Mohon tunggu...
KOMENTAR
Roman Pilihan

Roman Jendela

18 Juli 2023   11:17 Diperbarui: 18 Juli 2023   11:21 392 1
Roman Jendela
Ditulis oleh : Eko Irawan


Hanya hiasan. Itu pernyataanmu. Kulihat engkau hanya bingkai jendela bekas. Yang nangkring ditembok bata. Dulu pernah sejajar. Tapi sekarang salah satunya miring.

Terik mentari menyapamu. Dingin malam memelukmu. Dari jauh Engkau seperti jendela nyata. Pelahan kayumu mulai lapuk. Catmu mulai usang. Dan kacamu mulai buram.

Dari bongkaran yang di buang. Jika tak ditolong, jendela ini sudah jadi sampah. Terbuang. Tak berguna lagi. Andai mampu bicara, dia akan berterima kasih.

Siapa bilang sepasang jendela ini tak punya kisah. Adalah kayu. Pernah jadi pohon rindang. Yang menaungi mereka yang berteduh. Hutan kecil itu dulu tempat pohon berkumpul. Bisa bercanda. Menampung burung burung liar.

Tugas pohon tentu menjaga sumber mata air. Kampung dilereng bukit itu dijaga agar tak banjir. Membantu udara agar tetap bersahabat. Gerumbulan hutan itu juga menarik untuk wisata. Merekam mereka yang kasmaran. Muda mudi yang jatuh cinta. Berjanji untuk esok yang bahagia bersama.

Pohon bukan benda mati. Itu tumbuhan. Tumbuh dari biji. Yang ditanam semesta. Untuk keseimbangan ekosistem bumi. Tanpa ditebang, hutan kecil ini terus menyumbang manfaat. Berbagi peran sebagai makhluk penghuni semesta.

Terima kasih pohon terucap pada petugas kehutanan. Yang menjaga agar pohon pohon ini tetap tumbuh alami. Tetap berfungsi. Tetap berperan. Sekali waktu ada warga desa bermohon ijin pada petugas. Yang butuh kayu kayu, entah kayu bakar atau membangun mushola atau rumah bagi mereka yang tak mampu. Pohonpun ditebang pilih sesuai saran petugas yang diberi wewenang dan tanggung jawab.

Namun entah suatu hari. Pembalakan liar itu terjadi. Fungsi hutan memang untuk kesejahteraan rakyat. Tapi bukan hutannya yang digunduli secara ngawur dan dicuri disaat sang petugas tengah tidak sedang bertugas. Hanya demi keuntungan sepihak, kelestarian lingkungan jadi taruhan. Tak lama desa dibawah hutan itu, jadi langganan banjir. Bencana datang menambah permasalahan yang semakin pelik. Siapa yang salah?

Malam itu pohon pohon ini dikirim ke kota, ke sebuah gudang tersembunyi untuk dipotong dan dijadikan balok kayu berbagai ukuran yang siap guna untuk kepentingan pembangunan. Dikirimlah ketoko bangunan dan akhirnya dijadikan pigura untuk jendela oleh sang tukang kayu yang mengolahnya.

Bertemulah dengan paku, kaca dan cat.  Jadilah bingkai jendela yang dipasang pada sebuah rumah. Jadilah jendela ini penghubung untuk melihat, antara penghuni yang tinggal didalam, dan tamu yang datang dari luar. Andai jendela punya memori, tentu akan banyak cerita akan menyapa. Tentang hidup dan mati. Tentang damai dan perselisihan.

Sepeninggal bapak tua itu, rumah dimana jendela ini berada mulai disulut perselisihan. Ada tragedi rebutan waris. Sungguh tragis, kenapa tak mampu duduk bersama dengan baik baik lalu bicara sambil ngopi. Kenapa tak saling jaga silaturahmi. Toh mereka itu bersaudara. Satu kandung lagi. Untuk apa mereka ingin berebut kuasa hak atas rumah ini.

Dan pada akhirnya bingkai pigura itu terbuang ditempat sampah. Rumah itu dirobohkan setelah dijual pemilik lama kepada pemilik baru. Rupanya pemilik baru tidak suka model rumah termasuk pigura jendela rumah itu. Beruntung ada yang menolong memanfaatkan jendela itu, sekalipun  jendela ini tidak punya manfaat sebagai jendela. Fungsi jendela yang sebenarnya untuk melihat, kini buntu. Tertutup. Didalam tak bisa melihat luar. Yang diluar tak bisa melihat ke dalam. Hanya aksesoris, seolah ada jendela tapi tak berfungsi.

Entah sudah berapa tahun jendela ini nangkring disana. Lalui kisah kisah yang terus berbeda. Antara ramai dan sepi, disana banyak sepinya. Membiarkan jendela dalam renungan. Sebuah balada tranformasi dari waktu ke waktu. Perubahan terus mengikuti kisah. Jadi bukti, bahwa hidup itu bergerak. Dinamis. Dan teruslah menyesuaikan diri dengan takdir terbaik. Jika jendela ini adalah manusia, maka dia akan protes, tak terima kejadian yang terjadi. Tapi ini adalah jendela, yang harus tetap menerima apapun sejak dia adalah sebuah biji yang tumbuh dihutan, hingga akhirnya jadi jendela yang tak berfungsi Jendela.

Sekarang ijinkan menyapa. Siapapun yang lewat. Walau tak dianggap. Tak dilihat. Jendela ini akan tetap jalani takdir semesta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun