Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Anas Hentikanlah Dramatisasi dan Segera Buka Halaman Berikutnya

12 Januari 2014   11:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 696 38
[caption id="attachment_305532" align="aligncenter" width="560" caption="Sudah pakai rompi orange masih sempat nyinyir (foto : www.tribunnews.com)"][/caption]

Anas sudah mengenakan rompi orange bergaris hitam. Saya lega hati! Kelegaan yang kadarnya sedikit di bawah kelegaan yang sama ketika melihat bu Atut mengenakan rompi itu Jumat tiga pekan sebelumnya. Lega, karena setidaknya satu tahapan proses hukum telah terlampaui dan akan segera menuju tahapan selanjutnya yang memberikan kejelasan dan kepastian. Lega karena ada harapan politisasi atas kasus Hambalang bisa diminimalisir. Sempat terbersit harapan : inilah awal mula sikap kooperatif Anas terhadap KPK. Johan Budi mengucapkan terima kasih pada Anas karena sudah mau datang ke KPK tanpa perlu dijemput. Kata Johan, sikap Anas – yang tadinya sempat diduga akan melawan – ternyata baik setelah bertemu penyidik KPK. Johan pun menghimbau Anas mau bekerjasama dengan KPK, menguak fakta-fakta yang selama ini kerap disindir-sindirkannya.

Tapi, betapa kagetnya saya ketika Sabtu pagi mendapati reaksi publik atas ditahannya Anas tidak berubah : tetap negatif! Sedih juga, karena caci maki dan hujatan itu tak jua surut, seolah rompi orange yang dikenakan Anas tak memberi arti apapun. Membuka beranda facebook sejak pagi, status-status yang terpampang dan komentar-komentar yang menyertainya banyak yang sinis atas sikap Anas. Lebih kaget lagi ketika membuka Kompasiana, bukan hanya kanal politik yang dipenuhi tulisan tentang Anas, bahkan kanal fiksi pun dipenuhi puisi menyindir Anas. Hampir semua tulisan itu bernada sinis, sarkas, marah, geram bahkan penuh kebencian terhadapnya. Sedikit sekali yang mencoba menilainya dengan netral dan murni dari sudut pandang hukum. Tidakkah masyarakat kasihan pada Anas? Bukankah ia kini sudah ditahan seperti keinginan banyak orang?

Tampaknya, ada satu hal yang lupa diperhitungkan Anas. Ia memang organisatoris handal, politisi tangguh, pandai memainkan retorika kata dan mengatur strategi bertahan dari gempuran lawan politik. Tapi Anas lupa, politik tak sekedar strategi semata. Politik hakikatnya adalah persepsi. Itu sebabnya para politisi sibuk melakukan pencitraan, demi membangun citra positif. Namun, ibarat bumbu penyedap, kalau kebanyakan akan terasa ‘eneg’ bahkan getir. Pencitraan yang berlebihan membuat publik muak. Pun juga retorika yang keterusan, lama-lama bosan juga mendengarnya dan kehilangan daya magisnya untuk membuat publik tetap percaya.

Malang bagi Anas, meski Anas bisa “serie” melawan SBY, tapi menghadapi Nazar, ia harus mengaku kalah. Nazar yang tak punya latar pendidikan politik setinggi Anas dan bukan ahli organisasi yang mampu menghimpun banyak orang pintar, telah berhasil merusak citra diri Anas. Bukan dengan strategi politik yang njelimet, tapi dengan ocehan-ocehan yang tak jelas (kata Anas). Bahkan Anas pernah menyebutnya halusinasi. Apa daya, ocehan tak jelas itu ternyata bergulir bak bola salju dan terbukti banyak ketidakberesan di proyek Hambalang. Apalagi Nazar juga menguak kepemilikan saham Anas di beberapa perusahaan bersamanya, PT. Panahatan dan PT. Anugerah Nusantara. Makin hancurlah citra Anas di mata publik. Boleh saja Anas berbangga dengan kesetiaan para loyalisnya. Boleh saja loyalis Anas mengklaim bahwa di partai Demokrat sejatinya lebih banyak yang memihak Anas ketimbang Pak SBY. Tapi Anas lupa, masyarakat Indonesia tak melulu simpatisan Demokrat. Bahkan pemilih Demokrat pada Pemilu 2009 telah banyak tergerus. Yang dihadapi Anas sekarang adalah realitas : masyarakat Indonesia secara umum tak menyukainya, tak lagi mempercayai ucapannya.

Sayangnya, Anas yang over confidence terlambat menyadari bahwa sesumbar “gantung Anas di Monas” telah membuat publik muak. Malahan Anas menambahkan lagi janji : “Ini baru halaman pertama. Masih ada halaman-halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama-sama, demi kepentingan bangsa ini”. Tak kurang para politisi dan legislatif Senayan pun tersihir dengan kalimat itu. Sekian bulan menunggu, Anas mendirikan ormas PPI. “Ini alinea pertama dari halaman kedua”, ujarnya saat peresmian ormas PPI. Publik makin tak sabar menunggu, gerangan apa yang akan diperbuat PPI untuk membuka halaman berikutnya.

Namun, apa yang dibacakan PPI bukanlah cerita yang diharapkan publik, bukan clue siapa berperan apa dan dapat apa dalam skandal bagi-bagi jarahan, melainkan rumor yang sulit dipertanggungjawabkan. Rumor yang segera berlalu bersama celaan penonton yang kecewa dan seiring ralat dari yang pihak menebarkannya. Bahkan surat kaleng pun mereka jadikan pegangan untuk membuat issu. Jadilah PPI cemoohan yang diplesetkan menjadi Perhimpunan Penyebar Issue.

Rupanya rompi orange itu tak membuat Anas mau lebih merunduk dan rendah hati. Dengan mulut usilnya, Anas tetap sinis menyindir, halus namun nyelekit : “...di atas segalanya, saya tentu terima kasih pada Pak SBY, mudah-mudahan ini semua punya arti, punya makna dan menjadi hadiah tahun baru 2014.” Lagi-lagi kehebatannya beretorika telah menyihir banyak orang. Sontak ucapan terimakasihnya jadi topik bahasan paling laku di banyak media. Pengamat politik dan pakar hukum sampai ahli penafsir gestur dan raut muka, semua berlomba-lomba menerka dan menafsir makna tersembunyi di balik kata-kata bersayapnya itu.

Saya pribadi, tak mau terlalu banyak menaruh harapan pada kalimat “terima kasih” itu. Gantung di Monas juga tak menarik bagi saya. Terlalu ‘non sense’ untuk diwujudkan. Bagi saya, Anas masih berhutang “halaman kedua dan selanjutnya”, itu yang harus dibayarnya segera. Apalagi yang ditunggu Anas yang bisa menahannya untuk tak membuka dan membacakan halaman kedua?

Para loyalisnya tetap berupaya membangun persepsi, seolah kondisi Anas sudah tak ada harapan untuk buka kartu, sebab 120 hari ke depan, Pileg 2014 sudah usai. Kenapa harus menunggu 120 hari dan kenapa pula harus dibatasi Pileg? Jika tujuannya bukan sekedar balas dendam politik dan bukan sekedar ganjal-mengganjal laju seseorang ke Senayan, maka mengungkap kebenaran tak perlu merasa dibatasi. Ada cara ampuh yang bisa ditiru Anas : cara Nazaruddin! Nazar yang tanpa pendukung, kepalang basah sudah ditangkap di Kolumbia, di Indonesia ia seolah ‘najis’ yang dicibir dimana-mana, tak hilang akal untuk menyeret eks teman-teman di “musim panen” untuk menemani di balik sempitnya tembok rutan di kala paceklik menerpa.

Sadar dirinya jadi pusat perhatian awak media, Nazar memanfaatkan insan pers yang haus berita untuk menggaungkan ocehannya. Tiap kali usai diperiksa penyidik, Nazar berkicau kesana kemari. Kalau tersangka korupsi lain selalu berkelit dengan kalimat standar : “tanya pengacara saya” atau “itu kewenangan penyidik (untuk menyampaikan hasil pemeriksaan)”, tak demikian dengan Nazar. Ia bocorkan semua keterangan yang telah diberikannya pada penyidik. Dalam sekejap, radio dan televisi menyiarkan live, media cetak memuatnya jadi headline, media onlen terus menggulirkannya. Kalau sudah begitu, pihak terkait pasti akan menindaklanjuti. Nah, beranikah Anas meniru langkah Nazaruddin?!

Pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana, menyebut Anas berusaha mendramatisir nasib yang segera akan dialaminya. Menggelar konpers lesehan dan mengenakan sarung katanya agar beda dengan konpers Cikeas– padahal sebelumnya PPI juga kerap menggelar konpers di balik meja, tak ubahnya Cikeas – lalu datang sendiri ke KPK. Sayangnya, kata Tjipta Lesmana, upaya ini tak juga mampu menghimpun simpati publik, sebab publik sudah terlanjur sentimen pada AU, terutama ketika ia mangkir 2 kali dari panggilan KPK. Ditambah ocehan rekan-rekannya di PPI yang tak membuat keadaan jadi lebih baik, bahkan antipati makin meninggi. Dramaticism dengan teknik cressendo, kata Pak Tjipta, ketika menganalisa ucapan terima kasih Anas kepada penyidik KPK, Ketua KPK dan berpuncak pada kalimat “...di atas segalanya, saya tentu terima kasih pada Pak SBY”.

Pakar psikologi politik, Hamdi Muluk tak jauh beda. Ia berpesan agar Anas menghadapi saja kasus hukumnya. Tak perlu “mengajak” seluruh rakyat Indonesia untuk terlibat dalam kasusnya, seolah ini rekayasa politik semata. Pengamat politik Dimas Oky pun berpendapat sama : Anas dan kawan-kawannya terlalu mempolitisir kasusnya. Bahkan kesalahan teknis yang dilakukan KPK, di-blow up sedemikian rupa jadi issu politik. Mantan hakim Asep Iwan Iriawan punya pesan yang layak dipertimbangkan Anas : “Anas harus bisa menunjukkan data-data dan bukti-bukti. Jangan orang disuruh menafsirkan sendiri apa makna kalimat bersayapnya. Bukankah selama ini KPK selalu menjerat tersangka dengan bukti rekaman pembicaraan telepon, CCTV atau BBM, sehingga jika semua itu diungkap, maka aib lah yang didapat dan tak bisa lagi berkelit. Punyakah Anas bukti akurat? Jangan lupa, Nazar punya bukti pembagian uang di arena Kongres. Bahkan salah seorang mantan pengurus DPC PD pernah menunjukkan tanda bukti penerimaan handheld BlackBerry berlogo tim pemenangan Anas.

Saya berharap halaman kedua yang dibacakan Anas akan penuh kejutan, bak novel thriller. Sarat bukti-bukti yang membuat nama yang disebutkan tak bisa berkelit. Tak perlu risau walaupun Pileg telah lewat, bukankah pelantikan anggota DPR RI baru akan dilakukan 1 Oktober nanti? Masih cukup banyak waktu untuk menyeret siapa saja yang terlibat, termasuk lingkaran terdekat pusat kekuasaan. Kalaupun ada caleg yang telah terpilih, jika ia tersangkut kasus hukum, bisa saja KPU membatalkan pelantikannya. Tunggu apa lagi Mas Anas? Anda hanya perlu bersikap kooperatif dengan penyidik KPK, bersahabat dengan insan pers dan jangan lupa : hentikan segala macam dramatisasi. Mulailah fokus merangkai alinea demi alinea, agar cerita yang dibacakan mengalir.

Sayang, rupanya harapan saya belum akan terpenuhi. Meski telah ditahan, Anas tetap melawan KPK. Tak hanya menolak menandatangani surat penahanan, rekan-rekannya di PPI akan menggugat KPK lewat pra peradilan terkait penahanannya. Keluarganya melarang Anas memakan ransum dari KPK, khawatir diracuni. Sebuah kekhawatiran yang super lebay! Sebegitu tololnya kah KPK hendak melenyapkan seorang tersangka sekaligus saksi mahkota kasus Hambalang dengan cara diracun?! Jangankan sampai tewas diracun, Anas sakit saja, kabarnya pasti akan jadi rame. Penguasa tak lama lagi akan melepas singgasananya. Kendaraan politiknya pun sudah bocor di sana-sini, sulit meraih penumpang. Terlalu konyol jika para pimpinan KPK mempertaruhkan seluruh kredibilitas dan integritasnya, demi mati-matian membela penguasa yang tak lama lagi akan jadi “lame duck” karena sudah pasti tak akan berkuasa lagi. Jadi, opini lucu apalagi yang akan digalang rekan-rekan Anas untuk membangun persepsi KPK telah tergadai pada penguasa?

Kini, pengacara Anas mulai menggunakan issu HAM untuk mendramatisir utusan keluarga yang tak bisa bertemu Anas di hari Sabtu. KPK melanggar HAM, karena melarang keluarga bertemu, padahal itu hak keluarga! Halah! Padahal yang dilakukan security KPK hanyalah menjalankan kewajiban sesuai aturan yang berlaku umum : Sabtu dan Minggu tahanan tak boleh menerima kunjungan. KPK hanya meminta keluarga Anas mematuhi aturan jadwal bezuk, bukan seenaknya. Bukankah semua tahanan KPK juga mendapat perlakuan sama? Keluarga Atut – termasuk kedua anaknya – baru diijinkan bertemu Atut pada hari ke-5 pasca Atut ditahan. Firman Wijaya, pengacara Anas yang juga pengacara Atut, mestinya tahu itu. Pengetatan jadwal bezuk tahanan tak hanya diberlakukan pada Anas seorang!

Lihatlah Septi Sanustika membawakan makanan untuk Fathanah hanya pada jadwal bezuk keluarga Senin dan Kamis, bukan tiap hari 3x seperti minum obat. Nadia Mulya membezuk bapaknya, Budi Mulya, Darin Mumtazah membezuk LHI, Ibunda dan istri Andi Mallarangeng, semuanya mengikuti aturan jadwal hari bezuk keluarga. Lalu kenapa Anas harus diistimewakan dan jika tak diijinkan (melanggar jadwal bezuk), maka KPK dianggap melanggar HAM?

Sudahlah Mas Anas, hentikan segala dramatisasi. Masyarakat sudah muak dengan tontonan sinetron. Bacakan saja halaman kedua, apa skenario yang tertulis disitu dan siapa saja pemerannya. Kalau Anas tak berani menepati janjinya soal halaman kedua, itu artinya ada sesuatu di halaman kedua yang membuatnya tak berani membacakan. Apakah nama Anas juga tertera di halaman kedua, yang mana KPK menyebutnya “proyek-proyek lain”? Kalau Anas tak berani membuka halaman kedua dan selanjutnya, apakah karena ia terlibat lebih banyak dari yang kita duga? Teman-teman Anas di PPI mulai mendegradasi janji halaman kedua. Sri Mulyono dalam Bincang Pagi di Metro TV, Sabtu (11/1/2014) mengatakan dirinya tak tahu apa yang dimaksud halaman kedua. Padahal, saat meresmikan PPI Anas mengatakan “ini alinea pertama dari halaman kedua”, bukankah semestinya rekan-rekannya di PPI tahu? Aktivis PPI lainnya, Deny Hariyatna, mengatakan : Anas telah menutup lembaran lama di Demokrat, lalu membuka lembaran selanjutnya di PPI. Kalau demikian tafsirnya, maka sesungguhnya “halaman selanjutnya” tak berarti apa-apa selain perpindahan kiprah Anas setelah terbuang dari parpol kini mendirikan ormas.

Kalau Anas tak jua membacakan halaman selanjutnya, itu artinya Anas sama saja dengan apa yang dituduhkannya pada KPK : takut “menyenggol” penguasa. Atau..., halaman kedua penuh coretan namanya juga, sehingga ia tak mau menanggung resiko menambah banyak kasus? Buat saya, kalau sudah ditahan Anas tetap tak memenuhi janjinya membacakan halaman selanjutnya “demi kepentingan bangsa ini” – seperti ucapan Anas sendiri – maka layak ia dituntut janji gantung di Monas. Kalau para pejuang negeri ini dulu hanya punya 2 pilihan : “merdeka ataoe mati”’, maka kini Anas juga punya 2 pilihan : baca halaman kedua (merdeka dari ketakutan terhadap penguasa) atau gantung di Monas (‘mati’ harga dirinya). Semua pilihan di tangan Anas, penonton harap sabar menanti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun