Dengan posisi sosial itu maka esensi dari teater selain sebagai ekspresi seni juga sebagai penyampai pesan terhadap realitas sosial yang timbul.
Apalagi buat kita yang hidup di zaman di mana aspirasi menjadi barang yang menakutkan bagi kekuasaan. Seni entah itu teater, puisi atau yang lain bisa menjadi semacam ekspresi tak langsung, aspirasi atau kritik yang dibalut dalam pemanggungan seni.
Tapi semakin ke sini di mana kebudayaan masyarakat semakin menuju hanya pada satu titik, yaitu kesejahteraan. Maka seni teater mau tidak mau harus ikut tunduk pada hukum komersil itu tadi. Dinamika komersial itu kemudian menyeleksi mana teater yang boleh hidup selaras dengan kriteria komersial diangkut ke gedung-gedung pertunjukan dan mana yang harus mati entah dikubur masa silam atau diangkut truk kekuasaan ke lorong penjara.
Pilihan hanya dua, ikut arus standar komersial atau terbuang.
Pelaku seni teater lalu terfokus pada latihan mengasah estetika, mengasah disiplin dalam takaran produktivitas, membangun branding dengan tujuan agar relevan di panggung-panggung besar kesenian.
Lalu apa kritik dan ekspresi realita sosial masih mungkin tumbuh di sana? Ya mungkin saja, tapi kepada siapa dia diperdengarkan, bukan kepada yang membutuhkan pembelaan atau pencerahan, tapi hanya kepada yang butuh hiburan.
Saya tidak sedang menyalahkan pelaku seni itu sendiri, karena kembali di awal teater adalah cermin sosial dari masyarakat. Maka bila teater tidak dapat mempertahankan hidupnya di tengah-tengah masyarakat, tidak dapat dipanggungkan di sawah kering selepas panen, di sela-sela meja penjemuran ikan kampung nelayan. Sebabnya mungkin bukan hanya represifnya kekuasaan.
Kota, 2022