Suatu ketika Bongsor mendatangi pamannya yang tinggal di kota. Mau pinjam uang, katanya, untuk bisnis ikan lele dengan kawannya. Ini bisnis bagus dan pasti sukses, begitu jualannya kepada sang paman.
Sang paman ternyata percaya penuh pada ponakannya itu, dan meminjamkan beberapa juta rupiah. Bongsor bersemangat sekali, dan berjanji akan segera mengembalikannya dalam 3 bulan.
Dasar Bongsor, duit sebanyak itu tidak semuanya dipakai bisnis lele, sebagian dihambur-hamburkan bersama kawan-kawannya satu ormas. Dia juga kurang tekun, dan alhasil rugilah itu bisnis lele. Ketika tiba waktunya mengembalikan uang, sang paman datang menagih.
Ketika Bongsor minta maaf karena tidak sanggup melunasi utangnya, sang paman kecewa sekali.
"Bongsor, aku kecewa sekali. Kamu telah berjanji akan menggunakan uangku dengan baik dan mengembalikannya tepat waktu, dan aku percaya sekali padamu. Ini di saat aku membutuhkannya, kamu bilang tak sanggup. Kamu ingkar janji!", kata sang paman.
Sang paman geram, tapi mau bagaimana lagi, ponakannya sendiri kan? Jadi terpaksalah direlakan uangnya, sukur-sukur kalau si Bongsor masih ingat kewajibannya itu nanti entah berapa tahun lagi baru bisa mengembalikannya.
Kemudian pada saat musim kampanye, ramailah kampung tersebut dengan kedatangan para caleg, yang mengumbar janji ini dan itu. Salah satu kandidat ternyata saudara jauh Bongsor dari istrinya, menjanjikan untuk membantu masayarakat kampung menjebolkan pos anggaran pemerintah untuk pengaspalan jalan seluruh kampung.
Si Bongsor juga mendengar janji kandidat tersebut, tapi dia pesimis itu bakal berhasil, karena dia tahu orang itu walau baik tapi kurang lincah, dan hal itu juga dibicarakannya dengan istrinya, yang rupanya kemudian sampai juga ke telinga si kandidat.
Si Bongsor lebih tertarik kepada caleg lain, yang adalah tetua ormasnya di kota. Dia menjanjikan dana 1 miliar rupiah untuk proyek-proyek pembangunan kampung, dan Bongsor sudah membayangkan dia bakal ikutan mengelola duit tersebut dan ikut kecipratan untungnya.
Sayangnya, jagoannya Bongsor kalah, malah saudara jauh istrinya itu yang menang.
Ya sudahlah, pikir Bongsor, karena dia yang menang, paling tidak jalan depan rumahku yang sekarang masih batu-batu saja bakal jadi aspal licin. Dan Bongsor pun menunggu-nunggu kapan pengaspalan jalan akan dimulai.
Bongsor tidak tahu, rupanya sang aleg terpilih gagal mengarahkan pos anggaran perbaikan jalan tahun ini ke kampung itu karena masalah prioritas, yang bisa diterima semua pihak, dan baru dapat jatah dua tahun lagi. Merasa tak enak dengan konstituennya, sebagai kompensasi, sang aleg berusaha mencarikan donatur untuk mendanai perbaikan sekolah SD dan masjid di kampung tersebut, dan dia berhasil. Bangunan sekolah SD diperbesar dan diperluas, demikian pula masjid kampung menjadi lebih megah dan indah. Sebagian konstituen kemudian bisa menerima kompensasi tersebut, dan mengucapkan terima kasih mereka.
Namun Bongsor, yang sudah mengkhayalkan jalan aspal licin depan rumahnya, bersama kawan-kawan seormas protes keras kepada sang aleg, menagih janji kampanye.
"Bapak berjanji dalam kampanye untuk pembangunan jalan aspal, sekarang kan Bapak sudah menang, jadi mana realisasinya? Jangan bohongi kami!", demikian tuntut Bongsor dan kawan-kawan seormas.
Jawaban sang aleg datar-datar saja, namun tak kalah garang.
"Hei, kemarin kamu katanya tak percaya dengan janji kampanyeku, tak pula memilihku, malah memilih lawanku. Kenapa sekarang kamu yang paling keras nagih-nagih janjiku, bilang kecewa segala, bilang merasa dibohongi? Jangan mengada-ada!"
Dan si Bongsor pun terdiam...