Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Membandingkan Dulu dan Kini, Kemajuan ataukah Kemunduran Dunia Pendidikan?

16 April 2013   17:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:06 756 4

Dulu anggaran pendidikan tak dipatok prosentasenya. Tapi Ebtanas selalu lancar dan tepat waktu sesuai jadwal. Benar-benar nasional sampai sekolah Inpres di pelosok pun bersamaan pelaksanaannya. Kini, amanah Undang-Undang Dasar, harus sekurang-kurangnya 20% dari APBN dialokasikan untuk anggaran pendidikan Tapi pencetakan soal UN terpaksa mundur hanya karena anggaran terlanbat cair. Dana telat turunnya, gara-gara DPR masih membintangi anggaran  dan telat mencabut bintangnya.

Dulu infrastruktur jalan jelek, kendaraan roda empat masih tergolong barang mewah, tak semua sekolah punya inventaris mobil. Dulu alat komunikasi yang ada cuma telepon fixede yang tidak digital dan kalau mau menelpon angkanya diputar dulu. Itupun tak semua sekolah dan daerah terjangkau saluran telepon. Tapi tak pernah terjadi soal terlambat sampai di sekolah atau distribusi soal terkendala teknis. Kini moda  transportasi udara pun bukan barang mewah lagi, ponsel sudah gadget sejuta ummat, bahkan pesuruh sekolah pun punya. Sayangnya, 11 propinsi terpaksa menunda UN karena soal belum bisa didistribusi.

Dulu soal-soal diketik dengan mesin tik manual, komputer masih barang mewah dan hanya sekolah-sekolah kota besar yang punya di lab mereka. Dulu soal-soal diketik di kertas sheet lalu digandakan dengan mesin stensil. Tapi tak pernah ada cerita sekolah kekurangan berkas soal dan lembar jawaban Ebtanas. Kini soal diketik dengan komputer dan digandakan dengan mesin canggih. Lembar jawaban terbuat dari kertas komputerisasi dilengkapi barcode pencegah kecurangan. Sayangnya banyak sekolah – termasuk sekolah di kota bukan pelosok – terpaksa molor berjam-jam jadwal UN-nya karena amplop soal dan lembar jawaban isinya tak sesuai jumlah siswa.

Dulu Ebtanas soal-soalnya disusun bersama para guru mata pelajaran. Masing-masing sekolah mengirim 1 guru ke tingkat Kabupaten/Kota, untuk diminta kontribusinya menyusun kisi-kisi materi Ebtanas dan menyetor soal untuk bank soal. Dari Kabupaten/Kota dinaikkan ke tingkat Karesidenan – wilayah administrasi pembantu Gubernur – lalu naik lagi ke tingkat Propinsi. Tampaknya ribet, tapi guru tak perlu risau dan galau, cemas berlebihan siswanya bakal tak mampu mengerjakan soal yang sulit atau materinya belum diajarkan di sekolah mereka. Kini naskah soa UN disusun secara terpusat,  berskala nasional. Tapi guru dan siswa senewen, dagdigdug tak karuan, seolah menanti vonis hakim, bisakah mereka mengerjakan soal-soal UN.

Dulu soal dicetak dan digandakan dengan cara sederhana di tingkat sub rayon. Semua sekolah terlibat, dicetak bersama oleh tim antar sekolah, digandakan bersama, dihitung bersama, didistribusikan bersama dan dijaga kerahasiaannya bersama. Tak perlu ada pengerahan polisi untuk mengawal soal apalagi angkatan udara untuk mendistribusi soal. Tapi tak terdengar kasus kebocoran soal massal dan jual beli kunci jawaban. Kini polisi dan militer pun dikerahkan mengawal soal, seolah rahasia negara yang paling fatal. Sayangnya kebocoran tetap terjadi, massive dan dijadikan “industri”, asal “wani piro” kunci jawaban bisa ditangan. Tanggungjawab dan moralitas lupa tak diajak serta mengawal soal.

Dulu buku teks tak banyak ragamnya, dari tahun ke tahun tak banyak perubahan. Hampir semua guru sekolah menggunakan buku pegangan yang sama. Buku teks tambahan hanya pelengkap yang tak wajib dibeli siswa, cukup dicatat di papan tulia atau didiktekan guru pengajar. Justru karena itu standarisasi bisa dicapai, karena dari hulu sudah distandarkan. Yang distandarkan materi ajarnya, buku ajarnya dan kualitas guru pengajarnya. Kini buku teks tak terhitung macam ragamnya, tergantung penerbit mana yang bekerja sama dengan sekolah. Jangankan dengan sekolah di kota lain, antar sekolah sekota saja bukunya beda, dengan angkatan tahun lalu saja bukunya sudah ganti. Guru pengajar tak punya patokan baku, tergantung penawaran penerbit buku. Alhasil, UN hendak menstandarkan mutu lulusan. Bagaimana bisa standarisasi ditadah di hilir sementara hulunya tak dibakukan?

Dulu Ebtanas bukan satu-satunya penentu kelulusan. Nilai Ebtanas dicantumkan dalam NEM – Nilai Ebtanas Murni. Walaupun NEM bertabur angka 4, siswa tetap bisa lulus kalau nilai ulangan hariannya cukup baik, ulangan semesternya juga baik dan perilaku siswa sehari-hari relatif baik. NEM hanya dipakai untuk mendaftar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kalau buruk nilainya, siswa sendiri yang rugi. Karena itu mereka berjuang demi masa depannya, bertanggung jawab atas kelanjutan pendidikannya, bukan sekedar demi kelulusan.

Kini UN jadi satu-satunya parameter penentu kelulusan. Proses belajar selama 3 tahun ditentukan vonisnya hanya dalam 4 hari saja. Dimana-mana UN berubah jadi stress nasional, guru senewen, kepala sekolah pening. UN jadi penentu standar gengsi sekolah, kalau prosentase kelulusan rendah, gensi sekolah jatuh. Jadilah siswa ujung tombak harapan orang tua, guru dan sekolah. Beban yang tersampir di pundaknya sangat berat, UN jadi momok yang menakutkan, seolah kiamat dunia pendidikan.

Dulu siswa yang nakal dan melanggar aturan, guru dan sekolah berhak penuh memberikan sanksi. Siswi yang hamil atau siswa yang terpaksa menikah karena menghamili pacarnya, tak usah diusir sudah tahu diri dan malu pada guru dan teman-teman. Tak usah menunggu dikeluarkan mereka minta berhenti, mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa, perbuatan itu mereka berdua yang melakukan. Tanggung jawab pun dipikul berdua, tak perlu menuntut pihak sekolah. Jangankan ikut Ebtanas dan menerima selembar ijazah, rapot terakhir pun kadang tak sempat diambil, sudah keburu tak punya muka.

Kini katanya jaman sudah modern, kebebasan katanya hak semua orang Siswa yang menghamili pacar tak terima dikembalikan ke orang tua. Berbalik menuntut sekolah, menjelek-jelekkan guru, merasa dirampas HAM-nya untuk memperoleh pendidikan. Lapor kesana kemari, ke Komnas entah apa, merasa diri paling  benar, lupa kalau ia telah melanggar aturan yang disepakati sejak awal diterima masuk sekolah itu. Berdalih HAM, menyalahkan sekolah yang menegakkan disiplin. Bukankah ia sendiri yang telah menginjak-injak aturan dan mengkhianati kesepakatan? Kenapa ketika kesempatan belajar terbuka lebar ia lalai menjaganya dan malah berbuat asusila memperturutkan hawa nafsu? Kenapa buah perbuatannya sendiri tak mau menanggung resikonya? Hanya tak diperbolehkan ikut UN sudah teriak HAM kemana-mana, sudah bagus tak dikeluarkan sejak awal mula ketahuan melanggar norma sekolah.

Memprihatinkan... Ternyata dulu dan kini seolah semua berjalan mundur. Kemunduran sistem, kemunduran etika dan moral, juga kemunduran akhlak dan amanah. Padahal  “dulu” itu baru satu generasi berlalu, hanya berjarak 20 – 25 tahun yang lalu. Dari penghujung abad XX menuju dekade awal abad XXI. Semakin modern-kah sistem dan peradaban dunia pendidikan kita? Atau mengalami degradasi moral, etika, komitmen dan tanggung jawab? Mungkin Pak Mendikbud bisa menjawab. Sebab beliau juga berasal dari generasi yang lalu, yang dalam kesederhanaan semua bisa menepati waktu, memikul tugas dan tanggungjawabnya masing-masing.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun