Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Bagaimana solusi keluar dari zona Jompo sebelum waktunya (Seri Diskusi Mblarah #14)

19 Desember 2024   15:09 Diperbarui: 19 Desember 2024   15:09 39 3
Bagaimana solusi keluar dari zona Jompo sebelum waktunya
(Seri Diskusi Mblarah #14)
Ditulis oleh : eko irawan

"Mengatur waktu agar tetap produktif dan efisien, ada daya guna dan tetap maksimal, ada hasil guna."

Kurang lebih itu jawaban klise untuk para generasi jompo, para pekerja dari usia muda yang tiap hari menempuh puluhan km lebih dari rumah ke tempat kerja. Kok klise ? Bagaimana efektif menghasilkan sesuatu,  jika harus naik motor atau menyetir sendiri dengan mobil. Mengendarai kendaraan sendiri itu harus fokus pada keselamatan diri dan orang lain. Saya sendiri tak bisa sambil nulis puisi atau bikin artikel saat mengendarai motor dari rumah ke tempat kerja.

Saya pribadi terhitung Sejak tahun 1998 Sampai sekarang, tiap hari Pulang Pergi, jika tanpa mampir kelokasi lain, maka saya menempuh jarak kurang lebih 60 km. Dengan kondisi kemacetan jalan, cuaca hari itu dan kondisi motor, rata rata butuh 1 jam perjalanan ke Kantor, dan 1 jam perjalanan pulang. Saya dikritik kok saat bermotor menempuh jarak 30 km sebenarnya hanya butuh waktu 30 menit saja, tapi kok saya menempuhnya 1 jam, kadang bisa lebih. Mblarah memang yang mengkritik demikian. Mereka tak mikir, kondisi fisik dengan kesehatan tubuhnya bagaimana. Motor yang dipakai jenis apa, produksi keluaran tahun berapa. Terus kondisi jalan bagaimana. Jika ngebut, apa tak perduli lingkungan sekitar, khususnya keselamatan diri dan orang lain dijalan.

Belum lagi kondisi tubuh setelah melakukan perjalanan bermotor apakah langsung kembali prima dan siap melakukan aktivitas secara maksimal. Tentu tidak. Jadi jika itung itungan, maka saya juga termasuk generasi yang jompo belum waktunya. Banyak waktu terbuang hanya untuk menempuh perjalanan rutin pulang pergi dari rumah ke tempat kerja. Ya, seperti itulah saya, bagaimana dengan Anda ? Padahal saya berdomisili di Malang Raya, bukan di jakarta, bandung, Semarang atau Surabaya. Malang Raya juga mulai tumbuh jadi kota yang lebih maju. Akibatnya harga properti juga cenderung naik. Harga rumah dalam kota semakin tidak terjangkau, akibatnya harus tinggal jauh diluar kota. Kerennya di kota satelit.

Bagaimana solusi keluar dari zona jompo sebelum waktunya. yuk kita bahas hal ini dalam seri diskusi Mblarah. Selamat membaca semoga menginspirasi.

Jarak ketika kerja harus jauh.

Diskusi Mblarah kali ini ngumpul dengan para bapak bapak pekerja yang harus kerja jauh keluar kota. Seperti biasa sambil ngopi dan melepas lelah, berdiskusi ngalor ngidul merasa senasib dipaksa jadi generasi jompo sebelum waktunya. Saya sendiri seperti yang saya tulis di atas.

Yang lain, pertama adalah seorang sopir travel dengan rute utama malang Juanda. Kadang disewa orang orang keluar kota untuk tujuan rekreasi saat hari libur dan disewa untuk perjalanan kepentingan keluarga atau hajat lainnya. Keren memang, tiap hari bermobil. Tapi....

Teman ke dua, bermobil juga tapi bukan mobil pribadi. Dia harus stand by setiap saat ada yang menghubungi, tapi saat tugas harus ngebut dijalanan. Mobilnya pakai sirine. Maklum, itu mobil ambulance.

Teman ketiga, tukang bangunan. Tiap hari dia melakukan perjalanan pakai sepeda motor hampir 60 km Pulang Pergi seperti yang saya lakukan. Kok Ndak cari job terdekat, ternyata kita tinggal di desa, ada peluang tapi gajinya minim. Jika mau lancar job di bangunan, ya harus gabung berbondong bondong ke kota dimana pembangunan lagi gencar. Sementara di desa, di wilayah kota satelit pinggiran.....

Teman keempat, seorang scurity. Berangkat subuh. pulang ke rumah nunggu 3 hari kerja, libur satu hari esoknya terjadwal seperti itu lagi. Dia kerja ke kota Surabaya, jadi harus naik kereta api saat berangkat dari malang.

Teman kelima, seorang sales rokok yang harus melakukan perjalanan promosi dan kirim dagangan hingga jauh keluar kota.

Kurang lebih seperti itulah kelompok diskusi Mblarah kali ini. Semua bermasalah dengan jarak ketika kerja harus jauh. Dipaksa tak bisa memilih dan terpaksa harus bertahan. Andai usia sudah diatas 30 tahun, hendak resign pertimbangannya, apakah ada lowongan kerja terdekat yang menjamin kebutuhan hidup diri dan keluarganya.

Yang idealis, pasti memilih resign dengan alasan jarak, tapi resikonya nganggur. Teman yang lain terpaksa jadi ojek online. Yang pandai teori dan banyak omong, pasti koar koar. Tapi ujungnya, rokok aja nebeng. Lha nganggur tidak ada aktivitas yang memberikannya penghasilan. Tentu yang seperti ini tidak layak dicontoh karena hanya pandai membuat alasan, tapi tanggung jawab membahagiakan diri sendiri saja pakai alasan.

Terpaksa jauh jadi pilihan karena saat cari kerja dan dapatnya ditempat jauh, maka bagaimanapun juga harus ditempuh, wajib dijalani. Mereka yang resign pada akhirnya kesulitan cari kerja lagi yang layak. Apalagi saat umur semakin bertambah, bukan makin gampang diterima kerja ditempat baru, tapi pasti lebih sulit. Apalagi usia sudah 45 tahun, tak ada instansi mau menerima kerja. Seperti yang umum kita ketahui, salah satu persyaratan kerja, selain umur, soal status, ternyata banyak yang mencantumkan berpenampilan menarik dan siap bekerja dalam tekanan. Terus bagaimana mereka yang asli punya fisik tidak menarik, pasti ditolak lamaran kerjanya. Terus yang demikian, mau kerja apa ? Jadi sekalipun jarak jauh, kesimpulannya tetap bertahan walau akhirnya dipaksa jompo sebelum waktunya.

Karena Harga properti naik terus

Bertempat tinggal di kota satelit, tentu sebuah pilihan realistis yang mau tidak mau wajib mau tanpa bisa menolak. Idealnya kerja dan rumah itu tidak terlalu jauh, sehingga perjalanan ke tempat kerja tidak menghabiskan waktu. Ternyata ini jadi cerita kota satelit yang menarik untuk dibahas kenapa dan bagaimana solusinya.

Namun kenyataannya, untuk membeli rumah terdekat apakah sebanding dengan penghasilan kita sendiri ? Apakah mampu ? Iya, kalau kita itu anak pejabat, anak orang kaya. Pasti dapat support dari ortu, warisannya berlimpah. Coba bayangkan kalau kita itu anak pensiunan pegawai rendahan. Ortu kita pensiun hanya dapat pesangon 3x gaji. Atau ortu kita tukang tambal ban. Support itu tidak ada. Terus dimana kita akan tinggal. Iya kalau bujang, bisa nunut ortu. Jika yang sudah berkeluarga, apa hendak nunut terus ? Apa pantas protes pada ortu sendiri ? Minta paksa belikan rumah ? Sebagai anak kita harus tahu diri, mampu melihat kondisi keuangan ortu. Mereka apa jika butuh uang, tinggal gesek langsung cair 500 juta ? Mimpi hidup enak ala drama korea atau sinetron TV Boleh saja, tapi menuntut ortu yang hari itu hendak kasih makan anak saja harus rombeng baju bekas ke pasar atau gadaikan magic comp.

Pilihan tinggal jauh, tentu jadi pilihan realistik. Sebagai orang kecil, tentu berharap gaji yang kita terima bisa sama nilainya dengan TKW yang kerja di Saudi, jepang atau Taiwan. Tapi UMR tertinggi di negeri ini berapa ? Harga rumah termurah berapa? Yang murah tentu jauh terpencil. Yang dekat juga harus beli dengan mahal.

Jadi sekalipun jadi jompo sebelum waktunya karena jarak, mau tidak mau tetap harus mau. Bersyukur akan jadi cara cerdas, dari pada protes dan terus menuntut hingga lupa diri, lupa waktu dan bukan sibuk meningkatkan kualitas diri agar lebih baik tapi sibuk jadi pengamat yang ahli menghakimi dan menilai orang lain tapi lupa cara membahagiakan diri sendiri tidak tahu.

Solusi Keluar dari Zona Jompo belum waktunya

Kita yang pandai omong dan ahli bikin alasan, siapa akan berani bayar mahal atas keahlian tersebut ? Keahlian yang dibutuhkan orang banyak dan orang lain mm aku bayar mahal keahlian kita adalah Asset wajib yang harus dimiliki. Itulah solusi utama keluar dari zona Jompo belum waktunya. Tak perlu iri dengki dengan yang lain, mari kita kenali diri kita siapa, mau apa, bisa apa dan kita selama ini berteman akrab dengan siapa.

Lari dari kenyataan dengan membuat alasan yang tujuannya bela diri tapi sebenarnya menipu diri sendiri atas segala ketidakmampuan kita hingga jadi jompo sebelum waktunya adalah jawaban paling bodoh. Apalagi keahliannya menyalahkan pihak lain dan sibuk mengkoreksi pribadi orang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan diri kita sendiri. Apakah itu pintar ?

Kesimpulan dari diskusi Mblarah kita kali ini adalah mari koreksi diri masing masing. Tak perlu tipu diri dengan alasan lelah karena merasa jompo dan uzur. Jujur waktu produktif kita berkarya jadi sirna karena pulang pergi yang melelahkan. Sudah kerja siang malam, gajinya masih kalah dengan tukang parkir liar. Mereka bisa makan enak dan hampir tiap malam ngumpul di cafe sambil karaoke dan joget riang gembira.

Pasca koreksi, yang bisa sendiri kerjakan. Jangan nunggu besok dan besok. Yang tidak bisa diprogres sendirian, bangun sinergi dengan teman terdekat yang satu frekuensi. Tak perlu iri dengki apalagi membangun konflik yang menghabiskan energi. Dan jangan lupa bersyukur dan berdoa. Rejeki dari Allah pasti tidak akan salah alamat. Dengan sinergi, sekalipun Mblarah tetap jadi solusi. Minimal akan mampu mencerahkan dan menyegarkan hingga bangkit pola pikir positif yang bermanfaat sehingga akan hadir petunjuk dari Tuhan Semesta Alam. Semoga tulisan ini jadi pembuka kesadaran kita semua. Selamat berjuang saudara saudaraku yang sudah mau baca artikel ini. Mohon maaf jika ada kata kalimat yang kurang berkenan. Jika dianggap hal ini terlalu gokil atau ngawur, tentu dengan cara Mblarah ini mari jadi diri sendiri yang sebenarnya sangat ilmiah. Mari kita eksplore diri masing masing. Bagaimana menurut Anda?


De Huize Sustaination, 18 Desember 2024
Di Tulis untuk Seri Diskusi Mblarah 14

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun