk fisik tetapi juga pada kepemilikan insting dasar. Insting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jalan konfrontasi, penaklukkan, pemaksaan, pertumpahan darah demi merebut atau mempertahankan wilayah kekuasaan, serta mendapatkan posisi puncak rantai makanan (status sosial). Tak heran jika sering terjadi pertikaian maupun perselisihan antara individu dengan individu lainnya, kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya karena menurut Friedrich Nietsczhe kehendak untuk berkuasa menjadi alasan dominan bagi seseorang untuk memperjelas keberadaanyad an menyalurkan kepentingannya, dengan berkuasa atas yang lain seorang manusia dapat terhindar dari predikat yang dikuasai (lemah), dengan berkuasa maka segala kemudahan akan mengikuti kemauan sang penguasa, dengan berkuasa superioritas akan tercipta dan menjadi kemewahan tersendiri dalam lingkup kehidupan serta aktifitas sosial



Manusia Adalah Hewan Yang Berpikir (Sebuah Paradoks Yang Berujung Penghakiman)

Manusia dianugerahi sebuah potensi lahiriah yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, yaitu akal dan pikiran, dengan akal dan pikiran manusia menjadi berbeda dengan hewan, manusia mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar mana dan mana yang salah, mana yang indah dan mana yang tidak indah, dengan akal dan pikiran manusia mampu menciptakan peradaban dan kebudayaan yang dengan hal tersebut manusia senantiasa berlomba-lomba untuk menjadi pribadi yang bermanfaat dan berguna bagi manusia lainnya.

Akal inilah yang kemudian menakar setiap tindak tanduk kita dalam pergumulan, akal inilah yang melahirkan berjuta pemikiryang menggagas ide, akal ini pula yang menghantarkan kebenaran menjadi ketidakbenaran maupun sebaliknya, terdapat perbedaan pendapat mengenai akaldan jiwa, pendapat pertama menyatakan bahwa akal berdiri sendiri, pendapat yang kedua menyatakan jiwapun berdiri sendiri, pendapat yang ketiga menyatakan bahwa akal dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan secara fungsi namun dapat dibedakan secara peran.

Pendapat yang ketiga memaparkan bahwa akal berfungsi sebagai pengontrol pikiran, dan jiwa adalah sumbu utamanya. Artinya ketika jiwa terganggu dengan sebuah fenomena maka akal akan berperan sesuai fungsinya. Orang yang mengalami gangguan jiwa akan berperan sesuai dengan apa yang ada dalam benak pikirannya, menjadi tidak terkontrol ketika peran yang terlihat dianggap sebagai kesepakatan yang keluar dari pemahaman kita secara umum. Contoh sederhana orang yang mengalami depresi berat karena ditinggal mati oleh istrinya akan menjadi berbeda dari sebelumnya, yang hal itu keluar dari perilaku kebiasaan dirinya.

Jiwa manusia adalah integrasi antara jiwa tumbuhan dan jiwa binatang, memiliki jiwa tumbuhan karena manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang, yang pada fase peralihan dari remaja kedewasa akan mengupayakan segala hal untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam arti sederhana manusia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan proses yang dialaminya dan hal tersebut sama dengan tumbuhan. Jiwa binatang, manusia sebagaimana insting dasarnya memiliki kemauan, keinginan, pemenuhan akan kebutuhan, kehendak untuk menaklukkan dan lain sebagainya, hal ini sebagaimana yang telah penulis paparkan di awal.

Pada realitas kehidupan yang memiliki konsekuensi logis atas berbagai pilihan-pilihan, kemampuan memaksimalkan potensi jiwa yang memiliki kecenderungan pada kebaikan dan kebenaran saja yang pada akhirnya akan menjadi peta panduan perjalanan manusia untuk sampai pada tujuan mulianya, tujuan untuk menjadi manusia seutuhnya, insan kamil dan khalifah dimuka bumi, tujuan yang diawali dengan something given (sesuatu yang diberikan) oleh Tuhan berupa kecenderungan pada kebaikan dan kebenaran adalah kodrat yang pada seleksinya disadari atau tidak sedikit demi sedikit tergerus oleh jiwa binatang, jiwa yang senantiasa mengontrol pikiran hanya pada upaya untuk menjatuhkan orang lain, melakukan penghakiman secara membabi buta dan kegilaan pada pengakuan akan eksistensi ditengah-tengah komunitas atau masyarakat.

Anasir tersebut yang tak jarang diakomodasi sendiri oleh jiwa kita, menerima dan menjadikan doktrin kekuasaan sebagai satu-satunya jalan untuk mendapat peng-aku-an dari yang lain. Menjadi paradoks ketika hakikat kebenaran justru disalahartikan atas ketidakmampuan akal dan pikiran mengontrol jiwa kebinatangan yang penuh dengan kebencian, penaklukkan, perselisihan, pertikaian dan pertumpahan darah.



Mengembalikan Visi (Memilah dan Memilih Mana Kebenaran dan Mana Pembenaran)

Opini yang lahir karena persepsi merupakan refleksi atas keinginan manusia mengoptimalkan panca indera yang dimiliki,mengerahkan nalar dengan melakukan observasi dan verifikasi menjadi mutlak diperlukan agar opini yang terbangun tidak mentah, parsial ataupun subjektif.

Opini memang renyah, serenyah kerupuk kulit teman setia gado-gado, namun akan semakin renyah ketika sebelumnya terlebih dahulu kita memilah dan memilih, kita hanya berupaya memilih yang paling renyah diantara yang renyah, persoalan upaya optimal yang telah kita lakukan untuk mencari yang terenyah namun yang didapat tidak begitu renyah adalah kuasa Yang Maha Memberikan Kerenyahan.

Sama halnya dengan setiap kita berhakmenjadi benar, bahkan dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebenaran, persoalan apakah benar menurut kita adalah benar menurut Tuhan, adalah milik-Nya, karena sekuat apapun nalar menjangkau kebenaran, tetap kebenaran mutlak hanya milik-Nya, kita hanya berusaha untuk mengeliminasi gejala-gejala buruk yang akan menjauhkan kita dari kebenaran, menjadi benar dengan mengkristalkan potensi lahiriah menjadi ucap dan sikap atau tindakan nampaknya menjadi acuan metode yang paling sederhana untuk menilai apakah benar yang menjadi persepsi atas fenomena yang terjadi? Jika tidak maka akan menjadi justifikasi yangsangat menzolimi ketika persepsi yang berujung pada opini tersebut bukan keluar dari jiwa tenang yang selalu mengupayakan kesesuaian antara kata dan perbuatan. Oleh karena itu segala upaya hendaknya selalu diniatkan untuk perbaikan dan kebaikan, dan untuk kebenaran bukan pembenaran.

Semoga Allah SWT selalu membimbing kitadalam menjalani hidup yang fana ini, menjaga setiap potensi lahiriah dan memaksimalkannya pada kerja-kerja kemanusiaan serta menjadikan kita manusia seutuhnya guna mengabdikan diri pada kebenaran dan keridhoan. Amin Ya Robbal Alamin.





Penulis adalah Ketua HMI KOMFUF Cab. Ciputat Periode 2009-2010, Pendiri HMI KOMFISIP Cabang Ciputat, Pengurus HMI Cabang Ciputat Bidang Pembinaan Anggota Periode 2011-2012. LSM KRITIS 2014, Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PB HMI 2013-2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun