Mendengar pendapat Profesor Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik pada forum ILC di TV One semalam, saya 100% sepakat dengan beliau. Prof. Tjipta mengingatkan kembali, bukankah awal mula nama Anas mulai disebut-sebut terkait dengan kasus Hambalang adalah keluar dari mulut Nazaruddin? Seandainya Nazar tak berkicau soal Hambalang, mungkin beragam kejanggalan luar biasa yang melingkupi proyek itu tak akan pernah terkuak. Kalau saja Nazar tak menyebut nama Anas, pastilah Anas masih jadi Ketua Umum Partai Demokrat dan sekarang bisa saja sibuk nyaleg atau bahkan nyapres. Ya, kalau Anas dan rekan-rekannya di PPI mau sewot, semestinya mereka sewot pada mulut ember-nya si Nazaruddin. Ma’mun Murod, sahabat Anas di PPI semalam mengaku kaget karena Prof Tjipta bisa berkata demikian. Lho, kenapa musti kaget?! Bukankah apa yang dikatakan Prof. Tjipta adalah fakta yang terjadi hampir 3 tahun lalu?
Kamis, 21 April 2011, hari yang naas bagi Mindo Rosalina Manullang, Direktur Pemasaran PT. Anak Negeri. Saat perempuan Indonesia merayakan hari lahir pejuang hak-hak perempuan, R.A. Kartini, Rosa justru dibekuk KPK saat sedang bersama Muhammad El Idris dan Wafid Muharram di kantor Kemenpora. Bahkan waktu itu uang dalam pecahan US dolar sempat dibuang ke tempat sampah. Ketiga orang yang tertangkap tangan itu pun langsung digiring KPK. Menpora Andi Mallarangeng langsung mengaku tak tahu menahu perbuatan Sekjennya, Wafid Muharram.
Begitupun dari pihak Nazaruddin, dia langsung menelpon Yulianis, memerintahkan agar sesegera mungkin mengamankan semua cek dan dokumen yang bisa diselamatkan. Sayangnya, ketika Yulianis, Oktarina Fury dan beberapa pegawai Nazar lainnya sedang sibuk membereskan apa-apa yang bisa diselamatkan, penyidik KPK datang membawa Rosa dan meminta semua yang ada di gedung kantor milik Nazar itu tak berbuat apa-apa sementara para penyidik KPK melakukan penggeledahan. Bahkan, beberapa dokumen dalam tas yang sudah sempat diselamatkan, akhirnya juga ditahan penyidik KPK saat mobil hendak meninggalkan lokasi kantor. Semua kisah ini pernah dituliskan Yulianis – mantan Direktur Keuangan Grup Permai – di SINI dan di SINI.
Sejak tertangkapnya Rosa, dia intensif diperiksa KPK. Kasus ini menarik perhatian media karena melibatkan Sekjen, orang kedua di Kemenpora. Sampai suatu hari, pengacara Rosa menyebut nama “Nazaruddin, Bendahara Partai Demokrat” di balik semua itu. Rosa menampik keras pernyataan pengacaranya. Dia marah besar, sambil berteriak-teriak dia bersumpah akan menuntut pengacaranya setelah kasusnya selesai. Esoknya, pengacara Rosa diberhentikan dan Rosa didampingi pengacara lain. Itu dulu, belakangan, di acara Mata Najwa beberapa bulan lalu, Rosa dan Yulianis tampil bersama, Rosa mengaku bahwa sejak ia ditahan KPK, sejak itu pula tiap hari orang suruhan Nazaruddin menemuinya dan mengancam agar jangan sekalipun menyebut nama Nazar. Tapi, pengacara Rosa yang tak lain juga pengacara Daniel Sinambela – rekan bisnis Nazaruddin yang kemudian dijebloskan ke tahanan oleh Nazar – justru membeberkan hubungan Nazar dengan Rosa yang tak lain Rosa adalah anak buah Nazar. Sejak itu, bak bola salju yang menggelinding cepat, nama Nazar terus didengungkan meski Nazar membantah keras lewat konpersnya yang dikenal dengan kalimat : “katanya..., katanya..., katanya...”.
Begitulah, segalanya berjalan begitu cepat, 23 Mei 2011 Nazar ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, 24 Mei diajukan pencekalan, tapi ternyata Nazar sudah kabur lebih dulu ke Singapura tanggal 23 malam. Dari pelariannya, Nazar kemudian melakukan wawancara melalui skype dengan Bang Iwan Piliang, yang rekamannya diputar pertama kali oleh Metro TV pada sekitar pekan ketiga Juli 2011. Itulah pertama kali nama Anas disebut Nazar, sambil menunjukkan selembar kertas yang tertera tanda tangan Anas, ke depan webcam. Selang beberapa hari pasca rekaman skype itu diputar, kembali Nazaruddin menelepon Metro TV yang saat itu sedang menyiarkan berita sore. Nazar meminta teleponnya disiarkan secara live. Metro TV menyanggupi dan Indra Maulana, presenter berita pun melakukan wawancara telepon terhadap Nazaruddin. Saya ingat betul, saat itulah nama “HAMBALANG” untuk pertama kali didengar publik. Bahkan karena artikulasi Nazar yang tak jelas atau audio yang kurang jernih, kata “hambalang” sempat terdengar mirip “ambalat” atau “ambalang”. Saat itu belum ada masyarakat umum yang tahu, apa itu Hambalang. Namun, sore hari itu, Nazar telah membuat semua orang melek : ada yang tak beres di proyek Hambalang.
Cerita terus bergulir, semua pihak bekerja, tak hanya KPK. Ada BPK, PPATK, semua bekerja dan akhirnya makin terkuaklah ketidakberesan yang melingkupi proyek Hambalang sejak awal. Nazar kemudian tertangkap polisi Kolumbia sehabis nonton pertandingan bola. Ia dideportasi ke Indonesia dan sejak itu berakhirlah pelarian Nazar. Setiba di tanah air, Nazar yang tak ingin sendiri merasakan dinginnya tembok rutan, makin menjadi-jadi mengoceh. Nama Mirwan Amir, Angelina Sondakh, I Wayan Koster, Andi Mallarangeng dan tentu saja Anas Urbaningrum, terus disebutnya. Dari 4 nama itu, Angie sudah divonis, Andi sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2012 lalu dan terakhir Anas pada 22 Pebruari 2013. Hanya Mirwan Amir dan Wayan Koster yang selamat, meski nama keduanya pernah beberapa kali disebut di persidangan.
Itulah sekilas menyegarkan ingatan tentang awal mula cerita panjang yang bermula dari suap Rosa dan El Idris kepada Wafid Muharram terkait proyek Wisma Atlet di Jakabaring, Palembang. Kasus ini pun berkembang kemana-mana. Bahkan sebelum Nazar melakukan wawancara skype dengan Iwan Piliang, di internet sudah beredar berita dilengkapi scanning perubahan Anggaran Dasar PT. Panahatan dengan modal disetor yang semula hanya Rp 1 milyar melonjak drastis pada 19 Pebruari 2008 menjadi sebesar Rp. 100 M (terdiri dari 100.000 lembar saham). Kepemilikan saham itu sebanyak 35% (35.000 saham) dimiliki Anas Urbaningrum, Nazaruddin memiliki saham sejumlah sama, sedang sisanya 30% atau 30.000 lembar saham adalah milik M. Nasir, saudara Nazaruddin. Ya, kepemilikan saham maupun kepengurusan PT. Panahatan sejak 2008 sampai kasus Nazar meledak, tidak mengalami perubahan, dimana Anas Urbaningrum tetap tercatat di situ.
Jadi, kalau sekarang kubu Anas berusaha membangun persepsi bahwa kasusnya adalah murni kasus politis, yang berawal dari ketidaksukaan SBY kepada Anas yang ngeyel maju menjadi Ketua Umum PD pada Kongres Bandung, sehingga sedemikian rupa Anas dijatuhkan (bahkan Sri Mulyono menyebut Anas seperti Nabi Yusuf yang dikriminalisasi), rasanya seolah berusaha mengalihkan perhatian publik dari kronologis peristiwa yang sebenarnya. Memang masyarakat kita cenderung pelupa, ingatannya pendek, hanya setahun ke belakang. Karena itu harus ada upaya melawan lupa, mengingat kembali kronologis peristiwa dan detil-detilnya.
Bahkan, tak lama setelah wawancara skype itu, 4 sopir dan pengawal uang Nazaruddin bertestimoni di Metro TV, tentang bagaimana mereka mengawal beberapa mobil penuh berisi kardus besar yang dipenuhi dengan uang dalam pecahan rupiah maupun US dolar. Uang yang diambil dari money changer itu malam hari beriringan menuju ke Bandung, tepatnya di hotel Aston, tempat dimana Kongres PD dihelat. Bahkan Yulianis pernah mengaku dirinya terpaksa tidur di atas tumpukan uang. Para sopir yang bertestimoni itu pun menunjukkan beberapa lembar tanda terima sebagai bukti.
Hari demi hari terus berlalu, beberapa mantan peserta Kongres pun buka mulut soal uang senilai 100 jutaan dan handheld BlackBerry yang dibagikan oleh tim sukses pemenangan Anas. Yang pertama kali berbicara di media TV adalah Ibu Diana Maringka utusan dari Sulut. Pengakuan Ibu Diana diikuti Ibu Ismiyati Saidi, mantan Ketua DPC PD Boalemo, Gorontalo, yang bahkan memberikan rincian komplit berapa saja nominal uang yang diterima, dalam bentuk rupiah atau USD, di hotel mana diberikan, serta box kemasan BlackBerry (asli, bukan BB China) yang masih tertempel nota tanda terima berlogo Partai Demokrat dan logo Anas for Demokrat, juga jaket dengan logo sama. Pengakuan kedua ibu tersebut diikuti pengakuan Dani Sriyanto dari Jawa Tengah dan Habrul Tanjung, Sekretaris DPC PD Tapanuli Tengah. Semua pengakuan itu pernah saya tuliskan di Kompasiana pada 17 – 22 Pebruari 2012, tentang Pengakuan Money Politics, tentang Komisi Pengawas Partai Demokrat dan tentang Permissivisme di Tubuh PD. Silakan dibuka kembali untuk menyegarkan ingatan, dan kita akan terbelalak melihat begitu banyak uang ditebar dengan mudah.
Mari kita berandai-andai, kalau saja sore yang naas 21 April 2011 itu tak pernah ada. Mindo Rosalina dan El Idris pulang dengan selamat dari kantor Kemenpora. Tentu Nazaruddin akan aman-aman saja dan tetap duduk sebagai Bendum PD. Mungkin bisnisnya akan makin moncer, pun juga perusahaannya yang bersama Anas Urbaningrum. Di tubuh PD tak akan pernah ada perpecahan dan gonjang-ganjing, semuanya lancar jaya, sebagian besar rakyat Indonesia tetap tersihir dengan jargon “Katakan TIDAAAKKK pada Korupsi!!”. Hubungan baik Nazar dan Anas akan tetap terpelihara, juga Anas dan Ibas tetap dwi tunggal yang memimpin Demokrat : Ketum dan Sekjen. Bisa jadi mungkin Nazar akan kembali nyaleg seperti halnya Ibas, Anas bisa saja ikut konvensi capres PD. Bukankah mereka dikenal sebagai sosok politisi muda yang cemerlang? Tanpa kehebohan yang bermula dari ditemukannya keterkaitan Nazaruddin dengan Mindo Rosalina Manullang, elektabilitas PD mungkin akan tetap tinggi. Tapi inilah jalan Tuhan menguak banyaknya kebobrokan.
Mungkin benar bahwa SBY tak menghendaki Anas maju sebagai Ketum, sebab SBY memilih Andi Mallarangeng. Tapi seandainya tak meletup issu politik uang demi pemenangan Anas di Kongres Bandung, adakah alasan untuk menyingkirkan Anas? Sumber uang yang ditebar di arena Kongres Bandung itulah yang dipercaya berasal dari uang haram. Kalau tidak, dari mana uang sebanyak itu dibagikan begitu saja? Bukankah sejak bermunculannya pengakuan para mantan peserta Kongres PD soal bagi-bagi uang dan BlackBerry, persepsi publik terhadap Anas menjadi negatif? Seiring dengan itu, citra Demokrat pun terpuruk bahkan dalam berbagai survey, Demokrat dipersepsikan publik sebagai partai terkorup.
Anas mungkin bukan satu-satunya yang bersalah dalam berbagai skandal yang melibas Partai Demokrat. Mungkin pula bukan Hambalang satu-satunya proyek yang dijadikan bancakan, itu sebabnya KPK menyebut “... dan proyek-proyek lainnya”. Aroma perseteruan politik antar faksi di tubuh Demokrat, ketidakharmonisan antara kubu Cikeas dan kubu Duren Sawit, semuanya tak bisa dipungkiri. Tapi, bahwa kasus ini bermula dari dugaan suap dan korupsi, adalah sesuatu yang sama sekali tak bisa dinafikan! Ingat itu! Apapun alasan kubu Anas, bahwa pihaknya hanya korban kriminalisasi seperti Nabi Yusuf, hendaknya masyarakat tetap tidak lupa : ada bau busuk korupsi dan suap disitu. Mari kita dorong KPK agar kasus ini tetap jadi kasus hukum, bukan politik. KPK tak boleh diseret-seret dan tak boleh terseret.
Kekuasaan akan berakhir, hanya dalam hitungan bulan partai yang kini berkuasa bisa saja nyungsep. Presiden yang saat ini menjabat, 9 bulan lagi akan meletakkan jabatan, semua itu adalah keniscayaan. Tapi, penegakan hukum di atas segalanya, tetap harus dijalankan. Pemberantasan korupsi, suap, gratifikasi, tetap harus dilakukan tanpa pandang bulu. Mau dia elite partai berkuasa, mau dia lingkaran terdekat penguasa, kalau terlibat ya harus diusut. Begitupun yang sedang jadi “musuh” penguasa, kalau dia terlibat, ya harus diminta pertanggungjawaban secara hukum. Jangan sekali-kali mencitrakan diri sebagai korban politisasi yang didzholimi. Bukankah memenangkan sebuah kompetisi politik dengan cara-cara tak terpuji (politik uang) itu juga perbuatan dzholim?